Melangkah Bersama ASEAN
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, merupakan pertemuan para kepala negara/pemerintahan negara-negara anggotanya. KTT ASEAN pertama kali diselenggarakan di Bali pada 24 Februari 1976. Terakhir, KTT ke-33 ASEAN diselenggarakan di Singapura yang selesai 15 November 2018 lalu.
Selain KTT, sejumlah pertemuan juga menjadi agenda rutin ASEAN, seperti ASEAN Coordinating Council/Dewan Koordinasi dan ASEAN Senior Official’s Meeting. Dewan Koordinasi ASEAN merupakan pertemuan para menteri luar negeri negara anggota sebagai koordinator Dewan Komunitas ASEAN.
Ada juga pertemuan badan-badan sektoral tingkat menteri atau ASEAN Sectoral Ministerial Bodies yang mempertemukan para menteri yang membidangi masing-masing sektor kerja sama ASEAN.
Selain itu ada pertemuan tingkat pejabat tinggi ASEAN yang diikuti pejabat tinggi di bawah menteri yang membidangi masing-masing sektor kerja sama ASEAN.
Agenda pertemuan anggota ASEAN merupakan wujud komitmen kerja sama negara-negara Asia Tenggara yang didirikan 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura.
Beberapa putusan penting untuk kemajuan ASEAN dihasilkan dari pertemuan tingkat tingi ini, seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971.
Kemudian pada 1976, anggota ASEAN juga menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) yang menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.
Laman Kementerian Luar negeri RI juga mencatat, dalam bidang ekonomi Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA) berhasil disepakati di Manila pada 24 Februari 1977. Kesepakatan ini menjadi landasan untuk mengadopsi berbagai instrumen dalam liberalisasi perdagangan.
Selanjutnya, Agreement on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area yang berhasil disepakati di Singapura pada 28 Januari 1992.
Dalam KTT V ASEAN tahun 1995 di Bangkok, 10 Kepala Negara/Kepala Pemerintahan berhasil menelurkan Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (SEANWFZ), yang merupakan salah satu komponen dari ZOPFAN.
Lima puluh satu tahun sejak berdiri, capaian integrasi negara-negara Asia Tenggara menunjukkan perkembangan pesat. Sampai saat ini keanggotaan ASEAN sudah meluas menjadi 10 negara, saat Kamboja diterima sebagai anggota.
Total populasi di ASEAN mencapai 642 juta jiwa atau 8,5 persen dari total penduduk dunia tahun 2017. Jumlah ini naik 3,5 kali lipat dibandingkan tahun 1967.
Selain dari jumlah penduduk, sebaran usia juga menjadi motor penggerak kawasan. Sekitar 50,4 persen penduduk Asia Tenggara berusia produktif, yaitu usia 20-54 tahun. Proporsi terbesar kedua adalah usia 5-19 tahun yang mencapai 25,7 persen. Ini adalah peluang besar bagi kawasan ini untuk mencapai tingkat produktivitas tinggi di bidang industri maupun jasa.
Banyaknya jumlah penduduk ASEAN ternyata diikuti dengan peningkatan angka harapan hidup. Tahun 2017, angka harapan hidup mencapai 72 tahun atau meningkat 16 tahun selama setengah abad terakhir.
Besarnya angka harapan hidup tak lepas dari jaminan kualitas kesehatan masyarakat. Sebanyak 82,7 persen penduduk ASEAN telah memiliki akses air minum layak, serta akses sanitasi layak sudah mencapai 76,2 persen.
Tak hanya dari sisi kualitas kesehatan, di bidang literasi, penduduk ASEAN menunjukkan proporsi tingkat literasi yang tinggi. Tingkat literasi pemuda tahun 2016 mencapai 94,9 persen. Artinya, pendidikan dan daya serap informasi serta teknologi dapat berjalan tanpa kendala berarti.
Dari sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara terlihat cukup fluktuatif dengan tren meningkat. Saat awal terbentuknya ASEAN, pertumbuhan ekonomi masih sekitar 4,3 persen. Tren peningkatan terus dicapai hingga mencapai nilai tertinggi pada 1995 sebesar 8,1 persen.
Capaian pertumbuhan ekonomi sempat dihempas gelombang krisis ekonomi global, pertumbuhan sempat anjlok di angka 3,4 persen pada 1999. Membaiknya denyut perekonomian dunia, turut mengembalikan tren pertumbuhan. Hingga tahun 2017, pertumbuhan ekonomi ASEAN mencapai 5,3 persen.
Perbaikan di sektor ekonomi sangat gencar dilakukan, salah satunya dibentuk masyarakat ekonomi ASEAN yang menyepakati beberapa kebijakan untuk mendukung atmosfer dagang dan investasi.
Lonjakan tinggi terjadi pada nilai produk domestik bruto secara total maupun per kapita. PDB ASEAN tahun 1967 hanya sebesar 23 miliar dollar AS, kemudian meningkat hingga 120 kali lipat di tahun 2017, sekitar 2,8 triliun dollar AS. Jika dilihat dari level individu, PDB per kapita melonjak 35 kali lipat.
Peningkatan pendapatan penduduk berkolerasi dengan geliat perdagangan dan minat investasi asing di kawasan ASEAN. Nilai perdagangan menunjukkan peningkatan yang fantastis, yaitu meroket hingga 265,5 kali lipat dari tahun 1967 hingga 2017. Nilainya saat awal dibentuk hanya 9,7 miliar dollar AS, kemudian mencapai 2,6 triliun dollar AS.
