Gejolak Unjuk Rasa di Perancis
Perancis dilanda unjuk rasa besar dan pemogokan pada 24 November 2018. Tidak kurang dari 300.000 orang yang tersebar di seluruh penjuru Perancis melakukan demonstrasi menolak kenaikan pajak bahan bakar minyak yang diterapkan Presiden Emmanuel Macron. Setidaknya, dua orang meninggal dunia dan 750 orang terluka akibat bentrokan antara massa pengunjuk rasa dan aparat keamanan.
Demonstrasi ini dipicu oleh rencana kenaikan pajak bahan bakar minyak (BBM) di tengah harga-harga yang semakin melonjak di Perancis. Secara umum, ada tiga faktor yang dinilai menyebabkan melonjaknya harga BBM di Perancis.
Faktor pertama adalah naiknya harga minyak dunia yang sudah merambat ke posisi 100 dollar AS per barrel. Faktor kenaikan harga minyak dunia semakin terasa seiring melemahnya euro dibandingkan dengan dollar AS.
Selanjutnya, faktor lain yang melambungkan harga BBM di Perancis adalah efek penerapan pajak karbon (carbon tax). Diluncurkan di masa pemerintahan Hollande pada 2014, kebijakan ini secara bertahap menetapkan pajak sebesar 39 euro hingga 100 euro pada 2030 untuk produk BBM. Semenjak diberlakukan, pajak ini menambah harga BBM sekitar 2,9 sen euro per liter.
Faktor terakhir, penerapan pajak diesel dan bensin yang diberlakukan sejak awal 2018. Ketentuan ini diberlakukan sebagai bagian dari komitmen Pemerintah Perancis dalam mengurangi polusi lingkungan. Untuk diesel, pajak yang dikenakan adalah sebesar 7,6 sen euro per liter. Sementara, untuk bensin, pajak yang dikenakan ialah sebesar 3,9 sen euro per liter.
Terlepas dari masalah kenaikan pajak BBM, sebenarnya demonstrasi dan pemogokan bukan hal luar biasa di Perancis. Dalam catatan Kompas, sejak serikat buruh dibentuk di negara ini pada 1884, demonstrasi dan pemogokan menjadi alat untuk menyatakan protes terhadap pemerintah.
Perancis adalah satu dari empat negara Eropa yang warganya paling sering turun ke jalan, selain Siprus, Spanyol, dan Yunani.
Unjuk rasa besar-besaran pernah terjadi pada 2006. Pergolakan muncul setelah pemerintah bersama parlemen Perancis mengesahkan Undang-Undang Kontrak Kerja Pertama. Ketentuan kontrak tersebut antara lain menetapkan, pengusaha dapat menghentikan pekerja kontrak dua tahun tanpa perlu penjelasan, khususnya bagi pekerja berusia kurang dari 26 tahun yang baru memasuki pasar kerja.
Bagi serikat pekerja ataupun kaum muda yang menentang UU ini, kebijakan pemerintah tersebut akan semakin mempersulit kaum muda memperoleh pekerjaan permanen.
Gejolak serupa juga muncul pada 2010 ketika demonstrasi pekerja dari berbagai serikat pekerja menentang perpanjangan usia pensiun dari 60 tahun ke 62 tahun.
Pemogokan bukan hanya terjadi di sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintah, melainkan juga berlangsung hingga kilang minyak dan depo bahan bakar. Akibatnya, layanan transportasi, mulai dari bus hingga kereta api, kacau.
Rupanya, ada perbedaan pandangan yang sifatnya prinsip antara pemerintah dan para pekerja. Bagi pemerintah, upaya ini bertujuan menjamin kelangsungan pensiun para pekerja. Sebaliknya, bagi para pekerja, pembaruan sistem pensiun ini dianggap mengebiri hak dasar pekerja.
Kejadian serupa terjadi pada 2016 saat Presiden Hollande menerapkan reformasi UU Perburuhan yang membuat perusahaan lebih leluasa merekrut dan menghentikan karyawan.
Saat itu, pemogokan besar melibatkan pekerja di bidang industri dan transportasi yang tergabung dalam serikat buruh terbesar di Perancis, yaitu Confederation Generale du Travail (CGT).
Pemogokan besar-besaran dimulai pekerja kilang minyak yang menyebabkan suplai bahan bakar ke 2.300 pompa bensin terganggu. Pemogokan kemudian melebar ke pekerja kereta api (SCNF), Metro Paris, pilot Air France, dan petugas kebersihan.
