Merebut Hati Parlemen Inggris
Mengenakan baju biru, foto Perdana Menteri Inggris Theresa May ditampilkan dalam headshot kepala tertunduk, berlatar belakang bendera biru Uni Eropa. Inilah gambaran kesedihan di atas kesedihan yang dihadapi oleh sang perdana menteri dalam mencari penyelesaian skema keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
May diberitakan harus mencari dukungan langsung dari rakyat karena Parlemen Inggris tak mendukung kesepakatan Brexit yang baru dicapainya dengan Uni Eropa. “Absolutely - this will be possibly the hardest sell any British politician has had to make since 1945,” tulis BBC untuk menggambarkan sulitnya “menjual” hasil kesepakatan May kepada Parlemen Inggris.
May memiliki waktu dua minggu untuk mengambil hati anggota Parlemen Inggris agar menyetujui kesepakatan yang telah didapatkan dari Uni Eropa. Inilah tantangan yang sebenarnya, persetujuan dari dalam negeri yang sulit didapatkan.
Meskipun menempuh perundingan yang alot sepanjang 20 bulan dengan Uni Eropa, perjalanan kesepakatan Brexit mulai mendapat titik terang. Pada 25 November 2018, Uni Eropa menyetujui dokumen kesepakatan Brexit yang diajukan pemerintah Inggris.
Sebelumnya, dokumen tersebut telah disetujui kabinet Inggris pada 14 November 2018. Dengan demikian, langkah Inggris untuk keluar dari Uni Eropa semakin jelas, meskipun kemudian muncul kendala dari kalangan internal Inggris.
Dokumen Kesepakatan
Dokumen kesepakatan yang ditandatangani pemerintah Inggris dan Uni Eropa terdiri dari dua bagian. Pertama, perjanjian penarikan diri Inggris dari Uni Eropa yang menjadi dokumen legal yang terikat. Dokumen ini berisi 585 halaman yang menetapkan ketentuan Inggris saat meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019.
Dokumen tersebut menjadi penting sebagai panduan ketika masa transisi dimulai, yaitu setelah Inggris keluar dari Uni Eropa sampai 31 Desember 2020, meski dapat diperpanjang sampai 2022.
Kedua, deklarasi politik yang berisi peta jalan hubungan Inggris dengan Uni Eropa setelah Brexit. Dokumen yang berisi 26 halaman ini bersifat tidak mengikat secara hukum.
Dokumen deklarasi pendamping perjanjian penarikan diri Inggris menyerukan kemitraan dan kerja sama yang dalam, luas, dan fleksibel di bidang ekonomi, hukum, kebijakan luar negeri, keamanan dan pertahanan, serta bidang lainnya.
Butuh Persetujuan Parlemen
Kesepakatan Brexit akan menemui jalan yang lebih terjal saat mencari persetujuan dari Parlemen Inggris. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh Theresa May di awal tugasnya mengawal persetujuan Brexit pada 2016. Saat itu, Pemerintahan May berusaha memotong jalur konsultasi kepada Parlemen demi efektivitas negosiasi dengan Uni Eropa.
Pengadilan Inggris memutuskan bahwa Pemerintah Inggris harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Parlemen sebelum mengaktifkan Pasal 50. Bukan itu saja, pemerintah juga harus membeberkan kepada Parlemen strategi yang akan dilakukan dalam bernegosiasi dengan UE. Padahal, May menginginkan strateginya tetap ”misteri” sampai waktunya nanti bernegosiasi dengan UE (Kompas, 8/12/2016).
Pemerintah Inggris mengajukan banding ke Mahkamah Agung dengan dalih efektivitas prosedur “perceraian” dengan Uni Eropa. Apabila konsultasi kepada Parlemen harus dilakukan, proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan semakin panjang.
Upaya banding kalah. Pada 24 Januari 2017, Mahkamah Agung Inggris memutuskan bahwa May harus mengajak Parlemen Inggris dalam persetujuan Brexit. Pertimbangan Mahkamah Agung, Parlemen sebagai wakil rakyat berwenang untuk menentukan keputusan politik dari rakyat.
Dengan demikian, meskipun saat ini kesepakatan Brexit telah ditandatangani oleh pemerintah Inggris dan petinggi Uni Eropa, tetapi draf Brexit tidak dapat diimplementasikan tanpa persetujuan dari Parlemen Inggris.
Hal ini juga diteguhkan dengan memorandum yang dikirim Department for Exiting the EU (DExEU) kepada Komite Prosedur yang berisi ketentuan peran Parlemen dalam proses Brexit pada Oktober 2018 lalu.
Tertulis dalam memorandum tersebut bahwa dalam bagian ke-13 Ketentuan Penarikan dari Uni Eropa 2018, dokumen persetujuan Brexit dapat diratifikasi apabila Parlemen sudah menyetujuinya.
Skenario Lanjutan di Dalam Negeri
Di dalam negeri, muncul beberapa skenario terhadap perkembangan Brexit. Apabila kesepakatan Brexit yang diperoleh pemerintah Inggris bersama Uni Eropa tidak disetujui Parlemen Inggris, minimal terdapat empat pilihan skenario.
Pertama, Inggris dapat keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan atau yang sering disebut “no deal”. Bila hal itu yang terjadi, pemerintah memiliki 21 hari untuk membuat pernyataan ke Majelis Rendah tentang rencana kelanjutan.
Selain itu, pemerintah memiliki tujuh hari untuk menyelenggarakan mosi di Majelis Rendah. Namun, mosi tersebut tidak berkekuatan hukum dan tidak dapat menghentikan Brexit tanpa kesepakatan.
Kemungkinan kedua adalah referendum baru. Sekitar delapan orang anggota parlemen Partai Konservatif dan 44 orang Partai Buruh menyetujui adanya referendum baru. Namun, referendum kedua ini hanya dapat dilakukan apabila pemerintah mengajukan undang-undang dan mayoritas anggota Parlemen menyetujui.
Pilihan ketiga adalah melakukan pemilihan umum. Kemungkinan ini disukai oleh partai Buruh. Apabila kesepakatan ditolak, ada kemungkinan perubahan kekuasaan di Parlemen maupun Kabinet. Pemilihan umum dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu Undang-undang Parlemen Waktu Tetap maupun melibatkan mosi tidak percaya di Majelis Rendah.
Pilihan keempat adalah negosiasi ulang dengan Uni Eropa dengan meminta tambahan waktu satu tahun sebagai anggota Uni Eropa, tentu saja dengan sejumlah biaya yang harus dibayar.
Kelanjutan Brexit di Uni Eropa
Di sisi lain, proses yang panjang juga tetap harus dijalani apabila kesepakatan Brexit disetujui Parlemen Inggris. Segera setelah Parlemen Inggris menyetujui hasil kesepakatan pemerintah dengan Uni eropa, pada awal tahun 2019 akan dipublikasikan RUU Persetujuan Penarikan Inggris dari Uni Eropa. Peraturan ini merupakan ketentuan hukum yang harus dirancang sebelum Inggris keluar dari Uni Eropa.
Karena berkekuatan hukum, peraturan ini akan meneguhkan dokumen persetujuan penarikan diri dalam ranah hukum dan memberikan dampak legal dalam periode transisi. RUU ini digunakan untuk mengimplementasikan dokumen yang sudah disetujui sebelumnya.
RUU tersebut harus disetujui oleh anggota Parlemen Uni Eropa melalui voting. Apabila anggota Parlemen Uni Eropa menolak RUU, Inggris memiliki pilihan sama ketika anggota Parlemen Inggris menolak dokumen persetujuan kesepakatan Brexit.
Namun, apabila rancangan peraturan tersebut disetujui, persetujuan Dewan Uni Eropa dibutuhkan untuk mengesahkannya. Syarat RUU tersebut disebut sah adalah adanya persetujuan dari 20 negara anggota yang mewakili 65 persen populasi.