Stabilitas dari sisi ekonomi, keamanan, kebijakan dagang, hingga modal demografi, mampu menarik minat investasi asing. Tercatat kenaikan investasi asing melonjak 45,7 kali lipat hingga tahun 2017. Setengah abad silam, kucuran dana asing hanya 3 miliar dollar AS, namun telah berkembang hingga menyentuh angka 137 miliar dollar AS.
Selama ini, faktor kunci kerja sama ASEAN adalah komitmen anggotanya menjaga semangat ASEAN atau cara-cara ASEAN, yang kerap kali disebut dengan the ASEAN spirit, the ASEAN way. Antara lain, menyelesaikan segala persoalan dengan cara damai, melalui dialog, dan menghindari penggunaan kekerasan, atau pemaksaan kehendak.
Hal lain yang membuat ASEAN bisa bertahan dan berkembang adalah adanya semangat kesetaraan dan persahabatan (spirit of equality and partnership), yang dicantumkan saat pembentukan dalam Deklarasi Bangkok (Kompas 8/8/1997).
Seirama dengan perkembangan kawasan, ragam tantangan yang dihadapi ASEAN juga ikut berkembang. Konferensi Tingkat Tinggi ke-33 ASEAN 2018 yang mengangkat tema Resilient and Innovative membahas beragam persoalan.
Dalam bidang politik dan keamanan, para pemimpin ASEAN membahas persoalan di Rakhine, Laut China Selatan, dan perdamaian Semenanjung Korea.
Selain 10 pemimpin negara ASEAN, KTT juga dihadiri oleh pemimpin negara mitra, termasuk Wakil Presiden AS Mike Pence, PM China Le Keqiang, Presiden Korsel Moon Jae-in, PM Jepang Shinzo Abe, Presiden Rusia Vladimir Putin, PM India Narendra Modi, dan PM Australia Scott Morrison.
Menyikapi persoalan di Rakhine, para pemimpin ASEAN mendukung proses repatriasi warga etnis Rohingya dari pengungsian mereka di Bangladesh kembali ke Myanmar. Komitmen Myanmar memulangkan para pengungsi menjadi momentum implementasi nilai-nilai kemanusiaan sesuai prinsip ASEAN.
Isu Laut China Selatan berujung cukup manis dengan kesepakatan dokumen tunggal untuk negosiasi penyusunan kode tata perilaku (CoC) di wilayah perairan tersebut. Negosisasi tersebut harus diselesaikan China dalam waktu tiga tahun. Sengketa Laut China Selatan melibatkan Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Sedangkan di bidang ekonomi, ASEAN menyoroti ketidakpastian kondisi global akibat perang dagang AS-China, serta upaya proteksi sektor ekonomi. Bentuk proteksi bidang ekonomi ialah ASEAN menyepakati kerjasama bidang e-dagang. Konsep e-dagang diyakini mampu menjadi lompatan pengembangan perdagangan secara daring dan investasi infrastruktur teknologi informasi.
Namun, tidak semua isu ekonomi mulus dibahas. Salah satu perundingan yang berjalan cukup alot adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Dalam masalah ini, ASEAN dan 6 negara mitra (ASEAN+6) kembali gagal mencapai kesepakatan RCEP karena beberapa isu kritis dalam praktik perdagangan.
Titik kritis proses negosiasi ini menyangkut liberalisasi dagang di kawasan, terutama akses pasar barang, investasi, dan jasa. RCEP adalah kesepakatan perdagangan bebas terbesar di dunia yang memegang separuh dari penduduk dunia. Enam negara mitra tersebut adalah China, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Hal yang menarik digagas Indonesia dalam KTT tersebut. Di tengah diversitas topik bahasan di KKT ASEAN, Indonesia mengusulkan konsep kerjasama regional yang dikenal dengan konsep Indo-Pasifik.
Konsep tersebut dinilai mampu mendorong perdamaian, stabilitas, dan kemakmukan. Konsep ini terbuka bagi negara-negara di kawasan Pasifik, khususnya China, yang dipandang sebagai mitra potensial.
Gagasan Indo-Pasifik mendukung pentingnya sentralitas ASEAN. Dasar dari konsep tersebut adalah kerjasama, inklusivitas, transparansi, dan keterbukaan, dengan tetap menghormati hukum internasional.
Hal ini sejalan dengan salah satu isi Deklarasi Bangkok (1967) yaitu memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada.
Sebenarnya tekad para pemimpin negara-negara ASEAN saat KTT yang baru lalu, juga memberikan pesan yang sama yaitu concern ASEAN pada arsitektur regional yang berbasis pada aturan, terbuka, transparan, sekaligus inklusif.
"We are determined to maintain an open, inclusive and Asean-centric regional architecture. ASEAN will work with its external partners to tackle the challenges facing an interconnected world,” kata Perdana Menteri Lee Hsien Loong yang dikutip harian The Straits Times.
PM Lee menggarisbawahi keyakinan kuat Asean bahwa multilateralisme dan kerja sama adalah kunci bagi pertumbuhan dan stabilitas kawasan. Lebih lanjut ditegaskan dua hal utama yang harus dijaga oleh ASEAN adalah stabilitas politik dan keamanan.
Harapannya, agar kawasan Asia Tenggara tetap mampu menjaga eksistensinya sebagai sepuluh besar kekuatan ekonomi dunia dan turut menentukan arah perdamaian dunia. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)