Unjuk rasa yang diikuti pemogokan menjadi dilema yang dihadapi Pemerintah Perancis. Hal ini tidak terlepas dari stagnasi ekonomi dan pengangguran yang dihadapi Perancis saat ini. Berdasarkan data dari Uni Eropa pada September 2018, Perancis termasuk negara yang memiliki tingkat pengangguran cukup tinggi, yaitu 9,3 persen.
Dibandingkan dengan sejumlah negara Uni Eropa, seperti Jerman, Belanda, atau Inggris, angka pengangguran di Perancis lebih tinggi. Tingkat pengangguran di Perancis bahkan lebih tinggi dari rata-rata seluruh anggota Uni Eropa.
Selain pengangguran, stagnasi ekonomi juga dihadapi Perancis. IMF mencatat rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di Perancis dalam tiga tahun terakhir di bawah 2 persen.
Tahun 2017, perekonomian Perancis tumbuh 2,3 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) ataupun Uni Eropa mendorong Perancis berupaya lebih keras agar keluar dari stagnasi ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja.
Presiden Macron berusaha memacu perekonomian Perancis yang terus stagnan, salah satunya dengan reformasi UU Perburuhan yang mengatur kembali masalah relasi karyawan dan perusahaan, termasuk jam kerja, pesangon, dan pengangkatan.
Macron juga berencana merombak besar-besaran sistem perkeretaapian dan memangkas 120.000 tenaga kerja di sektor publik. Argumentasi Macron, banyak pekerjaan di pemerintahan yang mubazir.
Namun, jurus Macron juga menghadapi pergolakan. Pada Maret 2018, buruh dari tujuh sektor publik melakukan pemogokan, memprotes rencana reformasi perburuhan. Unjuk rasa juga diikuti pegawai negeri yang marah kepada pemerintah.
Aspek politik juga mewarnai penolakan terhadap rencana kebijakan pemerintah. Macron yang dulu berjanji menyejahterakan para buruh pada kampanyenya tahun 2017 dinilai belum mampu memenuhinya.
Macron juga disorot karena mengeluarkan kebijakan pajak yang meringankan kaum berada, seperti pengurangan pajak kekayaan dan exit tax yang memudahkan perpindahan aset dari Perancis ke negara lain.
Tajuk Rencana Kompas, 19 Oktober 2010, memetik pelajaran dari gejolak unjuk rasa yang terjadi di Perancis, yaitu gugatan atas kenyamanan yang sudah telanjur ada selama ini. Tantangan Pemerintah Perancis adalah meyakinkan warganya bahwa kebijakan diambil dalam kerangka menumbuhkan perekonomian walau mengambil ruang kenyamanan publik.
Penyusunan UU Kontrak Kerja Pertama pada 2006, dari sisi pemerintah, merupakan alat penting untuk menciptakan lapangan kerja. Demikian pula dengan rencana kebijakan memperpanjang usia pensiun.
Pemerintah dihadapkan pada tunjangan pensiun yang sudah terlalu berat. Jika tidak ingin terjadi defisit pada kas negara untuk pembayaran uang pensiun, menaikkan usia pensiun selama dua tahun dipandang sebagai jalan keluar yang masuk akal.
Adapun dalam reformasi di sektor kereta api, pemerintah berargumentasi bahwa biaya perusahaan kereta Perancis 30 persen lebih tinggi ketimbang perusahaan kereta Eropa lainnya. Di sisi lain, beban utang yang harus dibayar mencapai 46,6 miliar euro.
Berulangnya unjuk rasa dan pemogokan ”selalu” menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin-pemimpin Perancis, termasuk Presiden Macron. Walau memiliki modal sosial yang bagus, pemerintahan Macron tetap harus bekerja keras meraup dukungan publik, terutama kalangan serikat pekerja.
Kabinet Macron yang didukung 60 persen kursi di parlemen memiliki rekam jejak dukungan yang baik. Macron berhasil melakukan negosiasi dan berhasil meraih kesepakatan dengan serikat pekerja yang kemudian dituangkan dalam reformasi UU Perburuhan, September 2017.
Sisi positifnya, upaya ini berlangsung mulus tanpa demonstrasi besar, apalagi pemogokan. Demikian pula saat menggulirkan reformasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Perancis. Gagasan reformasi Macron juga mendapat dukungan publik pada Juli 2018.
Kali ini, warga memprotes kebijakan Macron dengan berunjuk rasa dan melakukan pemogokan. Mungkin ini jugalah salah satu keberhasilan Macron, sesuai jargonnya saat kampanye tahun lalu: membangun identitas Perancis yang mengedepankan liberte, egalite, fraternite atau kebebasan, kesetaraan, persaudaraan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)