Menyoal Tertib Buang Hajat Warga Ibukota (2)
Pengelolaan limbah tinja secara jelas sudah diatur penyelenggaraannya oleh Pemprov DKI Jakarta. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Lumpur Tinja. Regulasi tersebut telah mengatur prosedur pembuangan dan pengelolaan limbah tinja harus dilakukan sesuai ketentuan di instalasi khusus pengolahan air tinja yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah Jaya (PD PAL Jaya).
Setidaknya ada 15 titik lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang tersebar di wilayah Jakarta. Di tempat inilah air limbah yang akan diolah terlebih dahulu untuk mereduksi kandungan berbahaya yang dapat mencemari sebelum akhirnya dibuang.
Salah satu lokasi pengolahan limbah oleh PD PAL berada di Duri Kosambi, Jakarta Barat. IPAL di tempat ini sudah dilengkapi dengan teknologi PAL-Andrich Tech untuk pengolahan limbah tinja. Teknologi ini diklaim dapat mengubah air tinja menjadi air bersih hanya dalam waktu 30 menit.
Setiap hari PD PAL Jaya mengoperasikan instalasi dari pukul 08.00-16.00. Rata-rata dalam sehari tidak kurang dari 150 mobil tangki sedot tinja datang untuk menyetor muatan limbah. Untuk setiap satu kubik limbah tinja dihargai Rp 27.000 oleh BUMD tersebut.
Meskipun demikian, menurut PD PAL Jaya belum semua truk tinja melakukan hal tersebut. Jumlah itu hanya separuh dari yang seharusnya diperkirakan ada 300 truk yang melakukan pembuangan limbah ke instalasi pengolahan air tinja.
Dampak BAB Sembarangan
Banyak yang tidak menyadari dampak buruk BAB sembarangan. Padahal dari beberapa hasil penelitian, rentetan dampak penyakit diare, cacingan, hingga yang menyebabkan kematian rentan terjadi. Anak-anaklah yang cukup rentan pada dampak buruk BAB sembarangan ini.
Tinja manusia mengandung berbagai materi yang berbahaya bagi tubuh manusia. Tinja mengandung puluhan miliar mikroba, termasuk bakteri koli-tinja. Sebagian diantaranya tergolong sebagai mikroba patogen, seperti bakteri Salmonela typhi penyebab demam tifus, bakteri Vibrio cholerae penyebab kolera, virus penyebab hepatitis A dan polio. Bakteri ini akan mudah sekali menyebar melalui vektor serangga seperti lalat.
Selain itu, tinja juga berpotensi mengandung cacing. Satu gram tinja berisi ribuan telur cacing yang siap berkembang biak di perut orang lain. Kandungan cacing pada tinja yang tercemar dengan air akan memicu munculnya waterborne disease bagi manusia, seperti penyakit kategori hepatitis (hati), disentri (pencernaan), dan gastroentritis (lambung).
Tinja yang dibuang ke aliran air akan mencemari air sungai/seklokan. Padahal air sungai digunakan sebagai sumber air baku bagi sebagian warga yang tidak punya akses perpipaan dan air tanah. Ataupun jika tidak menggunakan sumber air baku, air sungai, beberapa warga yang bermukim di bantaran sungai, menggunakan air sungai sebagai sarana MCK. Hal ini sudah barang tentu bakteri coli yang terkandung dalam tinja akan terserap dalam tubuh.
Tinja juga berpotensi mencemari sumber makanan. Air kotor yang tercemar tinja digunakan untuk mengairi sawah dan perkebunan lainnya. Bakteri yang terkandung tinja akan mencemari kawasan pertanian dan terserap dalam tanaman yang kelak akan dikonsumsi manusia.
Tak kalah bahayanya jika BAB sembarangan di tanah atau tempat terbuka. Serangga seperti lalat akan hinggap di tinja, hinggap di makanan dan minuman untuk menyebarkan kotoran dan penyakit. Akibatnya makanan yang dihinggapi lalat tidak akan aman dikonsumsi.
Kementerian kesehatan mencatat setiap tahunnya, penyakit yang paling banyak diderita akibat buruknya sanitasi di Indonesia adalah diare (72 persen). Selain itu penyakit scabies (23 persen) juga menjadi yang tertinggi kedua, disusul dengan malnutrisi (2,5 persen) dan penyakit lain seperti cacingan dan hepatitis . Demikian pula dengan kasus kematian akibat buruknya sanitasi paling besar dialami oleh penderita diare dengan persentase tidak kurang dari 42 persen.
Penelitian “Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita Indonesia “(Adisasmito, 2007) menyebutkan, keluarga yang BAB sembarangan dan tidak mempunyai jamban beresiko 1,32 kali anaknya terkena diare akut dan 1,43 kali terjadi kematian pada anak usia balita. Penelitian yang sama juga menjelakan bahwa pencemaran Sarana Air Bersih berisiko 7,9 kali dan sarana jamban berisiko 17,25 kali pada bayi dan balita.
Terkait dengan penelitian-penelitian kesehatan tersebut, tak heran jika Jakarta Utara dan Selatan dengan angka BAB sembarangan, berkorelasi dengan persentase kasus diare yang tinggi juga. Data Profil Kesehatan Jakarta 2017 menyatakan, prevalensi diare di Jakarta Selatan : 87,85 persen dan di Jakarta Utara 86,78 persen.
Tak hanya menyebabkan penyakit dan kematian pada bayi dan balita. Tinja yang dibuang ke aliran sungai/selokan dan tanah telah menimbulkan pencemaran air dan air tanah yang membuat air tanah dan air permukaan Jakarta layak minum. Air sungai Jakarta telah tercemar bakteri coli.
Dari pengukuran BPLHD DKI Jakarta tahun 2018 di sungai Ciliwung, Cipinang, Mookevart, Kalibaru, Tarum Barat dan Pesanggrahan, kadar bakteri coli telah melebihi batas ambang yang ditetapkan (1000 jumlah/100 ml). Rata-rata keenam sungai tersebut mengandung coli 20.000 hingga 6,1 juta jumlah /100 ml.
Waduk pun juga telah tercemar bakteri coli. Berdasarkan pemantauan BPLHD DKI Jakarta periode 1 tahun 2018, 95 persen dari 40 situ/waduk di Jakarta telah tercemar bakteri coli. Konsentrasi koli yang tinggi ada di waduk Ria Rio, Rawa Gelam, Bea Cukai, Empang Bahagia, Wijaya Kusuma, Melati, Papanggo, dan Tomang Barat. Konsentrasi tertinggi ada di waduk Wijaya Kusuma, Jelambar, Jakarta Utara yakni 56 miliar jumlah /100 ml cairan.
Tinja yang dibuang sembarangan ke tanah juga menyebabkan air tanah di Jakarta tercemar bakteri e coli. Diperkirakan, sudah 40 persen air tanah Jakarta tercemar bakteri e coli. Hal tersebut diperoleh dari pengambilan 267 sampel air tanah di lima wilayah Jakarta selama Maret hingga Mei 2018. Pencemaran e coli berasal dari tangki septik milik penduduk yang bocor dan merembes. Kemungkinan jarak tangki septik antara rumah satu dengan lainnya terlalu dekat karena jarak antar bangunan yang berhimpitan.
Tak hanya urusan penyakit. Urusan BAB sembarangan ini bisa menimbulkan kerugian ekonomi. Studi Water Sanitation Programme 2012 lalu menunjukkan, biaya perawatan kesehatan yang dikeluarkan untuk penyakit yang diakibatkan buruknya sanitasi ini mencapai Rp 1,6 triliun. Indonesia juga mengalami kerugian sebesar 6,3 milliar dollar AS atau sekitar 56,7 triliun per tahun karena buruknya kondisi sanitasi. Hal ini setara dengan 2,3 persen total Produk Domestik Bruto Indonesia.
