Pendidikan Agama dan Intoleransi (2)
Pengajaran agama di dalam Kurikulum 2013 dinamai Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Hal ini berbeda dari kurikulum sebelumnya yang tidak memasukkan budi pekerti sebagai bagian integral dari pendidikan agama.
Penelitian yang dilakukan oleh PPIM-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa perubahan itu mengindikasikan pembentukan moralitas dan etika siswa dibebankan kepada pembelajaran agama di sekolah. Kurikulum 2013 menempatkan nilai-nilai agama sebagai rujukan dari budi pekerti. Nilai-nilai agama bukan hanya merupakan landasan keilmuan, melainkan juga menjadi landasan etika dan perilaku siswa.
Di dalam kata pengantar yang disampaikan oleh Mendikbud Muhammad Nuh (menjabat 2009-2014) tampak bahwa tujuan utama pembelajaran buku-buku ajar tersebut adalah membentuk siswa menjadi insan yang berakhlak mulia. Kemungkinan besar konteks yang melatarbelakangi perlunya penguatan akhlak dan budi pekerti tersebut karena keprihatinan terhadap merosotnya moralitas anak bangsa setelah bergulirnya Reformasi sejak 1998.
Kemajuan ekonomi dan kehidupan politik yang semakin demokratis tidak mampu mengungkit moralitas dan akhlak warga menuju ke kemuliaan (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018).
Bagaimana hal itu diterapkan di dalam buku ajar yang digunakan sekolah? Di dalam buku Intoleransi dalam Buku Pendidikan Islam? terbitan PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, dijabarkan hasil analisis terhadap buku teks pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SD, SMP, dan SMA. Buku-buku teks yang digunakan sekolah tersebut diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud dengan judul buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas I-VI (SD), kelas VII-IX (SMP), dan kelas X-XII (SMA).
Hasil pembacaan oleh PPIM-UIN Syarif Hidayatullah terhadap buku teks pelajaran agama Islam tersebut menemukan beberapa hal menarik. Karena pendekatan utama pembelajaran agama adalah penanaman nilai dan pembentukan akhlak, penyajian buku ajar ini berbeda dengan buku sebelumnya yang hanya memenuhi aspek kognitif.
Buku-buku teks Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti berdasar Kurikulum 2013 ini banyak menyajikan contoh dan kisah-kisah teladan yang diharapkan dapat memberi inspirasi siswa. Uniknya, contoh dan kisah itu disajikan dalam kotak (box) yang fungsinya sebagai tambahan untuk pengayaan materi.
Namun, bagaimanapun para siswa bisa juga menganggap materi itu sebagai bagian integral dari materi pokok. Sayangnya, ditemukan di buku level SMP dan SMA contoh dan kisah yang bisa ditafsirkan menjurus ke arah eksklusivisme dan intoleransi terhadap aliran dan golongan lain di dalam satu agama atau kelompok penganut agama dan kepercayaan lain (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 75).
Contoh yang bisa disebutkan di sini ada di dalam buku teks kelas VII (SMP) di Bab V halaman 69 tentang sejarah Nabi Muhammad. Di situ ada kotak (box) yang bercerita tentang konversi Umar bin Khattab ke dalam Islam. Dikisahkan di situ bahwa Fatimah, adik Umar, melarang kakaknya menyentuh lembaran Al Quran karena dia najis, tidak suci, sementara lembaran Al Quran bersifat suci. Hal ini dapat memberi kesan bahwa seseorang yang belum masuk Islam atau bukan Muslim adalah kotor dan najis (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 96).
Contoh lain di buku teks kelas VIII (SMP) Bab X halaman 184 tentang ”Hidup Sehat dengan Makanan dan Minuman yang Halal serta Bergizi”. Terdapat gambar yang mengisahkan dua siswi mencari makan dan lewat di depan sebuah warung yang tertulis menyajikan menu: ayam goreng, ayam bumbu bali, garang asem, rica-rica babi, swike katak. Gambar itu disertai dialog berikut:
Ulya : ”Nis, kita salah tempat tidak?”
Annisa : ”Salah tempat bagaimana, Ul?”
Ulya : ”Tuh, lihat menunya….”
Annisa : ”Iya, ya. Ayo kita cari warung yang lain.”
Tampaknya gambar dan dialog ingin menunjukkan warung yang menyajikan menu tidak halal. Apakah ayam bumbu bali dan ayam goreng tidak halal? (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 102).
Temuan lain dari riset PPIM-UIN Syarif Hidayatullah terhadap buku teks adalah interpretasi tunggal tentang yang disebut busana Muslim atau Muslimah. Di buku ajar kelas X (SMA) Bab II ditemukan kalimat ”berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari”. Menariknya, di dalam buku ini ada contoh kisah artis yang sudah insaf dan memakai jilbab. Lalu, ada tugas untuk siswa mencari melalui berbagai media, siapa saja aktris ataupun figur publik yang mengenakan jilbab. Siswa diminta mencari aktor atau aktris yang penampilannya mencerminkan busana Islami.
