Memahami Arti Bahagia
Happiness depends upon ourselves - Aristotle
Siapa yang tidak ingin bahagia dalam hidupnya? Rasanya nyaris semua insan di dunia ini mendambakan kebahagiaan. Maknanya bisa bermacam-macam, seperti yang Aristotle katakan bahwa kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri. Ada yang mengartikan dengan mengejar materi atau ketika memiliki kesehatan yang baik. Ada pula yang mengartikan lain.
Kebahagiaan memang sulit dipahami, tetapi semua orang berlomba-lomba meraihnya. Hingga kini tidak ada definisi pasti soal arti bahagia meski banyak orang ternama mencoba menjelaskannya. Bahagia lebih dari sekadar suasana hati yang baik atau perasaan puas akan sesuatu.
Daniel Gilbert, psikolog positif, sebagaimana dikutip dari Harvard Magazine, menyatakan bahwa kita tidak harus bahagia sepanjang waktu. Meski kita menginginkannya, kita memiliki beragam emosi untuk merespons sesuatu secara alamiah. Oleh karena itu, Gilbert menekankan, kebahagiaan adalah sebuah ”tempat” untuk dikunjungi, bukan ”tempat” untuk tinggal.
Alasan bahagia
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan mayoritas responden mengaku sedang bahagia pada saat diwawancara. Alasan yang membuat mereka bahagia sangat beragam, terbanyak adalah kesehatan yang baik.
Kesehatan dan kebahagiaan memang berkorelasi sebagaimana dinyatakan Harvard Medical School dalam Harvard Health Publishing, jika ingin memiliki kesehatan yang baik, mulailah dengan fokus terhadap apa yang membuat kita bahagia. Rasa bahagia tidak hanya soal hati, tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan, seperti memperpanjang harapan hidup, menurunkan tingkat stres, dan mengurangi risiko beragam penyakit.
Proporsi terbanyak kedua, yakni 27,1 responden, menjawab lingkungan sosial yang baik seperti keluarga dan teman sebagai alasan yang membuat mereka paling bahagia. Para peneliti dari Harvard Medical School dan University of California, San Diego, menemukan bahwa kebahagiaan bukan semata-mata hasil dari perjalanan individu, melainkan juga sebuah fenomena kolektif yang menyebar lewat jaringan sosial.
Penelitian yang dilakukan kepada 5.000 orang selama 20 tahun ini mengungkap, jika seseorang bahagia, lingkungannya dalam kapasitas tiga derajat juga akan bahagia, yakni teman kita, temannya teman kita, dan temannya temannya teman kita. Bahkan, hal ini bisa berlangsung satu tahun lamanya. Maka, tidak salah jika kehadiran teman bisa mengantarkan kebahagiaan ke dalam hidup kita.
Lantas, bagaimana dengan uang dan kemakmuran yang digadang-gadang sebagai pembawa kebahagiaan? Hanya 11,6 persen responden menjawab keuangan yang tercukupi sebagai alasan bahagia. Konsep yang dikembangkan oleh ekonom Richard Easterlin, yaitu Easterlin Paradox, menjelaskan, kebahagiaan tidak sejalan dengan materi.
Riset yang Easterlin lakukan menunjukkan penduduk di negara miskin lebih bahagia ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi, sedangkan kelebihan uang di luar itu tidak signifikan meningkatkan derajat kebahagiaan.
Senada dengan itu, Jonathan Rauch, pengarang buku The Happiness Curve: Why Life Gets Better After 50, dalam opininya di The New York Times menyatakan, perbedaan pertumbuhan ekonomi dan kepuasan individu dimulai dekade lalu. Pendapatan per kapita meningkat tiga kali lipat sejak akhir 1950, sedangkan persentase orang yang mengatakan bahagia sedikit menurun.
Negara bahagia
Berdasarkan World Happiness Report tahun 2018, negara-negara Nordik mendominasi urutan 10 besar negara bahagia di dunia. Finlandia adalah negara paling bahagia di antara 156 negara. Menyusul Norwegia, Denmark, Eslandia, Swiss, Belanda, Kanada, Selandia Baru, Swedia, dan Australia. Negara-negara Nordik menganut demokrasi sosial yang memiliki dukungan sosial kuat, pelayanan publik baik, dan pembayaran pajak yang cukup tinggi.
Laporan ini bukan menunjukkan kebahagiaan penduduk di negara tersebut, melainkan lembaga negara dalam pemenuhan enam kriteria yang memengaruhi hidup seseorang, yakni penghasilan, ekspektasi hidup, dukungan sosial, kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, tingkat korupsi, dan kedermawanan.
Indonesia berada di peringkat ke-96. Di antara keenam kriteria ini, Indonesia unggul di kriteria dukungan sosial (peringkat ke-92) dan aspek kebebasan (peringkat ke-57). Secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia tertinggal cukup jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Indonesia bahkan didahului Vietnam di peringkat ke-95.
Singapura dan Malaysia berurutan di peringkat ke-34 dan ke-35. Lalu, Thailand di peringkat ke-46 dan Filipina di peringkat ke-71. Indonesia bahkan hanya berbeda dua peringkat dengan Somalia, negara yang penuh teror serta memiliki jutaan pengungsi dan warga yang menderita kelaparan.
Jika lembaga negara belum mampu memenuhi kriteria tersebut, lantas bagaimana dengan kadar kebahagiaan penduduk Indonesia? Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, hampir seluruh responden mengaku bahagia tinggal di Indonesia. Sebanyak 40,1 persen menyebutkan alasannya adalah karena negara ini merupakan tempat lahir mereka. Sementara alasan terbanyak kedua karena masyarakatnya ramah atau baik.
Kebaikan masyarakat Tanah Air tampaknya bukan ucapan belaka. Charities Aid Foundation (CAF) yang merupakan organisasi amal di Inggris pada tahun 2018 melansir CAF World Giving Index 2018. Tiga aspek penilaian adalah menolong orang tidak dikenal, mendonasikan uang untuk amal, dan menjadi sukarelawan. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat pertama untuk pertama kalinya dari 144 negara meski menurut PBB ekonomi Indonesia tergolong pendapatannya menengah ke bawah.
Indonesia berada di peringkat pertama dalam aspek waktu kesukarelawanan sebesar 53 persen atau 100 juta orang. Jika ditelaah menurut jender, Indonesia memiliki persentase terbesar sukarelawan perempuan, yakni 48 persen. Adapun dalam aspek mendonasikan uang, Indonesia berada di peringkat kedua setelah Myanmar, yakni 78 persen atau 144 juta orang. Terakhir, Indonesia berada di peringkat ke-97 dalam aspek membantu orang tak dikenal dengan 46 persen atau 86 juta orang.
Dukungan sosial yang begitu kuat di antara masyarakat Indonesia seharusnya bisa menjadi modal untuk menghadapi beragam permasalahan bangsa. Jangan sampai perbedaan yang ada justru membuat kita terpecah belah. Mari jaga apa yang sudah ada agar Indonesia senantiasa berbahagia! (LITBANG KOMPAS)
Metode Jajak Pendapat
Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas pada 19-20 September 2018. Sebanyak 601 responden berusia minimal 17 tahun berbasis rumah tangga dipilih secara acak bertingkat di 16 kota besar di Indonesia, yaitu Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, Pontianak, Samarinda, Manado, Makassar, Ambon, dan Jayapura. Jumlah responden ditentukan secara proporsional di tiap kota. Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan +/- 4 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini mencerminkan pendapat masyarakat sesuai karakteristik responden di 16 kota.