Upaya Pemerintah
Persoalan sanitasi memang menjadi bagian dari lingkaran persoalan kualitas hidup yang harus disokong dengan kelayakan ekonomi dan pendidikan. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dan terus berupaya meningkatkan hidup sehat masyarakatnya.
Sejak 2014 lalu, pemerintah bekerja sama dengan UNICEF melakukan kampanye “Tinju Tinja”. Program ini bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk menghentikan perilaku BAB sembarangan. Cara kampanye dan edukasi kepada masyarakat dilakukan dengan kegiatan yang menyenangkan.
Untuk mendukung kegiatan tersebut, pemerintah DKI Jakarta menggandeng berbagai lembaga nasional dan internasional untuk menjalankan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang berfokus pada penyediaan sanitasi layak untuk warga dan perilaku hidup sehat lainnya.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dirancang setelah Indonesia gagal memenuhi target MDGs untuk menyediakan akses jamban sehat masyarakat pedesaan. Dari target akses sebesar 55,6 persen pada 2015, baru tercapai 34 persen di tahun 2009. Terdapat kesenjangan sebesar 21 persen dalam sisa waktu 3 tahun .
STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Targetnya, menurunkan prevalensi penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya. Perwujudan program tersebut mengacu pada lima hal, yakni : Stop buang air besar sembarangan, bisa mengelola limbah cair rumah tangga yang aman, pengelolaan air minum dan makanan yang aman, mencuci tangan menggunakan sabun, serta mengelola sampah dengan benar.
Salah satu komponen yang penting adalah tidak membuang air besar sembarangan atau yang disebut Open Defecation Free (ODF). Agar target tersebut tercapai, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100 persen pada seluruh komunitas. Desa/kelurahan ODF adalah desa/kelurahan yang 100 persen masyarakatnya telah membuang air besar di jamban sehat.
Catatan laman evaluasi STBM Kementerian Kesehatan menunjukkan, ada 168 kelurahan yang menjadi target program ODF. Dari jumlah tersebut, 31 kelurahan di Jakarta Barat, 50 di Jakarta Timur, 22 di Jakarta Pusat, dan 47 di Jakarta Selatan. Namun sampai 2018 baru 21 kelurahan yang mengklaim lolos program ODF.
Diantaranya, kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Oktober 2018 lalu, Pemerintah Kota mendeklarasikan kawasan bebas BAB sembarangan di Kelurahan Guntur dan Setiabudi. Dua kelurahan tersebut dinilai berhasil menerapkan program STBM. Kemudian kelurahan Duri Utara di Jakarta Barat, pada September lalu. Sebelumnya pada Maret 2016 lalu, Kelurahan Semper Barat, Jakarta Utara telah lebih dulu mendeklarasikan ODF.
Tak mudah mewujudkan ODF di Jakarta. Syaratnya cukup ketat. Diantaranya, semua masyarakat telah BAB di jamban dan membuang tinja/kotoran bayi hanya ke jamban, tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar, tidak ada bau tak sedap akibat pembuangan tinja manusia. Dilanjutkan dengan ada peningkatan kualitas jamban menuju jamban sehat, mekanisme monitoring, serta tak kalah penting tersedia sarana jamban dan tempat cuci tangan di sekolah.
Pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta tidaklah mudah. Meski di atas kertas hanya tersisa sekitar 5 persen keluarga yang tercatat BAB Sembarangan. Akan tetapi tak mudah mengubah perilaku 5 persen keluarga tersebut selama belum ada kesadaran dari masing-masing warga dampak negatif buang air besar sembarangan. Membangun WC umum pun harus dipastikan mempunyai tangki septik dan dipikirkan bagaimana pemeliharaannya.
Bagi kalangan menengah atas pun, juga harus dibangun kesadaran untuk mengosongkan tangki septik minimal tiga bulan sekali. Juga memastikan tangkinya kedap air. Itulah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta supaya bisa mencapai target 100 persen akses sanitasi sehat untuk masyarakat (M. Puteri Rosalina dan Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas)