Menyoal Tertib Buang Hajat Warga Ibukota
Jakarta pemegang prestasi tertinggi provinsi yang memiliki akses jamban sehat permanen. Meski demikian, ibukota negara ini juga masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah. Masih ada sebagian warga yang BAB sembarangan, dari memiliki WC tanpa tangki septik dan dialirkan ke sungai, hingga urusan penanganan akhir pembuangan tinja dari tangki septik warga. Prevalensi penderita diare juga masih cukup tinggi yang berpengaruh pada angka kematian bayi dan balita serta balita gizi buruk.
Kalangan masyarakat kelompok bawah adalah yang rentan mengalami sanitasi lingkungan yang buruk semacam itu. Kelompok warga dengan tingkat pendapatan rendah (lebih rendah dari UMP Jakarta ± Rp 3,6 juta), berpendidikan rendah dengan keterampilan terbatas berefek pada lokasi pemilihan tempat tinggal mereka. Banyak dari kelompok masyarakat seperti ini yang akhirnya memilih kawasan-kawasan seperti tanah-tanah kosong, bantaran sungai, kolong tol/jembatan, kawasan pantai, hingga pinggir rel kereta.
Di kawasan tersebut, aktivitas keseharian mereka memunculkan pola kekumuhan akibat ketidakteraturan, padatnya bangunan dan banyaknya penghuni. Rumah-rumah petak mereka biasanya hanya berbentuk semi permanen dengan ukuran rumah rata-rata 2 X 3 meter. Itu pun kadangkala dihuni lebih dari satu keluarga secara bergantian.
Untuk mensiasasatinya, mereka membangun lantai kedua dengan alat seadanya terutama bahan kayu dan seng. Jangan bayangkan kelengkapan infrastuktur hunian layak bisa dimiliki penghuninya. Mereka lebih mementingkan tempat untuk tidur saja dan dapur pun kadang ditempatkan di depan rumah, memenuhi separuh jalan setapak.
Dengan kondisi tersebut tak heran mereka membangun WC tepat di atas sungai atau saluran yang biasanya digunakan bersama-sama oleh warga lainnya. Ataupun jika mempunyai kamar mandi di dalam rumah, tidak memiliki fasilitas septiktank. Saluran pembuangan dari kamar mandi baik berupa buang air besar ataupun kecil diarahkan ke sungai atau saluran air. Bahkan lebih ekstrim, ada warga yang terang-terangan buang hajat di saluran ataupun sungai.
Sebenarnya tak hanya urusan kekurangan ruang dalam rumah, tapi bagi warga di permukiman kumuh tidak ada dana lebih untuk membangun kamar mandi layak. Jika dihitung kasar, biaya untuk pembuatan satu toilet dengan septik tank yang sesuai dengan standar mampu menelan biaya untuk bahan bangunan paling murah Rp 3-4 juta. Biaya tersebut tentunya sangat mahal bagi warga di permukiman kumuh yang penghasilannya dari sektor informal tak menentu.
Hal inilah yang membuat Jakarta belum lolos angka 100 persen akses jamban sehat permanen. Catatan Susenas 2017 menyebutkan, masih ada sekitar 5 persen warga yang membuang tinja di lubang tanah, kolam/sawah ataupun sungai.
Perilaku itulah yang disebut Buang Air Besar Sembarangan (BAB-S), warga sengaja membuang kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak-semak, sungai, pantai atau arena terbuka lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan tanah, udara, dan air.
Data Riset Kesehatan Dasar DKI Jakarta 2017 menunjukkan, Jakarta Utara mendapat prestasi buruk soal BAB sembarangan. Sebanyak 6,9 persen warga masih buang hajat di perairan, lubang tanah, dan kebun. Namun rupanya prestasi buruk ini tak bergeser dari 2007, meski angkanya telah menurun. Susenas 2007 tercatat masih ada sekitar 21 persen warga Jakarta Utara yang BAB sembarangan.
Timbul pertanyaan mengapa prestasi buruk tersebut tetap diraih Jakarta Utara? Bisa jadi berhubungan dengan tingkat kekumuhan suatu wilayah. Survei RW Kumuh BPS Jakarta Terakhir (2013) mencatat, Jakarta Utara memiliki jumlah RW kumuh terbanyak (55 RW).
Salah satu indikator penentuan RW kumuh terkait dengan tingkat keburukan jamban. Selain itu, rata-rata keluarga di Jakarta Utara tidak mempunyai fasilitas buang air besar sendiri. Data Susenas 2017 menunjukkan, 14 persen warga masih menggunakan tempat jamban bersama keluarga lain, 3,8 persen menggunakan WC umum, dan masih ada 0,3 persen yang tidak mempunyai fasilitas jamban.
Sejumlah daerah di Jakarta Utara yang warganya masih BAB sembarangan, diantaranya Cilincing, Penjaringan, dan kampung Luar Batang.
Di Cilincing menurut penelitian Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atma Jaya (2016), hanya 37,5 persen dari 600 rumah nelayan yang memiliki toilet. Sisanya lebih memilih sungai atau selokan air sebagai buang air besar dan kecil. Alasannya ukuran rumah yang kecil dan berdempetan tidak memungkinkan untuk dibuat toilet. Sebenarnya ada toilet umum, namun komunitas nelayan tersebut urung memanfaatkan karena berada di lingkungan komunitas elite.
Lain lagi cerita di Kampung Luar Batang. Fasilitas toilet di kampung yang berbatasan dengan laut tersebut tidak memadai. Sebagian warga mempunyai WC tapi rata-rata tidak memiliki tangki septiktank, malah langsung dibuang ke laut. Namun ada juga yang langsung buang hajat ke sungai. Meski sudah tersedia WC umum yang sebenarnya juga tidak memiliki tangki septiktank.
