Misi Menyelamatkan Bumi
”If we don’t take action, the collapse of civilization and the extinction of much of the natural world is on the horizon.”
(David Attenborough, 3 Desember 2018)
Tidak mudah mengumpulkan komitmen negara-negara di dunia untuk menjaga kelestarian bumi. Upaya melestarikan bumi sudah lama digagas sejumlah pihak. Untuk mengurangi efek perusakan lapisan ozon, pada 1987 telah disepakati Protokol Montreal, yang ditandatangani oleh 57 negara. Isinya ialah pengurangan bertahap penggunaan CFC (chlorofluorocarbon) sampai 2000.
Protokol yang disponsori Progam Lingkungan PBB (UNEP) ini meminta pengurangan produksi CFC 20 persen pada 1993, 50 persen pada 1995, dan 85 persen pada 1997 sehingga pada 2000 dunia sudah tidak lagi memproduksi CFC.
Setahun kemudian digelar Konferensi Toronto yang membahas tentang perubahan atmosfer. Salah satu keputusannya adalah komitmen pengurangan hingga 20 persen emisi gas rumah kaca pada 2005.
Pada tahun yang sama dengan konferensi tersebut, PBB membentuk Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Panel IPCC merupakan Badan PBB mengenai ilmu perubahan iklim yang menelurkan laporan kajian perubahan iklim secara periodik.
Tonggak bersejarah mengupayakan kelangsungan kehidupan adalah pelaksanaan KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, pada 1992. Hasilnya, negara-negara industri maju sepakat mengurangi emisi C02 dengan mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Sejak pembentukan UNFCCC, pihak-pihak yang terlibat melakukan pertemuan setidaknya setahun sekali untuk memajukan pelaksanaan konvensi. Pertemuan antarpihak (Conference of the Parties/COP) pertama diselenggarakan di Berlin pada 1995. Konferensi tersebut membuat negosiasi yang memasukkan target pembatasan emisi gas rumah kaca.
Tahun berikutnya digelar COP kedua di Geneva yang mengkaji proyeksi perubahan iklim dan dampaknya terhadap sistem ekologi. Dalam perkembangannya, Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim secara nyata dijabarkan dalam forum COP-3 di Kyoto, Jepang, pada 1997.
Pertemuan tersebut menghasilkan Protokol Kyoto yang memuat komitmen negara-negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga rata-rata 5,2 persen dari level emisi pada 1990. Masa berlaku Protokol Kyoto habis pada 2012 dan dilanjutkan dengan Kesepakatan Paris pada 2015.
Setidaknya ada lima poin utama Kesepakatan Paris. Pertama, mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mengendalikan kenaikan suhu bumi agar maksimal bertambah 1,5 derajat celsius pada 2100.
Kedua, transparansi sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi. Ketiga, adaptasi dengan memperkuat kemampuan negara-negara mengatasi dampak perubahan iklim. Keempat, memperkuat upaya pemulihan akibat kerusakan yang dipicu perubahan iklim. Kelima, bantuan, termasuk pendanaan, bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan (Kompas, 14/10/2016).
Upaya menjaga kelestarian bumi berlanjut tahun ini melalui Konferensi antarpihak ke-24 atau COP 24. Pertemuan yang dihadiri 200 negara ini berlangsung di Katowice, Polandia. Sejumlah pesan mengendalikan perubahan iklim kembali diingatkan dari forum ini.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan para pemimpin dunia bahwa perubahan iklim berjalan dengan cepat dan dunia harus bergegas untuk mengejarnya sebelum terlambat. Ia juga menekankan bahwa KTT yang berlangsung selama dua minggu ini harus bisa menghasilkan komitmen untuk mendanai upaya pencegahan perubahan iklim.
Sebagai tuan rumah, Polandia menunjukkan capaian menekan emisi karbon. Presiden Andrzej Duda dalam pidato pembukaan menyampaikan keberhasilan Polandia memangkas emisi karbon sebesar 30 persen sejak 1988. Keberhasilan ini dicapai melalui skema efisiensi energi walau 80 persen listriknya diperoleh dari energi fosil (batubara).
Hal lain yang menarik, forum dunia tersebut juga dimanfaatkan Sir David Attenborough, seorang naturalis dan mantan jurnalis BBC, untuk mempromosikan fitur chatting http://actnow.bot
Fitur interaktif dan responsif yang digagas oleh PBB tersebut dapat menjawab pertanyaan masyarakat tentang cara melawan perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari melalui platform Facebook Messenger.
Selain itu, fitur ini juga dapat menjadi pilihan untuk berpartisipasi melestarikan lingkungan dan dapat dibagikan dengan pengikut media sosial lain. Attenborough berharap, dengan kemudahan akses informasi, semakin banyak orang mendapat pengetahuan dan keberanian untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim.
http://www.un.org/en/climatechange/take-action.shtml
Bagi Attenborough, kelestarian bumi harus dijaga untuk menjaga peradaban dunia. Bahaya perubahan iklim digambarkannya sebagai ”collapse of civilisation is on the horizon”. Laki-laki yang lahir di London pada 1926 ini memang dikenal memiliki ketertarikan pada kelestarian alam.
Setelah memperoleh gelar Ilmu Pengetahuan Alam dari Cambridge, ia bergabung ke kanal TV BBC dan terlibat dalam penggarapan Zoo Quest, serial televisi yang mengangkat kehidupan hewan liar di dunia.
Attenborough kemudian beralih menjadi penulis skrip dan produser film. Ia membuat film-film dokumenter dengan tema kehidupan alam dan antropologi. Beberapa karyanya yang mendapat penghargaan kelas dunia, seperti Life on Earth (1979), The Living Planet (1984), The Blue Planet (2001), dan yang terakhir Blue Planet II (2017). Atas dedikasinya, Attenborough mendapat gelar kehormatan Sir dari Ratu Inggris pada 1985.
Selain mempromosikan fitur Act Now, forum pertemuan dunia tersebut juga digunakan Attenborough untuk menagih komitmen melaksanakan Kesepakatan Paris 2015. Kesepakatan tersebut menetapkan rencana aksi global untuk mencegah perubahan iklim dengan membatasi pemanasan global hingga di angka 1,5 derajat celsius per tahun.
Kesepakatan yang mulai berlaku pada 4 November 2016 ini mengajak negara yang meratifikasi harus bersedia untuk mengontrol emisi gas rumah kaca hingga 2030.
Selain itu, negara-negara tersebut juga diwajibkan untuk memonitor, memverifikasi, dan melaporkan emisi gas rumah kaca mereka setiap tahun. KTT COP 24 dianggap menjadi momen penting karena menjadi ajang bagi negara peserta untuk merumuskan serangkaian aturan detail dan pedoman rinci dari pelaksanaan Kesepakatan Paris.
Ini harus menjadi prioritas mengingat dampak perubahan iklim yang semakin buruk. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) mencatat, kenaikan suhu bumi rata-rata global pada Maret 2016 mencapai titik tertinggi, yaitu 1,2 derajat celsius.
Fenomena yang sama juga diingatkan koran The Guardian. ”The past four years have been the hottest on record and global emissions were rising again, when they need to fall by half by 2030. Climate action must be increased fivefold to limit warming to the 1,5C”.
Kenaikan suhu bumi memunculkan kemungkinan yang mencemaskan, mulai dari bencana yang disebabkan kota-kota pantai kebanjiran atau karena cuaca berubah drastis, pertanian yang kacau balau, serta penyakit tropis yang meruyak ke kawasan-kawasan baru. Jika hal tersebut dibiarkan, peradaban dunia akan punah. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)