Buku teks ini juga membahas tentang jilbab tetapi tidak menampilkan pendapat lain tentang penggunaan jilbab. Seakan-akan jilbab adalah keharusan pakaian yang dipakai perempuan Muslimah. Tidak ada diskusi tentang pandangan lain yang tidak mengharuskan perempuan menggunakan jilbab (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 111).
Bab IV buku kelas X (SMA) halaman 46 mengutip ayat Al Quran Surat Al Maidah/5 Ayat 44 berbunyi: ….barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Selanjutnya ditulis di situ: ”Ayat ini mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman, agar menjadikan Al Quran sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara sehingga siapa pun yang tidak menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, ia dianggap tidak beriman”. Jika siswa memahami arti teks ini secara tekstual, pemahaman keagamaan para siswa akan sangat kaku dan rigid, dan memberi peluang mengafirkan orang lain yang tidak memakai Al Quran sebagai dasar hukum (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 119).
Buku kelas XI (SMA) Bab X membahas tema ”Bangun dan Bangkitlah Wahai Pejuang Islam”. Bab ini mengambil secara tekstual pendapat Muhammad bin Abd Wahhab yang membolehkan membunuh orang yang tidak menyembah Allah. Kalimatnya sebagai berikut: ”Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah dan orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik (perbuatan mempersekutukan Allah dengan apa pun) dan boleh dibunuh.” (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 132).
Pembahasan tentang demokrasi juga dimasukkan, khususnya di buku kelas XII (SMA) Bab IV dengan tema ”Bersatu dalam Keragaman dan Demokrasi”. Namun, pembahasan yang dilakukan sangat umum dan tidak sesuai dengan konteks berdemokrasi di Indonesia. Buku ini mengutip pendapat Abu A’la al-Maududi yang secara tegas menolak demokrasi, yang menganggap demokrasi adalah Barat dan karena itu bersifat syirik (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 134).
Bab VII buku itu membahas ”Mahligai Rumah Tangga”. Di sana terdapat poin pernikahan yang tidak sah, salah satunya menikah dengan perempuan kafir. Kalimat yang tertulis di situ: ”Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, berdasarkan firman Allah: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS al-Baqarah/2:221).
Buku itu secara jelas mempersamakan perempuan kafir dengan perempuan musyrik. Padahal, ayat dalam Surat Al Baqarah tersebut menerangkan bahwa yang tidak boleh dinikahi adalah perempuan musyrik, bukan perempuan kafir (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 136).
Orientasi internal
Pembacaan oleh PPIM-UIN Syarif Hidayatullah terhadap buku teks PAI tingkat SD-SMA tersebut memperlihatkan bahwa sebagian materi telah berupaya akomodatif terhadap perbedaan paham Islam dengan baik. Juga ada muatan teks khusus mempromosikan toleransi.
Namun, masih ada materi-materi yang menyajikan satu penafsiran tanpa menyertakan penafsiran yang berbeda sehingga mengesankan buku teks tersebut eksklusif, mempromosikan pandangan tertentu, dan mengabaikan yang lain. Bahkan, buku teks juga memuat konsep sensitif dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di buku teks ada penegasan bahwa penegakan hukum Allah hanya dapat dilakukan dengan khilafah dan yang tidak menegakkan hukum Allah berarti kufur (bertentangan dengan ketentuan Allah). Teks tersebut secara tersirat menganggap Muslim Indonesia kufur karena tidak berlandaskan khilafah (PPIM-UIN Syarif Hidayatullah, 2018, hlm 143-144).
Berkaitan dengan khilafah, seharusnya buku teks juga memuat pandangan sejumlah kiai NU dan Muhammadiyah, terutama tentang hubungan Pancasila dan UUD 1945 dengan nilai-nilai dalam Islam: keadilan, toleransi, kebebasan, dan persatuan. Tanpa menyertakan pandangan mereka, buku teks PAI akan ikut menyebarkan pandangan ormas radikal, seperti Hizbut Tahrir yang gencar mengusung gagasan khilafah dan menganggap NKRI sebagai kufur.
Analisis yang dilakukan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM menyebutkan materi PAI lebih menekankan pembentukan sikap dan berorientasi ke dalam, pendalaman internal, dan sangat membatasi diri terhadap orientasi memahami keragaman agama. Analisis ini sejalan dengan opini para siswa dan mahasiswa hasil penelitian PPIM di atas yang menyatakan PAI berpengaruh besar bagi para siswa dan mahasiswa untuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama.
Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, orientasi internal tersebut akan memperkecil, kalau tidak menutup sama sekali, ruang komunikasi antarpemeluk agama yang berbeda ataupun antarpenganut aliran berbeda di dalam satu agama. Siswa yang hanya belajar tentang agamanya secara dogmatis berpotensi sulit mengakui keberadaan pemeluk agama yang berbeda.
