Lampu Kuning Pendidikan Vokasi
Angka putus sekolah pada sekolah menengah kejuruan menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain. Dalam tiga tahun terakhir, angka putus sekolah ini didominasi pelajar di tingkat akhir.
Hal ini menjadi lampu kuning di tengah gencarnya pengembangan program pendidikan vokasi di Indonesia. Sejak tahun ajaran 2014/2015 hingga 2017/2018, angka putus sekolah selalu didominasi pelajar pada jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK).
Pada tahun ajaran 2014/2015, misalnya, angka indikasi rasio putus sekolah pada jenjang SMK mencapai 2,05. Angka putus sekolah ini lebih tinggi dibandingkan dengan jenjang sekolah dasar (0,67), sekolah menengah pertama (0,87), dan sekolah menengah umum (1,59). Pola ini terus berlangsung hingga tahun ajaran 2017/2018.
Pada tahun ajaran 2017/2018, SMK menjadi satu-satunya jenjang pendidikan dengan angka putus sekolah di atas angka satu, yaitu 1,57. Sementara untuk jenjang pendidikan lainnya, angka putus sekolah sudah mulai mendekati titik nol.
Angka putus sekolah merupakan perbandingan antara jumlah pelajar putus sekolah dan jumlah pelajar pada tingkat yang sama tahun sebelumnya. Jika angka putus sekolah mendekati titik nol, maka semakin rendah tingkat putus sekolah pada jenjang pendidikan tersebut.
Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tingginya indeks putus sekolah pada jenjang SMK ini diiringi oleh kenaikan angka putus sekolah pada pelajar tingkat akhir. Angka putus sekolah pada pelajar SMK tingkat akhir tahun ajaran 2017/2018 mencapai 3,13 dengan 42.504 pelajar putus sekolah. Angka putus sekolah ini meningkat hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan tahun ajaran 2014/2015, yaitu 1,32 dengan 18.144 pelajar putus sekolah.
Kenaikan angka putus sekolah pada jenjang SMK lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan SMU. Pada tahun ajaran 2017/2018, angka putus sekolah pada pelajar SMU tingkat akhir mencapai 1,16. Rasio ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun ajaran 2014/2015 sebesar 0,91. Namun, kenaikannya lebih rendah daripada angka putus sekolah pada tingkat SMK.
Kenaikan tingkat (kelas) pada jenjang SMK juga turut menentukan tinggi rendahnya angka putus sekolah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula angka putus sekolah pada jenjang SMK. Pada tahun ajaran 2015/2016, misalnya, angka putus sekolah pada pelajar kelas XII mencapai 2,85. Angka putus sekolah ini lebih tinggi daripada kelas X dan XI, yaitu 0,81 dan 1,94. Pola ini bertahan selama tiga tahun berturut-turut hingga tahun ajaran 2017/2018.
Berdasarkan jenis kelamin, pelajar laki-laki pada jenjang SMK lebih rentan putus sekolah daripada pelajar perempuan. Hal ini terlihat dari angka putus sekolah selama empat tahun terakhir yang selalu didominasi laki-laki.
Pada tahun ajaran 2014/2015, angka putus sekolah untuk pelajar laki-laki mencapai 2,23, lebih tinggi dibandingkan dengan angka putus sekolah pada perempuan sebesar 1,78. Tingginya angka putus sekolah untuk pelajar laki-laki ini terus bertahan hingga tahun ajaran 2017/2018.
Banyaknya pelajar laki-laki yang putus sekolah terjadi pada semua tingkat. Tertinggi, putus sekolah terjadi pada pelajar laki-laki tingkat akhir tahun ajaran 2017/2018 dengan angka putus sekolah sebesar 3,51. Angka putus sekolah tahun tersebut merupakan yang tertinggi bagi pelajar laki-laki jika dibandingkan dengan semua tingkatan pada jenjang SMK dalam empat tahun terakhir.
Kondisi ini menjadi lampu kuning bagi pendidikan vokasional di Indonesia. Pasalnya, hingga Agustus 2018, angkatan kerja di Indonesia didominasi laki-laki, yaitu 80,3 juta jiwa. Jika angka putus sekolah pada pelajar laki-laki semakin tinggi, akan semakin tinggi pula potensi pengangguran bagi angkatan kerja laki-laki di Indonesia.
Sebaran wilayah
Menilik dari sebaran wilayah, angka putus sekolah tertinggi didominasi oleh wilayah bagian timur Indonesia. Pada tahun ajaran 2014/2015, Sulawesi Tenggara menjadi daerah dengan angka putus sekolah tertinggi, yaitu 4,99, untuk seluruh tingkat pada jenjang pendidikan SMK. Kondisi ini berlanjut pada tahun ajaran berikutnya.
