Politik Ulama Berhadapan dengan Kekuasaan (2)
Tampilnya Kiai Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dari Joko Widodo mengindikasikan peran strategis ulama dalam kekuasaan. Peran ini sebenarnya sudah pernah dilakoni oleh para ulama pada masa prakolonial, di abad ke-14. Saat itu ulama diberi tempat yang strategis sebagai ”mitra” raja yang melegitimasi kesucian dan kesakralan kekuasaan raja. Peran ini berakhir seiring dengan melemahnya kekuasaan raja-raja Islam Nusantara yang kemudian berganti dengan kekuasaan kolonial.
Peran Kiai Ma’ruf sebagai pendamping capres tentu berbeda dengan peran para ulama pendahulunya enam abad silam. Tampilnya Ma’ruf di puncak kekuasaan politik bukan untuk ”menyakralkan” kekuasaan negara, melainkan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi salah satu cita-cita perjuangan para ulama dan umat Islam di Indonesia.
Sebagai keturunan langsung dari Syekh Nawawi Al Bantani, meritokrasi Ma’ruf Amin sebagai ulama memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Selain mewarisi kemampuan intelektual dari kakek buyutnya, Ma’ruf juga mewarisi jaringan ulama tradisional yang tersebar melalui pesantren. Jaringan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Ma’ruf Amin juga pernah nyantri kepada Kiai Khalil dan Kiai Hasyim, dua ulama yang pernah belajar kepada Syekh Nawawi Al Bantani.
Berbeda dengan muridnya, Syekh Nawawi tidak membangun atau memimpin pesantren. Meski demikian, menurut Jajat Burhanudin dalam buku Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta, 2012), Nawawi memiliki kedudukan istimewa dalam kaitan dengan perkembangan intelektual dan produksi ulama. Kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi sangat terkenal dan menjadi sumber bagi pembentukan diskursus Islam berbasis pesantren. Beberapa di antaranya masih menjadi bahan penting bagi pengajaran pesantren hingga kini.
Misteri pemilihan KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi perlahan-lahan mulai menampakkan fakta bahwa sosok Ketua MUI ini merupakan tokoh yang paling ideal untuk menyatukan kembali suara umat Islam yang sempat terkotak-kotak oleh isu kasus penistaan agama (Basuki Tjahaja Purnama). Sosok Ma’ruf yang sederhana dan tenang merepresentasikan watak Islam yang dianutnya, yaitu Islam moderat yang menjadi ciri umum umat Islam Indonesia.
Watak Islam moderat Kiai Ma’ruf bisa ditelisik dari pengalaman keagamaan yang membentuk pola pikir dan karakter intelektual yang ditempuh sejak masa kanak-kanak. KH Ma’ruf Amin terlahir dari keluarga dan masyarakat Islam tradisional berbasis Nahdlatul Ulama (NU) di Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Tanara sejak dulu sudah dikenal sebagai salah satu basis Islam tradisional terkuat di Banten yang juga menjadi basis pertahanan masyarakat Banten melawan pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad XIX.
Latar belakang keluarga sebagai santri telah melandasi perjalanan hidup Kiai Ma’ruf dari seorang santri madrasah menjadi ulama berpengaruh di NU dan Tanah Air. Perjalanan karier Ma’ruf Amin berawal dari Ketua NU Jakarta tahun 1966 yang kemudian menanjak pada posisi strategis di Pengurus Besar NU (PBNU), salah satunya menjadi Khatib Aam Syuriah atau Sekretaris Syuriah PBNU yang dijabat dari tahun 1989 hingga 1994.
Posisi Khatib Aam Syuriah ini cukup prestisius di PBNU karena jabatan ini menjadi salah satu kunci untuk meraih posisi Rois Aam Syuriah, jabatan struktural tertinggi di PBNU. Lagi-lagi, Kiai Ma’ruf mendapat kepercayaan dari para ulama dan pengurus NU untuk menjabat Rois Aam Syuriah sekaligus memimpin ormas Islam terbesar ini pada 1994 hingga tahun 1998. Setelah tahun tersebut KH Ma’ruf Amin lebih banyak aktif sebagai penasihat dalam struktur Mustasyar atau Dewan Penasihat PBNU bersama para ulama sepuh NU yang lain.
