Impor Jagung akibat Kendala Konektivitas
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang produksinya melimpah di Indonesia. Hampir seluruh provinsi membudidayakannya sehingga produksinya terus meningkat.
Bila untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seluruh penduduk (per kapita di luar kebutuhan industri pakan ternak, peternak mandiri, industri pangan), produksi jagung Indonesia terhitung sangat berkecukupan, bahkan suplus. Ironisnya, hingga kini Indonesia masih juga belum dikatakan berswasembada jagung. Impor selalu menjadi opsi pilihan setiap tahun untuk meredam gejolak pasar.
Pada 2013-2017, produksi jagung rata-rata terus naik sekitar 11 persen per tahun sehingga pada 2017 produksinya hampir mencapai 28 juta ton. Tingginya produksi ini ditopang oleh kian luasnya areal tanam sehingga luas panen bertambah rata-rata sekitar 388.000 hektar per tahun.
Hampir seluruh provinsi membudidayakan tanaman ini, dengan sejumlah provinsi yang menjadi sentra produksinya, di antaranya Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Ke-10 daerah ini rata-rata setiap tahun selalu memproduksi jagung di atas 1 juta ton. Bahkan, Jawa Timur mampu memproduksi sekitar 6 juta ton setahun.
Secara keseluruhan, 33 provinsi produsen di Indonesia rata-rata mampu memproduksi jagung hingga lebih dari 21 juta ton per tahun. Produksi sebanyak ini sangat cukup untuk memenuhi konsumsi jagung masyarakat Indonesia yang relatif sangat kecil, yakni sekitar 2,29 kg per kapita per tahun.
Konsumsi ini dalam bentuk pipilan dan basah. Apabila dikalikan dengan proyeksi penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta jiwa, konsumsi jagung pada 2017 hanya sekitar 753.000 ton.
Angka ini relatif sangat kecil, yakni sekitar 2,7 persen dari besaran produksi jagung nasional yang mencapai 27,95 juta ton pada 2017. Besaran persentase konsumsi ini juga tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata sekitar 2,6 persen dari produksi nasional.
Gambaran itu menunjukkan jika setiap tahun tersedia setidaknya 97 persen produksi jagung atau lebih dari 21 juta ton yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain selain konsumsi masyarakat.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, komoditas jagung di Indonesia dimanfaatkan untuk aneka kebutuhan, seperti pakan ternak, pembenihan, dan industri pangan. Ketiga hal ini membutuhkan pasokan jagung dalam bentuk pipilan kering dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan proyeksi BKP pada 2018 ini, keperluan untuk ketiga hal tersebut mencapai 15,5 juta ton. Terdiri dari pakan ternak 7,76 juta ton, peternak mandiri 2,52 juta ton, benih 120.000 ton, dan industri pangan 4,76 juta ton.
Dengan perkiraan produksi pada 2018 hampir mencapai 30 juta ton pipilan kering, diprediksi akan terjadi surplus hampir 13 juta ton. Kisaran angka ini diperoleh setelah dikurangi berbagai kebutuhan itu, termasuk untuk konsumsi masyarakat dan ekspor jagung sekitar 380.000 ton. Alokasi kebutuhan jagung itu relatif tidak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dengan kata lain, produksi dalam negeri mampu mencukupi permintaan domestik. Namun, kenyataannya tidak demikian. Impor selalu diadakan setiap tahun, termasuk pada akhir tahun ini yang akan mendatangkan jagung sekitar 100.000 ton.
Besaran impor tahun ini jauh lebih kecil daripada impor tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013-2016 rata-rata impor mencapai 2,6 juta ton setahun. Pada 2017, impor jauh mengecil menjadi kisaran 500.000 ton dan pada tahun ini diperkiran susut lagi menjadi kisaran 100 ribu ton. Walaupun terus mengecil angkanya, kebijakan mendatangkan impor sangat bertentangan dengan data dari pemerintah yang menunjukkan jika terjadi surplus jagung.