Prestasi buruk kedua diraih oleh wilayah Jakarta Selatan. Sekitar 5,3 persen keluarga masih BAB sembarangan. Sebanyak 3,3 persen (terbanyak) masih buang tinja di sungai/ selokan dan sisanya masih memakai sarana lubang di tanah. Mengutip laman STBM Kementerian Kesehatan, ada 11 kelurahan yang sanitasinya belum sesuai standar kesehatan. Diantaranya, kelurahan Tebet Timur, Selong, Melawai, Cikoko, Jagakarsa, Pasar Minggu, dan Petukangan Selatan.
Jakarta Barat juga juga masih menyimpan pekerjaan rumah. Tercatat masih 4,3 persen keluarga yang BAB tidak di jamban sehat. Banyak rumah warga yang tidak memiliki jamban layak dan membuang kotoran ke aliran sungai. Dari 56 kelurahan di Jakarta Barat, baru 3 kelurahan yang tercatat bebas dari perilaku BAB sembarangan.
Tangki Septik
Warga Jakarta yang sudah mendapatkan akses buang hajat di tempat semestinya sudah mencapai angka 95 persen ke atas. Akan tetapi belum berarti ancaman pencemaran tinja di air dan tanah selesai.
Pada beberapa tempat di Jakarta, khususnya kampung padat penduduk, sebagian telah terbangun WC umum. Namun karena keterbatasan tempat WC umum tersebut tidak mempunyai tangki septik. Saluran air kotor penampung air kencing dan tinja masih disalurkan ke sungai atau selokan terdekat. Hal itu tampak dari sejumlah WC umum dengan pipa-pipa yang berseliweran masuk ke sungai atau selokan.
Seperti di kelurahan Cikini, Jakarta Pusat sebagian warga telah menggunakan WC umum tertutup. Namun, WC tersebut tidak mempunyai tangki septik, malahan menggunakan pipa saluran pembuangan langsung ke Sungai Ciliwung. Juga dengan warga Penjaringan yang memilih BAB langsung di saluran air karena merasa percuma BAB di WC umum yang ternyata tidak memiliki tangki septik.
Bagi sekitar 94 persen warga yang sudah BAB dalam wadah tangki septik juga berpotensi memberi andil pada pencemaran air dan tanah. Tangki septik yang jarang dikuras pun bisa jadi merembes ke dalam tanah.
Idealnya dikutip dari laman Intisari, tangki septik harus dikosongkan minimal tiga tahun sekali sekali. Tujuannya supaya air tangki tidak merembes dan mencemari lingkungan, meski jarang digunakan.
Di dalam tangki septik, tinja manusia mengalami proses penguraian oleh bakteri sehingga menghasilkan endapan lumpur tinja serta diatasnya terdapat air. Setelah tangki penuh, air akan keluar atau merembes ke tanah sekitarnya. Air yang terus merembes, akan sulit menjadi indikator jika tangki penuh. Padahal bisa jadi sebenarnya telah mencemari tanah dan air tanah.
Catatan Susenas 2017 menunjukkan, keluarga-keluarga di Jakarta relatif cukup sering menguras septiktank. Rata-rata 70 persen keluarga membersihkan septiktank setiap 6 – 7 bulan sekali. Dari data ini cukup menggembirakan bahwa telah ada kesadaran dari warga Jakarta dalam pemeliharaan tangki septik.
Namun, agaknya tidak semua wadah penampung tinja tersebut dibangun dengan dinding konstruksi tebal yang kedap air. Beberapa rumah khususnya rumah tua, masih menggunakan tangki septik yang dindingnya tidak kedap air. Seperti dikutip dari laman Kompas.com, rumah Wakil Gubernur Sandiaga Uno di Pulombangkeng, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan , ternyata masih menggunakan septiktank tak kedap air yang sering disebut cubluk.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, tangki septik (septic tank) yang merupakan bak kedap air penampung limbah kotoran manusia memiliki syarat tertentu. Tangki septik sebagai bagian dari bangunan bawah jamban harus memiliki standar antara lain ditempatkan pada lapis tanah yang mengandung air, dan berjarak minimal 11 meter dari sumur.
Tak kalah penting, tangki septik harus tertutup dan terbuat dari beton sehingga tak bisa dimasuki air. Tepi atas dari tutup tangki harus terletak paling sedikit 0,3 meter di bawah permukaan tanah halaman. Gunanya supaya keadaan temperatur di dalam tangki selalu hangat dan konstan sehingga kelangsungan hidup bakteri dapat lebih terjamin.
Setelah urusan tangki septik masih ada ancaman pencemaran lain. Menjadi pertanyaan dimana lokasi tinja dibuang setelah disedot oleh truk tinja. Menjadi rahasia umum jika mayoritas truk tinja membuang tinja yang disedot ke sungai. Tentu saja membuangnya secara diam-diam di malam hari.
Bahkan seorang warga Sunter pernah membuat video You Tube truk yang ketahuan membuang muatan tinja di Kali Sunter. Video tersebu diunggah pada 03/09/2014 oleh pengguna atas nama Ambo Dalle. Kompas juga pernah melihat langsung truk tinja yang secara diam-diam membuang tinja ke Kali Buaran dan Kali Ciliwung saat Ekspedisi 13 Sungai Jakarta dua tahun yang lalu.
Kalau hal tersebut dilakukan secara masif dan masih berlangsung sampai sekarang, prestasi Jakarta yang menduduki rangking ketiga Akses jamban sehat dan permanen tak lagi berarti. Tinja yang dibuang dengan cara lain tetap berpotensi mencemari air dan tanah Jakarta. (LITBANG KOMPAS)