Tahun-tahun Produktif Pemekaran Wilayah
Sistem desentralisasi yang dimulai pada awal era reformasi telah melahirkan banyak daerah otonom baru. Selama hampir dua dekade, jumlah daerah otonom baru bertambah 215 kabupaten/kota atau meningkat sebanyak 42 persen. Jumlah ini cukup fantastis jika dibandingkan dengan 297 kabupaten/kota yang sudah ada hingga akhir era Orde Baru.
Wilayah Indonesia yang luas dari Sabang sampai Merauke, dengan karakter kepulauan, memang membutuhkan kehadiran pemerintah yang mampu menjangkau penduduk hingga ke pelosok. Semangat awal pembentukan daerah otonom baru adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum yang menaungi pemekaran wilayah. Aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menjadi acuan.
Payung hukum ini selanjutnya direvisi melalui UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dilengkapi dengan PP baru. PP tersebut adalah PP No 78/2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Sepanjang 1999 hingga 2014, dari 126 kabupaten induk telah lahir 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 34 kota dan 181 kabupaten. Jumlah ini menjadikan total wilayah kota di Indonesia menjadi 98 kota dan wilayah kabupaten menjadi 416 kabupaten. Dengan demikian, total kabupaten dan kota di Indonesia sejak 2014 hingga kini berjumlah 514 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Persebaran
Dilihat dari persebarannya, penambahan daerah otonom baru ini terbanyak terjadi di luar Pulau Jawa. Rasio perbandingan daerah otonom baru di Jawa dan luar Jawa adalah 5:95. Secara regional, jumlah daerah otonom baru di Jawa adalah yang terkecil (5,1 persen). Hanya 11 daerah otonom baru (8 kota dan 3 kabupaten) yang muncul di Jawa.
Penambahan daerah otonom baru di Jawa hanya terdapat di DKI Jakarta (satu kabupaten), Jawa Barat (empat kota dan dua kabupaten), Banten (tiga kota), dan Jawa Timur (satu kota).
Kenapa Jawa tidak memiliki banyak daerah pemekaran? Hal itu disebabkan wilayah Jawa sudah padat dan memiliki banyak daerah otonom. Dengan luas wilayah yang kurang dari 10 persen dari total luas Indonesia, hingga 1998, Jawa memiliki 108 kabupaten/kota atau sekitar sepertiga (36,36 persen) dari total kabupaten/kota di Indonesia saat itu.
Di luar Jawa, pemekaran wilayah paling banyak terdapat di Sumatera (36,9 persen dengan 14 kota dan 66 kabupaten). Disusul wilayah Kepulauan Maluku dan Papua (21,7 persen).
Provinsi Papua merupakan provinsi yang paling banyak melahirkan daerah otonom baru, yaitu 22 kabupaten/kota. Selanjutnya Provinsi Sumatera Utara, yaitu 16 kabupaten/kota. Dengan hampir sebagian besar provinsi tergoda melakukan pemekaran, terdapat tiga provinsi yang tidak mengalami penambahan daerah otonom baru. Ketiga provinsi itu adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali.
Daerah luar Jawa tidak hanya melahirkan daerah otonom baru setingkat kabupaten/kota, tetapi juga provinsi baru. Terdapat delapan provinsi baru yang lahir dalam periode 1999 hingga 2012. Tujuh di antaranya terdapat di luar Jawa. Ke delapan provinsi baru tersebut adalah Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Jika dicermati, pemekaran wilayah banyak terjadi di provinsi yang berkarakteristik kepulauan. Di level provinsi ada Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Di kedua provinsi ini, jumlah kabupaten/kota baru lebih dari dua pertiga bagian.
Kepulauan Riau, misalnya, dari 7 kabupaten/kota yang ada sekarang, 6 di antaranya (85,7 persen) adalah daerah otonom baru. Keenam daerah otonom baru ini hasil pemekaran dari satu kabupaten yang bernama Bintan, yang sebelumnya bagian dari Provinsi Riau. Kabupaten Bintan memisahkan diri dari Riau daratan dan membentuk provinsi tersendiri bernama Kepulauan Riau.