Selain aktif di PBNU, Kiai Ma’ruf juga terlibat dalam aktivitas organisasi Islam yang senapas dengan NU. Di organisasi-organisasi Islam ini Kiai Ma’ruf juga berperan penting sehingga diberi amanah untuk menjabat posisi-posisi strategis. Beberapa organisasi yang pernah mewarnai perjalanan karier Kiai Ma’ruf adalah Koordinator Da’wah Indonesia (Kodi) dengan jabatan koordinator pada 1970, Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (Bazis) sebagai anggota hingga tahun 1977, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai anggota pada 1990.
Posisi yang terus melekat pada sosok Kiai Ma’ruf seiring dengan perjalanan kariernya di PBNU adalah anggota MUI yang digeluti selama enam tahun. Ma’ruf dipindahkan ke pos baru sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI tahun 1996. Jabatan ini diemban hingga tahun 2001 bersamaan dengan promosi jabatannya yang baru sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI.
Inilah jabatan yang mengangkat popularitas Kiai Ma’ruf sebelum dirinya ditunjuk untuk memimpin organisasi para ulama se-Indonesia ini pada 2007 hingga 2010. Jabatan yang sama kemudian dijabat lagi tahun 2015 sampai sekarang (sebelum pencapresan).
Aktivitas Kiai Ma’ruf sejak menjadi anggota MUI hingga Ketua MUI yang digeluti selama 17 tahun menyiratkan keuletan dan militansi perjalanan karier Ma’ruf Amin sebagai ulama yang ditempuh melalui jalur formal. Keberhasilan KH Ma’ruf Amin meraih posisi puncak di PBNU dan MUI menjadi bukti yang melegitimasi otoritasnya sebagai ulama, baik oleh sesama ulama maupun oleh negara.
Kiprah di parpol
Dalam politik Ma’ruf Amin merupakan salah satu tokoh Islam yang ikut mendampingi jatuh bangunnya perjuangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai saluran politik resmi NU pada masa Orde Baru. Di PPP, karier politik Ma’ruf Amin berawal dari pengurus wilayah PPP Jakarta tahun 1970-an yang memberi peluang menjadi anggota DPRD I Jakarta pada Pemilu 1977.
Kepiawaian Ma’ruf dalam politik terbentuk selama dirinya aktif di PPP dan selalu terpilih menjadi anggota DPR setelah Pemilu 1982. Nama Ma’ruf lambat laun mulai dikenal secara nasional melalui jabatannya sebagai pimpinan Komisi A dari Fraksi PPP. Ketika gerakan reformasi bergulir tahun 1998, Ma’ruf Amin mengubah haluan politiknya dari PPP ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), satu-satunya saluran politik resmi NU yang kelahirannya direstui oleh para ulama dan kiai NU.
Jejak politik Ma’ruf Amin selama menjadi politisi PKB tidak jauh beda dengan kedudukannya ketika masih menjadi politisi PPP. Ma’ruf tetap terpilih sebagai anggota DPR dari PKB untuk periode 1999-2004. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut Ma’ruf pernah menjabat Ketua Komisi VI dari Fraksi PKB, anggota Panitia Anggaran dari Fraksi PKB, dan anggota Komisi II dari Fraksi PKB. Hal penting yang perlu dicatat dari PPP dan PKB adalah terbentuknya karakter politik dan citra Ma’ruf Amin sebagai politisi Islam kawakan namun moderat.
Karakter dan citra inilah yang membuat sosok Ma’ruf relatif akomodatif terhadap semua kelompok Islam di Indonesia dan membuat dirinya juga bisa diterima oleh semua kalangan di Indonesia. Kemampuan Ma’ruf Amin menjaga reputasinya sebagai politisi Islam yang lurus dan posisinya sebagai ulama NU membuat sosoknya menjadi kandidat yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 2007. Jabatan yang sama kembali ditempati Ma’ruf ketika SBY memenangi Pilpres 2009.
Selain sukses dalam membangun citra tokoh agama dan tokoh nasional, Ma’ruf juga dikenal memiliki pengetahuan ekonomi yang mumpuni, terutama ekonomi syariah. Pengetahuan inilah membuat dirinya menjadi tokoh penting atau arsitek di balik maraknya perkembangan Bank Syariah di Indonesia pada akhir 1990-an. Ketika Bank Muamalat hendak didirikan tahun 1992, tokoh yang terlibat penuh di balik konsep syariah bank syariah pertama di Indonesia ini adalah Ma’ruf Amin. Bank Muamalat menjadi satu-satunya bank syariah yang beroperasi sampai dengan tahun 1998.