Strategi Merebut Hati
Di luar berbagai skenario yang mungkin terjadi, satu langkah nyata di depan mata yang harus segera dilalui oleh pemerintah Inggis adalah mengumpulkan persetujuan dari Parlemen yang akan mengadakan voting pada pertengahan Desember 2018.
May harus berjuang meraih dukungan dari partainya, meyakinkan mitra kerja sama di Parlemen dari partai kanan Irlandia Utara (DUP), serta merebut hati anggota Parlemen dari partai lain agar mendukung hasil kesepakatannya. Dalam usaha merebut hati Parlemen, May menggunakan sekurangnya tiga strategi
Pertama, melalui jalur ekonomi. May menggiring kesadaran politisi, terutama Parlemen bahwa ekonomi Inggris akan hancur apabila keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Didukung menteri keuangannya, Philip Hammond, May ingin memberikan gambaran bahwa persetujuan yang diperoleh dengan Uni Eropa adalah persetujuan paling aman secara ekonomi. Hammond menyatakan bahwa tiadanya kesepakatan akan membawa konsekuensi buruk terhadap perekonomin Inggris yang sangat negatif terhadap pekerjaan dan kesejahteraan di masa mendatang.
Kedua, di bidang politik atas nama kesatuan bangsa. May menegaskan risiko apabila tidak terjadi kata sepakat. Menurut May, menolak kesepakatan Brexit yang telah didapatkan akan sangat berisiko menimbulkan perpecahan dan ketidakpastian. Menurut May, ia telah berupaya maksimal dan inilah kesepakatan terbaik yang dapat dicapai oleh Inggris, tak ada kesepakatan yang lebih baik lain yang dapat dipilih.
Ketiga, dan ini rupanya jurus andalan May, mencari dukungan dari rakyat. Brexit merupakan kesepakatan yang dihasilkan dari referendum rakyat Inggris. Oleh karena itu, malam sebelum mendapatkan persetujuan kesepakatan dari Uni Eropa, May menerbitkan surat kepada bangsa (letter to nation) sebagai permohonan dukungan dari rakyat Inggris.
May ingin mengingatkan rakyat bahwa keputusan Brexit merupakan keputusan rakyat Inggris. Rakyatlah yang memulai, oleh karena itu, rakyatlah yang perlu kembali bersatu mendukung pencapaian yang telah didapatkan sejauh ini. Dalam surat tersebut, May juga meneguhkan bahwa pilihan pada kesepakatan Brexit adalah keputusan yang terbaik bagi Inggris di masa yang akan datang.
Strategi May memenangkan dukungan Parlemen mengunakan logika yang sederhana. Dengan mendapatkan dukungan dari rakyat Inggris, yang merupakan konstituen para anggota Parlemen, kemungkinan besar anggota Parlemen juga akan mendukung.
Dukungan rakyat yang diperoleh dapat menjadi daya tawar nyata saat Parlemen menentukan suara. Ia menyatakan bahwa "Our duty is to examine this deal, debate it respectfully, listen to our constituents, and decide what is in the national interest."
Bisa jadi, framing media tentang May sebagai seorang Perdana Menteri yang sedang sedih merupakan cara media mendukung May memenangkan suara rakyat yang lebih emosional karena melihat jerih lelah May selama ini.
Sebagai sebuah keputusan besar bagi Inggris, Brexit sering disandingkan dengan keputusan besar lain, bahkan mendapat kritik. Beberapa pengamat membandingkan besarnya persoalan yang ditimbulkan oleh Brexit dengan krisis IMF Inggris pada tahun 1976 atau dengan krisis standar emas 1936.
Kaum pengkritik menyatakan bahwa Brexit merupakan sebuah keputusan salah yang dibuat Inggris sejak krisis Suez 1956. Semoga kali ini tidak salah pilih! (DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS).