Selimut Perang Dagang di Forum G-20
Dibentuk pada 1999, The Group of Twenty atau G-20 awalnya merupakan pertemuan tingkat menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Forum tersebut bertujuan sebagai wadah diskusi tentang kebijakan yang bermanfaat bagi penyelesaian krisis ekonomi dan finansial yang melanda dunia pada 1997.
Sejak 2008, G-20 meningkat menjadi forum tingkat kepala negara/pemerintah. Pertemuan tingkat tinggi tersebut diadakan setiap tahun diikuti 19 negara dan 1 Kelompok Regional (Uni-Eropa).
G-20 merupakan salah satu forum yang berpengaruh di dunia. Kelompok ini secara kolektif mewakili 85 persen produk domestik bruto dunia, 75 persen perdagangan global, 80 persen investasi dunia, serta 66 persen penduduk dunia.
Untuk membahas isu-isu global, forum G-20 dibagi ke dalam dua jalur, yakni jalur keuangan (finance track) dan jalur Sherpa (Sherpa track). Jalur keuangan, terdiri dari para menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari seluruh anggota G-20. Secara khusus, jalur tersebut membahas sejumlah agenda yang terkait dengan sektor keuangan.
Sementara, jalur Sherpa membahas agenda lain yang berada di luar sektor keuangan serta mempersiapkan berbagai dokumen untuk dibahas pada KTT. Oleh karena itu, perwakilan Sherpa umumnya ditunjuk secara langsung oleh kepala pemerintahan/negara dan dipandang sebagai representasi mereka pada berbagai pertemuan G-20 selain KTT.
Laman Sherpa G-20 Indonesia mencatat, pada awal pembentukannya, G-20 difokuskan pada upaya mereformasi sistem keuangan global sebagai salah satu kunci untuk menjawab krisis perekonomian global.
Rumusan tersebut kemudian dipertajam pada KTT G-20 tahun 2009 di Pittsburgh, AS. Tujuan G-20 dirumuskan dengan lebih gamblang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan berimbang.
Awal mula terbentuknya G-20 tidak dapat dilepaskan dari pengembangan Kelompok 6 sebagai respons atas resesi ekonomi dunia pada 1971. Kelompok tersebut terdiri dari negara Perancis, Jerman Barat, Italia, Jepang, Inggris, dan AS. Empat tahun kemudian, enam kepala pemerintahan tersebut menggelar pertemuan di Kastil Rambouillet, Perancis.
Keenam pemimpin kemudian sepakat mengadakan pertemuan tahunan dan terbentuklah G-6 pada 1975. Tahun berikutnya, Kanada bergabung sehingga G-6 berubah menjadi G-7.
Forum kembali berkembang seiring bergabungnya Rusia pada 1997, menggenapkan kerja sama menjadi G-8. Seiring penambahan anggota dan cakupan forum ekonomi yang lebih besar, peran G-8 berubah menjadi G-20.
Selain menjadi forum ekonomi dunia, sejarah panjang terbentuknya G-20 juga mencatat perdagangan dunia sebagai persoalan yang kerap terjadi antarnegara.
Pertemuan tingkat tinggi di Rambouillet pada 1975 menghasilkan komitmen dari enam pemimpin negara industri untuk menghindari usaha menyelesaikan persoalan perdagangan mereka masing-masing dengan membebani negara lain.
Substansi dari komitmen tersebut adalah menghindari perang dagang. Kekhawatiran ini tidak lepas dari praktik perang dagang yang terjadi antara Eropa, AS, dan Jepang.
Eropa Barat sudah membatasi impor keju dan kereta golf. Menyikapi kebijakan Eropa, AS bersiap-siap mengusahakan proteksi industri baja. Demikian juga Inggris yang sudah menyiapkan tuntutan proteksi industri sepatu, tekstil, dan tabung televisi (Kompas 28/11/1975).
Ketegangan perdagangan ini membuat cemas forum G-6. Alasannya, jika itu terjadi, akan ada tekanan dari negara lain untuk melakukan tindakan balasan.
Bahaya yang timbul adalah eskalasi balas-membalas berturut-turut dengan setiap kali mengambil bentuk pembatasan impor baru. Ini akan menimbulkan dampak hebat pada kegiatan usaha dan lapangan kerja di antara semua negara dagang di dunia.
Tidak jauh berbeda dengan 43 tahun lalu, forum G-20 tahun ini diwarnai isu serupa. Kondisi dunia saat ini dipengaruhi oleh persaingan dagang dua negara besar, Amerika Serikat dan China. Di sektor perdagangan, AS menerapkan tarif terhadap produk impor asal China demikian pula sebaliknya
AS memberlakukan tiga gelombang tarif pada sekitar 40 persen dari total barang-barang ekspor China ke AS yang nilainya 500 miliar dollar AS. China tidak tinggal diam dan menanggapinya dengan penerapan tarif 110 miliar dollar AS untuk barang-barang ekspor AS.
AS memicu perang dagang lewat kebijakan America First dan tarif sepihak. America First adalah jargon yang digaungkan oleh Donald Trump saat pemilihan Presiden AS 2016.
Paparan program “America First” menunjukkan butir misi yang dijalankan Trump. “Preserving our way of life, promoting our prosperity, maintaining peace through strength, and advancing American influence in the world.”
Kebijakan itu diwujudkan Trump lewat penerbitan dekrit penarikan diri AS dari sejumlah komitmen perdagangan multilateral dan ancaman pengenaan tarif dan sanksi bagi korporasi multinasional AS yang berproduksi di luar AS.
Salah satu persoalan besar bagi Trump adalah defisit belanja AS yang dinilai “menciderai” kedaulatan ekonomi AS. Defisit neraca ekspor-impor AS mencapai 732 miliar dollar AS pada tahun 2016.
China dipandang memiliki kontribusi terhadap defisit neraca AS. Pasalnya, nilai impor produk dari China menyumbang hampir 50 persen total defisit neraca AS. Impor terbesar AS tahun 2016 berasal dari China dengan nilai 436 miliar dollar AS.
Nilai ini tidak sebanding dengan ekspor AS ke China yang hanya 116 miliar dollar AS. Defisit yang disebabkan oleh impor dari China sebesar 347 miliar dollar AS, hampir setengah defisit yang dialami AS.
Di luar perang tarif dengan China, AS juga bergeming terhadap kebijakan tarif sepihak dengan negara-negara Uni Eropa (UE) serta negara anggota NAFTA, Kanada dan Meksiko.
Dampak perang dagang tidak bisa dianggap enteng. Forum tahunan IMF dan Bank Dunia Oktober 2018 lalu memperingatkan negara- negara dunia untuk tidak terlibat dalam perang dagang dan perang mata uang. Praktik tersebut dinilai bisa melukai pertumbuhan global dan membahayakan negara-negara yang tidak terlibat langsung di dalamnya.
IMF juga mendesak negara-negara untuk menurunkan konflik perdagangan dan memperbaiki aturan perdagangan global, bukan justru malah mengabaikannya. Senada dengan IMF dan Bank Dunia, para wakil G-20 juga melihat perang dagang kian mempersuram prospek perekonomian global jangka pendek dan menengah.
Perang dagang juga membuat kerapuhan sektor finansial meningkat serta tensi perdagangan dan geopolitik memanas, dan goyahnya pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara-negara maju.
Jika pada 1975, enam negara berhasil mencapai komitmen Rambouillet untuk menghindari perang dagang, tanda-tanda penyelesaian yang sama juga muncul di sela-sela KTT G-20.
Koran The Wall Street Journal mengabarkan berita baik penyelesaian kemelut perang dagang. Penanda pertama adalah keputusan Presiden AS, Donald Trump menyepakati perjanjian perdagangan baru dengan Mexico dan Kanada. Ketiga negara tersebut tergabung dalam kerja sama North America Free Trade Agreement (NAFTA).
Kesepakatan NAFTA dipandang sebagai modal baik menyelesaikan konflik dagang dengan China. “Trump Sets Sights on China After Signing Nafta Successor,” tulis The Wall Street Journal. Harian The Washington Post menyebutkan kemajuan komitmen tersebut dengan istilah “good signs” untuk melanjutkan perundingan dengan China.
Penanda kedua adalah kesepakatan Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping. Koran The New York Times edisi 2 Desember 2018 memberitakan keputusan Trump menunda kenaikan tarif yang dikenakan kepada China. “Trump to delay increase in tariffs and Xi says he will buy more”.
Trump menyatakan akan menunda penerapan pajak impor 25 persen terhadap komoditas dari China senilai 200 miliar dollar AS. Penundaan diberikan dalam waktu 90 hari terhitung dari 1 Januari 2019. Komoditas impor dari China senilai 50 miliar dollar AS tetap dikenai pajak masuk 25 persen dan tidak termasuk dalam kesepakatan.
Sinyal baik Trump disambut hangat Presiden Xi. China merespons dengan komitmen meningkatkan belanja China dari AS dari sektor industi, energi, dan produk agrikultur. Hal ini dilakukan China untuk mengimbangi neraca ekspor baja dan produk elektronik ke AS.
Walau belum sepenuhnya mengakhiri kemelut perang dagang, kesepakatan dua pemimpin dunia di sela-sela KTT G-20 di Buenos Aires, menjadi harapan masa depan pertumbuhan ekonomi global.
Sebelum kesepakatan, AS sudah berencana menaikkan tarif atas produk impor asal China senilai 200 miliar dollar AS dari 10 persen menjadi 25 persen mulai 1 Januari 2019. Namun, rencana itu ditangguhkan selama 3 bulan. Kedua negara selanjutnya akan menggelar negosiasi guna menyelesaikan sejumlah perbedaan di antara mereka.
Pesan dari kemajuan kesepakatan AS-China ini adalah penghormatan terhadap perjanjian dagang yang bersifat global. Semua negara diingatkan berdagang menurut aturan-aturan yang disetujui bersama dalam kelembagaan General Agreement on Tariff and Trade (GATT).
Ketentuan tersebut memiliki tujuan harmonisasi perdagangan global. Perdagangan dunia dilakukan lewat mekanisme ekonomi pasar, lewat persaingan yang fair, tanpa distorsi (monopoli, oligopoli, monopsoni, dan oligopsoni), tanpa proteksi, tanpa hambatan tarif dan nontarif. Kolaborasi global yang baik, menjadi kunci kemajuan perekonomian global dan kesejahteraan warga dunia. (LITBANG KOMPAS)