Tingginya angka putus sekolah di daerah Sulawesi Tenggara salah satunya disebabkan adanya peningkatan jumlah pelajar tingkat akhir yang putus sekolah. Pada tahun ajaran 2015/2016, terdapat 513 pelajar yang mengalami putus sekolah. Jumlah ini meningkat dari jumlah pelajar putus sekolah tahun sebelumnya, sebesar 364 pelajar. Hal ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah pada pelajar tingkat akhir di Sulawesi Tenggara, yaitu 6,09.
Pada tahun ajaran 2016/2017, angka putus sekolah tertinggi beralih ke wilayah barat, yakni Kalimantan Barat, dengan angka 2,78. Sejak dua tahun ajaran sebelumnya, peringkat Kalimantan Barat pada angka putus sekolah memang menunjukkan kenaikan. Tahun ajaran 2014/2015, Kalimantan Barat menduduki peringkat ketujuh angka putus sekolah tertinggi jenjang pendidikan SMK di Indonesia. Setahun kemudian (2015/2016), Kalimantan Barat menempati peringkat keenam atau naik satu peringkat.
Tingginya angka putus sekolah di Kalimantan Barat ini sejalan dengan kenaikan angka putus sekolah pada pelajar kelas X. Pada tahun ajaran 2015/2016, angka putus sekolah pada pelajar kelas X hanya 0,88. Angka putus sekolah ini kemudian meningkat hingga dua kali lipat pada tahun ajaran berikutnya, menjadi 1,60. Kenaikan ini turut berdampak pada tingginya angka putus sekolah di Provinsi Kalimantan Barat.
Angka putus sekolah tertinggi kembali beralih ke daerah timur Indonesia pada tahun ajaran 2017/2018, yaitu Provinsi Maluku Utara. Dengan angka 3,47, Maluku Utara menjadi daerah dengan kenaikan peringkat putus sekolah yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan daerah lain.
Setahun sebelumnya (2016/2017), Maluku Utara hanya menduduki peringkat ke-27 angka putus sekolah di Indonesia dengan angka 1,19. Namun, angka ini meningkat signifikan pada tahun ajaran berikutnya, menjadi 3,47.
Tingginya angka putus sekolah di daerah Maluku Utara disebabkan meningkatnya jumlah pelajar tingkat akhir yang putus sekolah. Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah pelajar tingkat akhir yang putus sekolah mencapai 345 siswa atau naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 125 siswa. Hal ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah pada pelajar tingkat akhir tahun ajaran 2017/2018, yaitu 6,62.
Biaya pendidikan
Tingginya angka putus sekolah pada jenjang pendidikan kejuruan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya biaya pendidikan yang tinggi. Jika dibandingkan dengan biaya pendidikan lain pada jenjang pendidikan menengah, SMK membutuhkan biaya pendidikan yang lebih besar.
Pada tahun 2009, Kementerian Pendidikan Nasional pernah mengeluarkan standar biaya yang diperlukan untuk pendanaan kegiatan operasi nonpersonalia pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia.
Dalam beleid ini, standar biaya operasi untuk jenjang pendidikan kejuruan menjadi yang tertinggi. Sebagai perbandingan, biaya operasi nonpersonalia jenjang pendidikan kejuruan tertinggi adalah Rp 481.920 untuk program keahlian teknik las. Standar biaya ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya untuk SMA jurusan IPA sebesar Rp 193.920 per sekolah.
Biaya operasi nonpersonalia ini mencakup sejumlah kebutuhan, mulai dari alat tulis sekolah, bahan dan alat habis pakai, pemeliharaan, perbaikan ringan, hingga biaya daya dan jasa. Selain itu, terdapat juga biaya transportasi atau perjalanan dinas, konsumsi, asuransi, pembinaan siswa, uji kompetensi, praktik kerja industri, dan biaya pelaporan.
Bagi pelajar di sekolah swasta, tingginya biaya pendidikan ini tentunya dapat menjadi salah satu hambatan untuk melanjutkan pendidikan. Ketiadaan dana bisa saja menjadi batu sandungan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
Menilik berdasarkan status sekolah, SMK swasta mendominasi angka putus sekolah dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pada tahun ajaran 2017/2018, angka putus sekolah pelajar tingkat akhir pada SMK swasta mencapai 4,11. Angka putus sekolah ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar tingkat akhir di SMK negeri, yaitu 1,81.
Jika melihat berdasarkan kurikulum pendidikan, tingginya angka putus sekolah pada pelajar tingkat akhir di sekolah swasta tak terlepas dari besaran biaya yang dibutuhkan. Pasalnya, kompetensi keahlian mulai diajarkan secara masif melalui berbagai praktik pada tingkat II hingga tingkat akhir. Tambahan biaya tentunya dibutuhkan seiring dengan bertambahnya sejumlah kebutuhan untuk kegiatan praktik sesuai kompetensi keahlian.