Kondisi yang mirip terlihat pada Provinsi Maluku Utara. Delapan dari sepuluh kabupaten/kota (80 persen) yang ada di Maluku Utara adalah daerah otonom baru hasil pemekaran dari empat kabupaten. Maluku Utara sendiri awalnya adalah wilayah dua kabupaten yang menjadi bagian dari Provinsi Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Utara dan Halmahera Tengah.
Tahun produktif
Dilihat dari dimensi waktu, pemekaran wilayah menjadi daerah otonom baru bisa dibagi dalam dua periode. Sebanyak dua pertiga dari daerah otonom baru terbentuk pada periode pertama (periode 1999-2003), yaitu 141 kabupaten/kota. Sebanyak 74 kabupaten/kota lainnya terbentuk pada periode kedua (2007-2014).
Selama tahun 2004-2006 terjadi kekosongan alias tidak ada pemekaran wilayah. Di dalam dua periode itu pun terdapat tahun-tahun kosong alias tidak ada pemekaran wilayah, yaitu tahun 2000, 2010, dan 2011.
Tahun awal reformasi (1999) menjadi tahun yang cukup produktif melahirkan daerah otonom baru, yaitu 43 kabupaten/kota (20 persen). Namun, tahun yang paling produktif adalah tahun 2003 dengan munculnya 49 kabupaten/kota baru (22,6 persen).
Evaluasi pemekaran
Munculnya banyak daerah otonom baru seolah tidak dapat dibendung. Meski ada aturan mengenai pembentukan daerah baru, pemerintah tidak punya kerangka besar (grand design) tentang pemekaran wilayah sehingga pertambahan daerah otonom baru sangat fantastis. Tidak ada kajian yang secara meyakinkan bisa menyatakan kondisi jumlah ideal provinsi dan kabupaten/kota yang perlu dimiliki untuk wilayah seluas Indonesia.
Tanpa kerangka besar, pemekaran wilayah seakan sulit dihentikan. Apalagi, di tingkatan bawah ada anggapan bahwa dengan membentuk daerah baru bakal menerima tambahan dana dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan dan transfer daerah.
Untuk menghindari masalah, pembentukan daerah otonom baru pernah diusulkan untuk dihentikan sembari dilakukan evaluasi. Jangan sampai makna pemekaran wilayah berubah menjadi pemekaran masalah.
Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2006 pernah mengevalusi daerah pemekaran baru dan hasilnya menyebutkan dari 104 daerah otonom baru yang terbentuk (5 provinsi dan 97 kabupaten/kota) dari tahun 2000 hingga 2004, sebanyak 76 daerah di antaranya masih bermasalah. (Kompas, 3/3/2006)
Berbagai masalah yang timbul antara lain aset daerah yang belum diserahkan ke daerah pemekaran baru, letak ibu kota yang masih belum pasti, atau daerah yang baru saja terbentuk tetapi sudah dimekarkan lagi. Beberapa daerah otonom baru yang dimekarkan dari daerah yang baru dimekarkan misalnya Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi NAD) dan Boalemo (Provinsi Gorontalo).
Aceh Singkil yang dimekarkan pada 1999 dari kabupaten induknya Aceh Selatan, pada tahun 2007 membentuk daerah otonom baru lagi bernama Kota Subulussalam. Adapun Kabupaten Boalemo yang terbentuk pada 1999, pada tahun 2003 memekarkan diri sehingga terbentuk Kabupaten Pohuwato pada 2003.
Masalah lainnya seperti kondisi keuangan dan infrastruktur pendukung yang tidak memadai. Syarat teknis pembentukan daerah otonom baru sering mengabaikan kemampuan keuangan daerah. Banyak daerah otonom baru yang memiliki kemampuan fiskal rendah sehingga menjadi sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Bahkan, ada pemekaran yang justru melahirkan konflik horizontal antara kelompok yang pro-pemekaran dan yang kontra-pemekaran seperti yang pernah terjadi saat pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa (Provinsi Sulawesi Barat) menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa tahun 2002.