Untuk menggarap potensi pertumbuhan ekonomi syariah yang lebih besar, tahun 1999 dibentuklah Dewan Syariah Nasional (DSN) yang diketuai Ma’ruf Amin. Tugas utama dewan ini adalah menumbuhkembangkan ekonomi syariah, termasuk bank syariah. Selain menjabat DSN, Ma’ruf Amin juga mendapat kepercayaan dari Bank Indonesia untuk menjadi anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia.
Kesuksesan Ma’ruf dalam membidani lahirnya perbankan syariah di Indonesia semakin memperkuat reputasinya sebagai pakar ekonomi keumatan. Beberapa bank swasta nasional yang memiliki cabang usaha sebagai bank syariah, seperti Bank BNI Syariah dan Bank Mega Syariah memercayakan jabatan dewan pengawas syariah kepada Ma’ruf Amin.
Kepiawaian mengintegrasikan pengetahuan ekonomi keumatan, pengalaman politik, dan otoritas ulama ke dalam sosoknya membuat spektrum ketokohan Ma’ruf Amin terasa tebal dan bervariasi warnanya. Artinya, Ma’ruf Amin merupakan seorang tokoh Islam yang sudah teruji ilmunya melalui rekam jejak agama, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, kualitas ulama yang tampak pada diri Ma’ruf Amin sekarang benar-benar ditempa oleh pribadinya sendiri meskipun secara geneologis, anggota Dewan Mustasyar PBNU ini juga mewarisi darah ulama buyutnya, Syekh Nawawi Al Bantani dari Banten.
Pergeseran orientasi
Sementara itu merunut ke belakang, persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (BTP), Gubernur DKI Jakarta telah memindahkan lokus wacana ”penistaan agama” dari jalanan ke dalam ruang sidang pengadilan. Pergeseran lokus ini sekaligus memindahkan subyek perkara dari massa atau umat Islam kepada pengadilan atau negara melawan Gubernur Basuki.
Ketika BTP divonis dengan hukuman 2 tahun penjara dan langsung dikirim ke Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, daya cengkeram wacana ”penistaan agama” yang menghegemoni semangat umat Islam langsung melemah. Eksponen penggerak aksi pun segera bermetamorfosa menjadi organisasi massa yang tetap membawa embel-embel aksi bela Islam. GNPF MUI berubah menjadi GNPF Ulama, sementara sejumlah aktivis aksi 212 membentuk Alumni 212.
Perubahan ini merupakan respons terhadap situasi dan kondisi politik nasional, yang didominasi oleh isu pemilihan bakal calon wakil presiden untuk Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Di titik inilah para eksponen aksi bela Islam mengubah orientasi perjuangan mereka dari pembela Islam menjadi pejuang politik dengan bertumpu pada legitimasi Islam.
Dalam percaturan wacana pemilihan bakal cawapres untuk Pemilihan Presiden 2019, eksponen aksi bela Islam memperlihatkan kecenderungan mereka untuk memihak kepada capres Prabowo Subianto ketimbang Joko Widodo. Kecenderungan ini bisa dibaca dari kedekatan para ulama GNPF Ulama dengan tokoh-tokoh PKS dan PAN, dua partai Islam yang selalu menjadi sekutu Prabowo. Amien Rais, misalnya, merupakan salah satu tokoh penting aksi bela Islam yang selalu hadir dalam setiap aksi.
Langkah politik GNPF Ulama semakin jelas berorientasi kepada capres Prabowo tatkala lembaga ini menyampaikan rekomendasi atas hasil Ijtima Ulama tentang kepemimpinan nasional pada 28 Juli 2018. GNPF merekomendasikan dua paket alternatif capres dengan menyandingkan sosok ulama sebagai wakilnya. Paket tersebut adalah Prabowo Subianto-Al Habib Salim Segaf Al’Jufrie atau Prabowo Subianto-Ustaz Abdul Somad Batubara. Keputusan ini mengikat seluruh peserta ijtima untuk memberikan dukungan kepada paket capres yang direkomendasikan.
Putusan ijtima ini memperlihatkan antusiasme para ulama untuk mengorbitkan posisi mereka ke pentas politik nasional melalui nama-nama ulama yang direkomendasikan sebagai bakal cawapres dari Prabowo. Dengan memublikasikan nama Ustaz Salim Segaf Al’Jufrie dan Ustaz Abdul Somad sebagai bakal cawapres, GNPF Ulama sudah memosisikan diri sebagai bagian dari kubu Prabowo, bakal capres pesaing calon petahana Joko Widodo. Pengambilan posisi sebagai lawan dari Jokowi menunjukkan sikap oposan GNPF Ulama terhdap Presiden Joko Widodo.
Pilihan menjadi ulama ”oposisi” akhirnya benar-benar diwujudkan oleh GNPF Ulama meski Prabowo Subianto tidak memilih satu pun dari dua ulama yang direkomendasikan untuk menjadi cawapresnya pada 19 Agustus lalu. Para ulama ini tetap mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno yang ditetapkan melalui Ijtima Ulama II pada September lalu. Putusan ini sekaligus mengkristalkan aspirasi politik ulama pendukung gerakan bela Islam yang ingin menjatuhkan Presiden Joko Widodo, seperti keinginan mereka menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melalui isu-isu Islam dan aksi massa.
Dalam konteks gerakan 212, dimaklumi pula besarnya peran KH Ma\'ruf Amin yang mengeluarkan fatwa penistaan agama sekaligus menginisiasi skala besar aksi massa. Namun angin politik cepat berubah, dan dengan gamblang mudah terlihat kepiawaian politik dan fleksibilitas pandangan Ma\'ruf Amin yang kini berdampingan dengan Jokowi di Pilpres 2019.
Jaringan ulama
Kiai Ma’ruf merepresentasikan sosok ulama sejati yang dibentuk oleh pengalamannya dalam berorganisasi, latar belakang kultur keagamaan, dan garis keturunan. Komitmen Ma’ruf untuk berkiprah di NU dari seorang anggota kemudian menjadi pengurus wilayah, hingga menjadi Rais Am menunjukkan garis perjuangan yang konsisten dalam membentuk watak kepemimpinan sebagai ulama melalui organisasi NU. Kiprah Ma’ruf di MUI selama lebih dari dua dasawarsa ikut mempertebal kualitas senioritas Kiai Ma’ruf sebagai ulama di tingkat nasional.
Kultur keluarga dan masyarakat Banten yang berciri Islam tradisional juga berperan dalam membentuk watak pemikiran agama Ma’ruf Amin. Kedekatan Ma’ruf dengan pesantren dan lembaga pendidikan Islam selama masa belajar semakin meneguhkan karakter intelektual Ma’ruf sebagai sebagai seorang Islam tradisionalis. Pengalaman kultur inilah yang membuka jalan kepada Ma’ruf untuk mengabdi sebagai anggota, pengurus, sekaligus ulama NU.
Latar belakang keluarga juga berpengaruh kuat dalam membentuk sosok Ma’ruf Amin sebagai ulama. Secara geneologis Ma’ruf Amin dikenal sebagai cicit dari Syekh Nawawi Al Bantani, seorang ulama besar asal Banten yang mendalami ilmu agama Islam di Mekkah pada abad XVII. Syekh Nawawi merupakan salah satu ulama yang meletakkan dasar bagi terciptanya jaringan ulama di Jawa. Syekh Nawawi juga menjadi salah satu ulama yang ikut membidani lahirnya ulama-ulama yang di kemudian hari menjadi pemimpin Islam di Nusantara.
Kiai Khalil Bangkalan dari Madura dan Kiai Hasyim Asy’ari dari Jombang merupakan dua ulama besar yang pernah berguru kepada Syekh Nawawi. Kedua ulama ini kemudian dikenal memiliki pengaruh yang besar di daerah mereka melalui pesantren yang mereka pimpin. Bahkan, KH Hasyim Asy’ari kemudian melangkah lebih jauh dengan mendirikan Nadatul Ulama (NU) sebagai organisasi ulama tradisional.
Dalam konteks ini bisa dipahami alasan koalisi penyokong Jokowi lebih condong kepada Kiai Ma’ruf ketimbang Mahfud MD yang secara elektabilitas lebih prospektif dalam menggalang dukungan. Ma’ruf Amin dianggap sebagai sosok ulama yang bisa menjaga soliditas umat Islam di dalam bingkai NKRI. Sosok Ketua MUI ini juga merepresentasikan kesinambungan semangat ulama sebagai penjaga keragaman tradisi Nusantara yang menjadi semangat keindonesiaan sekarang. (LITBANG KOMPAS)