Bagaimanapun, buku ajar PAI dan Budi Pekerti yang menjadi acuan sekolah-sekolah merupakan etalase corak Islam versi negara. Melalui buku ini bisa dibaca ke arah mana pemahaman dan praktik keagamaan siswa Muslim akan dibawa.
Interaksi antaragama
Dengan materi ajar seperti yang telah diulas tersebut, tujuan pendidikan yang ada di dalam UU Sisdiknas 2003 tak mudah terwujud. Orientasi pendidikan agama yang cenderung ke dalam, yaitu memahami agamanya sendiri, akan sulit membuka ruang dialog terhadap perbedaan. Alih-alih menjadi demokratis, yang terwujud adalah sikap tidak mau mengakui, bahkan mungkin menolak keragaman.
Budhy Munawar Rahman, seorang cendekiawan Muslim, menyatakan, ”Pendidikan agama sampai saat ini masih dipisah sekat-sekat, tidak melatih siswa untuk belajar hidup bersama dengan pemeluk agama lain.” (Kompas, 12/9/2018).
Menurut dia, ada lima hal yang seharusnya dilakukan dalam pendidikan agama. Pertama, pembelajaran untuk menjadi tahu. Kedua, bagaimana melakukan. Ketiga, bagaimana menjadi. Keempat, bagaimana hidup berdampingan dengan yang lain. Kelima, bagaimana mampu melakukan transformasi dalam masyarakat.
”Pendidikan agama di Indonesia hampir berhenti di tahap pertama. Di tahap kedua dan ketiga hanya segelintir sekolah tradisional, seperti pondok pesantren dan sekolah berasrama, yang telah mempraktikkannya. Namun, pada tahap keempat dan kelima hampir tak pernah diajarkan di sekolah,” kata Budhy Munawar Rahman (Kompas, 12/9/2018).
Apa yang disebutkan oleh Budhy Munawar Rahman tersebut telah dipraktikkan oleh sebuah sekolah di Yogyakarta, yaitu SMA Budi Mulia Dua. Sekolah ini mengubah materi PAI menjadi sebuah model pembelajaran tentang inklusivisme, multikulturalisme, atau penghargaan terhadap kelompok yang berbeda, baik agama, etnis, budaya, maupun bahasa. Sesuai spiritnya, nama PAI pun diganti menjadi mata pelajaran Universalisme Islam (Indriyani Ma’rifah di dalam buku Mengelola Keragaman di Sekolah: Gagasan dan Pengalaman Guru, Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM, 2016).
Meskipun materi yang diajarkan tak berbeda jauh dengan PAI, yaitu meliputi akidah, syariah, sejarah Islam, Al Quran, dan hadis, isinya menawarkan sudut pandang dan nilai-nilai Islam universal. Oleh karena itu, Islam yang diajarkan tidak sebatas Islam normatif atau aspek ibadah dan hukum saja, tetapi juga Islam kontekstual.
Materi pelajaran selalu dikaitkan dengan isu-isu Islam kontemporer dan menggunakan beragam referensi, baik buku, jurnal, media massa, maupun internet. Beberapa contoh buku yang digunakan adalah Muhammad karya Karen Amstrong, Seven Habits karya Steven Covey, dan Emotional Spiritual Quotient karya Ary Ginanjar. Dalam hal metode, guru mengombinasikan beberapa cara, seperti ceramah, diskusi, kunjungan lapangan, atau studi banding. Sekolah ini pun beberapa kali mengajak siswa berkunjung ke rumah ibadah non-Muslim, atau mengundang tokoh agama lain.
Hasil pembelajaran di sekolah ini terbukti mampu membentuk pola pikir siswa yang inklusif dan toleran. Banyak siswa di situ yang mengaku sebelum mengikuti pelajaran Universalisme Islam mempunyai pandangan negatif terhadap pemeluk agama lain. Setelah ikut mata pelajaran itu, pandangan itu berganti menjadi positif dan apresiatif terhadap agama yang berbeda.
Buktinya bisa dilihat ketika suatu saat sekolah mengundang seorang ustaz terkenal untuk ceramah. Pihak sekolah tidak mengetahui bahwa ustaz tersebut memiliki pandangan intoleran. Ketika siswa mendengar isi ceramah yang menjelek-jelekkan agama lain, hampir semua siswa menyatakan keberatannya dan meminta pihak sekolah untuk lain waktu lebih berhati-hati dalam menyeleksi penceramah.
Praktik pengajaran seperti yang dilakukan SMA Budi Mulia Dua perlu dijadikan masukan bagi Kemendikbud dalam merancang kurikulum ataupun metode pengajaran agama. Bagaimanapun, institusi pendidikan merupakan arena tempat pertarungan diskursus terjadi.
Peran pendidikan tidak sebatas melahirkan tenaga kerja terampil, tetapi juga menanamkan ideologi dan nilai-nilai sosial kultural bangsa. Dengan peran seperti itu, lembaga pendidikan perlu memastikan dimasukkannya nilai-nilai yang mempromosikan toleransi dan inklusivisme dan bukan yang sebaliknya. (LITBANG KOMPAS)