Tidak bisa dimungkiri, dalam pemekaran wilayah, aspek politis seperti adanya keinginan dari para elite daerah, termasuk elite partai politik, kerap menjadi pertimbangan terbentuknya daerah baru. Indikator kelayakan pembentukan daerah otonom baru tidak lagi murni alias bisa didongkrak.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah baru sering kali dijadikan rujukan bagi daerah lain untuk menuntut pemekaran. Padahal, belum tentu daerah tersebut memiliki kelayakan untuk berdiri sebagai daerah otonom. Kondisi ini tentu saja menyimpang dari semangat awal membentuk daerah otonom baru.
Moratorium pemekaran
PP tentang pemekaran daerah telah gagal mengendalikan pemekaran. Kementerian Dalam Negeri pernah melaporkan pada tahun 2006, dari 148 daerah otonom baru yang dievaluasi, sekitar 80 persen masuk kategori bermasalah dan gagal. Sementara Kementerian Keuangan pada 2007 menyebutkan mayoritas daerah pemekaran tergolong berkemampuan keuangan rendah. (Kompas, 31/5/2007).
Analisis Badan Pemeriksa Keuangan pun menyebutkan pemekaran daerah berdampak negatif pada perekonomian karena membebani keuangan negara. Kegagalan itu bukan merupakan kegagalan pemerintah daerah semata dalam menjalankan fungsi otonomi, melainkan juga merupakan andil pemerintah pusat yang minim regulasi serta lemah dalam pengawasan dan evaluasi.
Dengan segala kondisi itu, baru pada pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil secara tegas melakukan moratorium pemekaran wilayah. Sejak 2015, tidak ada daerah otonom baru yang dibentuk. Keputusan moratorium akan diberlakukan selama belum ada peraturan pemerintah yang baru yang mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan, selama aturan belum dirumuskan, pemerintah tidak akan mengizinkan usulan pembentukan daerah otonom baru. Dalam aturan yang sedang dirumuskan itu, pemerintah menjajaki klausul untuk mengembalikan daerah yang telah dimekarkan ke wilayah induk karena gagal berkembang. Presiden Jokowi pun menegaskan pembentukan daerah otonom baru tidak boleh didasarkan pada pertimbangan politik.
Daerah persiapan
Meski moratorium pemekaran diberlakukan, pembentukan daerah persiapan masih diperbolehkan. Daerah di perbatasan, kepulauan, dan terisolasi menjadi prioritas pembentukan daerah persiapan. Daerah persiapan bukanlah pemekaran, melainkan daerah yang sedang melakukan uji coba.
Mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum suatu daerah ditetapkan menjadi daerah otonom baru, harus melalui tahapan sebagai daerah persiapan selama tiga tahun. Pada akhir masa daerah persiapan, akan ada evaluasi dari pemerintah untuk menentukan layak tidaknya daerah itu berdiri sendiri.
Jika tidak layak, daerah persiapan harus kembali ke daerah induk. Regulasi ini mengubah aturan sebelumnya di mana daerah otonom baru bisa langsung dibentuk setelah disepakati oleh pemerintah dan DPR tanpa harus melalui tahapan daerah persiapan.
Moratorium pemekaran kini telah memasuki tahun ketiga. Rupanya, usulan pemekaran wilayah tidak pernah berhenti di tingkat bawah. Saat ini, Kementerian Dalam Negeri telah menerima 254 usulan daerah otonom baru. (Kompas, 4/9/2018)
Jumlah itu berasal dari 87 usulan yang telah diamanatkan dalam amanat presiden, sebanyak 166 usulan yang tercatat di Kemendagri, dan satu Rancangan Undang-Undang daerah otonom baru yang tertunda, yakni Kota Raha, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan tingkatan daerahnya, dari total 254 usulan itu, sebanyak 33 merupakan usulan pemerintah provinsi, 193 usulan pemerintah kabupaten, dan 28 usulan pemerintah kota.
Semua usulan itu kini masih ditahan sampai moratorium pemekaran daerah otonom dicabut. Jika keran moratorium dibuka dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru tidak diperketat, bisa dibayangkan pertambahan daerah otonom baru menjadi semakin tidak terkendali. Tahun-tahun produktif pemekaran akan bersemi kembali. (LITBANG KOMPAS)