Selain biaya pendidikan, peralihan pengelolaan SMK juga turut menghambat penurunan angka putus sekolah jenjang SMK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sejak tahun 2017 pengelolaan SMA dan SMK dialihkan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.
Peralihan ini menghambat pemberian bantuan dana pendidikan yang sebelumnya merupakan wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di Kota Surabaya, misalnya, biaya sekolah hingga jatah makan bagi pelajar SMK yang mengikuti praktikum tidak dapat diberikan lagi oleh pemerintah kota. Biaya sumbangan pembinaan pendidikan sebesar Rp 150.000-Rp 215.000 per bulan juga harus ditanggung orangtua siswa. Padahal, sebelumnya biaya ini ditanggung Pemerintah Kota Surabaya.
Terhambatnya bantuan dari pemerintah kota turut menjadi beban bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan. Sejak pengelolaan pendidikan menengah dialihkan, terdapat 90 siswa yang mengalami putus sekolah untuk tingkat SMA dan SMK di Surabaya (Kompas, 31 Mei 2017).
Lampu kuning
Tingginya angka putus sekolah pada pelajar SMK menjadi lampu kuning bagi pendidikan vokasi Indonesia. Pasalnya, pendidikan vokasi seperti SMK adalah tumpuan untuk melahirkan sumber daya manusia berkualitas yang siap kerja.
Program jangka panjang pun telah disiapkan pemerintah sebagai bagian dari revitalisasi SMK. Hal ini turut dirumuskan dalam peta jalan vokasi 2017-2025 yang fokus pada pengembangan pendidikan vokasi di sektor agribisnis, manufaktur, pariwisata, pelayanan kesehatan, e-commerce, dan ekspor tenaga kerja.
Hanya saja, sejumlah persoalan perlu diselesaikan agar pendidikan vokasi dapat menjadi jalan keluar bagi persoalan dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satu hal yang mendesak untuk diantisipasi adalah penurunan angka putus sekolah melalui program bantuan pendidikan.
Selain itu, perlu kesesuaian antara program keahlian dan potensi daerah atau sumber daya manusia yang dibutuhkan. Pasalnya, hingga kini SMK masih menjadi jenjang pendidikan yang menyumbangkan pengangguran tertinggi di Indonesia.
Hingga Agustus 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran lulusan SMK mencapai 11,24 persen. Angka pengangguran ini lebih tinggi daripada lulusan pendidikan lainnya, seperti jenjang SMA dan perguruan tinggi.
Namun, tingginya angka putus sekolah dan pengangguran lulusan SMK tidak lantas menghilangkan harapan pada pengembangan pendidikan vokasi. Hal itu karena sejumlah perbaikan kini telah mulai dilakukan untuk meningkatkan kualitas lulusan dari jenjang pendidikan vokasi.
Harapan tersebut muncul dari kecenderungan turunnya angka putus sekolah pada jenjang SMK. Meski masih menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain, selama empat tahun terakhir angka putus sekolah pada jenjang ini sebenarnya menurun. Pada tahun ajaran 2014/2015, angka putus sekolah jenjang SMK mencapai 2,05. Angka putus sekolah ini perlahan mulai turun setiap tahun hingga mencapai 1,57 pada tahun ajaran 2017/2018.
Selain itu, lulusan SMK mulai memiliki daya tawar yang cukup baik dalam dunia kerja. Meski masih tinggi, tingkat pengangguran terbuka dari jenjang SMK juga mulai menurun. Pada Agustus 2015, tingkat pengangguran terbuka pada jenjang SMK mencapai 12,65 persen. Angka pengangguran ini turun pada Agustus 2018 menjadi 11,24 persen. Penurunan angka pengangguran ini menandakan mulai terserapnya lulusan SMK di dunia kerja.
Perbaikan kualitas pelajar SMK ini juga diikuti penambahan jumlah sekolah. Pada tahun 2014, jumlah SMK mencapai 12.421 sekolah dan tumbuh 10,38 persen hingga tahun 2018 menjadi 13.710 sekolah. Peningkatan jumlah SMK tentunya diharapkan dapat berbanding lurus dengan kualitas tenaga terampil yang dihasilkan.
Hingga saat ini, terdapat beberapa karya membanggakan dari pelajar SMK. Salah satunya adalah film animasi tiga dimensi berjudul Petualangan Si Adi (2013). Selain itu, beberapa SMK di Indonesia juga berhasil menjuarai perlombaan skala internasional dalam berbagai bidang. Karya ini membuktikan bahwa pelajar SMK dapat menjadi tumpuan bagi narasi masa depan Indonesia. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)