Pada 2013-2017, rata-rata per tahun komoditas jagung yang tersedia di dalam negeri sekitar 24 juta ton per tahun. Angka ini sudah memasukkan jumlah jagung hasil produksi domestik, jagung impor, dan dikurangi jagung yang diekspor. Jika dialokasikan untuk keperluan industri pakan ternak, perternakan mandiri, pembenihan, dan industri pangan yang berkisar 15 juta ton, akan ada sisa atau surplus sekitar 8 juta ton setahun.
Namun, bila memang surplus, mengapa harus impor? Itu yang menjadi pertanyaan besar. Apakah terjadi kesalahan pendataan, apakah terjadi ketimpangan harga sehingga harus mengimpor, atau ada hal lain yang belum disampaikan oleh pemerintah?
Pakan ternak dan ketimpangan harga
Peternakan unggas, khususnya ayam ras pedaging dan petelur, adalah salah satu alasan yang selalu dikemukakan pemerintah ketika akan mengimpor jagung dari luar negeri. Sejumlah hasil riset menunjukkan, pakan merupakan bagian terbesar dari struktur biaya produksi peternakan ayam ras mencapai 65-70 persen dari total biaya.
Pakan ternak itu komposisi bahan pembuatnya mayoritasnya adalah jagung dengan persentase antara 40-50 persen. Akibatnya, setiap ada gejolak pada komoditas jagung, industri ternak unggas juga akan turut bergejolak karena merupakan bahan pakan utamanya.
Impor yang selalu digambarkan sebagai akibat dari kelangkaan barang, ternyata tidak selalu demikian kondisinya bila terkait komoditas jagung. Jagung di Indonesia memang melimpah produksinya, tetapi memiliki kelemahan, yakni waktu panen yang tidak sama serta lokasi penanaman yang tersebar sehingga menimbulkan sejumlah kendala di lapangan.
Panen jagung Indonesia wilayah barat pada Januari-Maret, sedangkan wilayah timur pada April-Mei. Hambatan ini akan mendorong terjadinya perbedaan harga komoditas antardaerah. Selain itu, juga menimbulkan ketidakstabilan harga jagung dari waktu ke waktu. Belum lagi kendala akses dan adanya inefisiensi biaya distribusi barang yang menyebabkan harga jagung lokal lebih mahal.
Hal itu sangat memengaruhi industri pakan ternak dalam negeri yang lokasi pabriknya hanya berada di sejumlah daerah. Saat ini tercatat ada 93 pabrik pakan di Indonesia, di antaranya tersebar di Sumut 11 unit, Sumbar 1 unit, Lampung 5 unit, Banten 16 unit, Jabar 11 unit, DKI Jakarta 6 unit, Jateng 12 unit, Jatim 21 unit, Kalbar 1 unit, Kalsel 2 unit, dan Sulsel 7 unit.
Beberapa pabrik pakan, seperti di Banten, DKI Jakarta, Kalbar, dan Kalsel, tidak berada di sentra produksi sehingga akan menimbulkan kendala biaya produksi apabila akan mendatangkan jagung dari luar daerah. Apalagi, jika akan mendatangkan jagung dari luar daerah yang relatif sulit akses distribusinya.
Produksi jagung yang dekat dengan industri pakan ternak tentu saja akan diambil oleh produsen. Namun, jika daerah itu relatif sulit aksesnya ke daerah produsen, tentu saja secara bisnis akan ditinggalkan karena harga komoditasnya akan jatuh lebih mahal.
Bila dipaksakan mengambil, tentu saja harga jual pakan akan melonjak naik dan menyebabkan para peternak juga akan bergejolak. Hal-hal inilah yang terkadang oleh sejumlah produsen disiasati dengan mendorong kebijakan agar diizinkan mengimpor jagung dari luar negeri yang biayanya lebih murah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, awal November lalu memberi ilustrasi terkait rencana impor jagung 100.000 ton. Syukur menjelaskan, alur perdagangan jagung saat ini masih panjang sehingga harga cenderung tinggi.
Dia mencontohkan harga distribusi jagung dari Jakarta ke Bangka Belitung lebih mahal dibandingkan harga jagung yang didatangkan dari Malaysia ke Jakarta. Biaya kirim dari Jakarta-Bangka Belitung sekitar Rp 33 juta untuk kapasitas angkut 14 ton dan belum termasuk biaya solar kendaraan angkut jagung dan lainnya.
Berbeda halnya jika mendatangkan dari Malaysia ke Jakarta yang ongkos angkutnya sekitar Rp 26 juta dengan kapasitas angkut 24-27 ton serta sudah termasuk biaya kepengurusan dokumen. Perbedaan sistem distribusi dan efisiensi biaya inilah yang menyebabkan jagung impor memiliki daya tawar yang tinggi daripada jagung lokal.
Perbedaan efisiensi distribusi barang tersebut juga menyebabkan perbedaan harga jual jagung di pasaran. Pada 2013-2016, rata-rata harga jagung lokal di tingkat konsumen sekitar Rp 5.900 per kg.
Nominal ini terpaut cukup jauh dengan harga rata-rata jagung internasional yang diimpor dari Amerika sekitar Rp 2.200 per kg (harga FOB di Gulf Port, AS). Perbedaan harga ini perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait untuk memperpaiki tata kelola dan tata niaga jagung sehingga produksi dalam negeri tetap kompetitif, baik di pasar domestik maupun global
Memperbaiki konektivitas
Dengan gambaran tersebut, masalah utama ketersedian jagung di Indonesia bukan karena produksinya. Namun, lebih karena kendala konektivitas yang menghubungkan dari hulu hingga hilir. Sentra produksi Jagung yang terpusat di 10 provinsi ternyata tidak semuanya tersedia fasilitas pabrik pakan seperti di Sulut, NTB, dan Gorontalo.
Justru provinsi lain yang bukan sentra produksi jagung yang memiliki sentra pabrik pakan ternak seperti di Banten, DKI Jakarta, Kalbar, dan Kalsel. Di keempat provinsi ini terdapat 25 pabrik pakan atau sekitar 26 persen dari seluruh jumlah pabrik pakan ternak yang ada di Indonesia.
Kondisi tersebut kian kompleks dengan tersebarnya para peternak yang menjadi konsumen akhir dari produsen pakan ternak itu. Ada sejumlah provinsi yang merupakan tempat investasi PMDN dan PMA sektor peternakan unggas yang bernilai besar, tetapi daerah itu bukan sentra produksi jagung dan tidak tersedia industri pakan ternak. Daerah itu adalah Provinsi Jambi, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan.
Kompleksitas hulu-hilir komoditas jagung mulai dari ladang produksi hingga menjadi pakan olahan yang dibeli peternak itulah yang menyebabkan produk ini seolah-olah selalu ”bermasalah” dan berujung pada impor. Oleh sebab itu, perlu untuk segera membenahi sejumlah kendala agar distribusi jagung dan ketersediaan pakan selalu terjaga.
Dalam waktu dekat, perlu dukungan semua pihak untuk mengevaluasi dan memperbaiki pola distribusi yang belum efisien tersebut. Tujuannya, agar disparitas harga kian kecil antara jagung lokal dan jagung impor. Selain itu, perlu menciptakan semacam kebijakan yang mengatur atau mendekatkan para produsen pabrik pakan berikut investasi peternaknya ke daerah-daerah yang memang menjadi sentra produksi jagung. Hal ini tentu saja akan menciptakan efisiensi bisnis yang lebih tinggi sekaligus memperbaiki tata kelola distribusi bahan baku.
Perlu juga kiprah pemerintah untuk menyediakan bantuan alat bagi para petani berupa alat untuk mengeringkan jagung sehingga kualitas jagung petani tetap baik walaupun dipanen pada musim hujan yang membuat jagung menjadi cenderung basah dan rusak saat disimpan. Pemerintah juga sangat ditunggu perannya dalam menyediakan tempat penyimpanan jagung atau buffer storage.
Tempat semacam lumbung ini berfungsi untuk menyerap jagung ketika panen raya, menyimpannya, dan melepaskannya ketika produksi menurun. Harapannya, harga jagung dapat tetap stabil apa pun kondisi cuaca dan musimnya sehingga tetap menguntungkan petani. (LITBANG KOMPAS)