Salah Kaprah TOD
- ”Ingin punya rumah dekat dengan stasiun. Begini caranya.... Prasada Mahata Rawa Buntu, hunian menempel di Stasiun Commuterline”.
- ”Apartemen Tanjung Barat, hunian menempel di Stasiun Commuter Line. Connectivity All Around. First Transit Oriented Development. Keunggulan: integrated , accesbility, prime location, avaibility of facility, social community concept”.
- ”Serpong Garden Apartemen hunian berkonsep transit. Akses langsung menuju Stasiun Cisauk. One step million access”.
Iklan properti berkonsep kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) mulai marak dua tahun terakhir ini di Jabodetabek. Adanya iklan tersebut hadir seiring dengan mulai diperkenalkannya konsep TOD yang lekat dengan kehadiran proyek infrastruktur baru moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT).
Konsep pengembangan kota baru tersebut memberi manfaat positif bagi perkembangan wilayah Jabodetabek. Namun, jika konsep baru tersebut tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan masalah baru bagi kota, seperti over supply properti dan menurunnya daya dukung lingkungan di sekitar kawasan TOD. Bahkan menimbulkan kemacetan jika masyarakat belum beralih menggunakan angkutan umum karena kawasan TOD berperan menjadi magnet tarikan transportasi.
Apa sebenarnya kawasan TOD? Sekilas, jika melihat iklan-iklan properti, TOD merupakan hunian vertikal yang dekat dengan stasiun kereta, bahkan beberapa di antaranya berlokasi persis ”mengangkangi” di atas stasiun kereta.
Kawasan TOD, menurut Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017, merupakan kawasan campuran permukiman dan komersial dengan aksesibilitas tinggi terhadap angkutan umum massal rel dan jalan. Stasiun dan terminal angkutan massal menjadi pusat kawasan dengan bangunan kepadatan tinggi.
Konsep pembangunan TOD mengintegrasikan sistem transit transportasi dan tata guna lahan untuk mengurangi mobilitas penduduk dan penggunaan kendaraan pribadi. TOD diharapkan juga mendorong orang untuk berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum.
Berbagai fungsi lahan campuran (hunian, pusat perkantoran dan bisnis, tempat hiburan dan belanja, ruang terbuka publik) dengan intensitas tinggi didesain berdekatan dengan simpul transit transportasi, seperti stasiun, terminal, dan halte. Radius pengembangan kawasan di sekitar simpul transit berkisar 400-800 meter. Hal tersebut merupakan jarak yang memungkinkan orang untuk berjalan kaki dengan nyaman menuju pusat-pusat kegiatan di kawasan tersebut.
Kawasan berorientasi transit mulai diperkenalkan di Jakarta melalui produk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) DKI Jakarta 2030 yang diterbitkan tahun 2012. Dalam RTRW 2030 disebutkan, TOD merupakan salah satu strategi penataan ruang dengan mengembangkan pusat kegiatan pada simpul angkutan umum massal. Istilah TOD mulai dimunculkan dalam Perda DKI Tahun 2012 saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai merencanakan pembangunan angkutan massal MRT dan LRT.
Indonesia termasuk lambat untuk mengembangkan konsep TOD dibandingkan negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan. Negara-negara Asia tersebut telah lebih dulu mengembangkan konsep TOD tahun 1990-an.
Namun, sebenarnya, konsep TOD muncul pertama di Amerika. Konsep TOD berkembang setelah pembangunan perkotaan cenderung menyebar secara acak (urban sprawl) di pinggiran kota besar (hinterland area). Penduduk cenderung bermukim di kawasan pinggiran karena harga lahan di tengah kota semakin mahal. Di sisi lain, lokasi pekerjaan masih di pusat kota. Akibatnya tercipta kemacetan, waktu perjalanan panjang, biaya transportasi tinggi, hingga polusi.
Hal tersebut membuat para perencana kota untuk membuat konsep kawasan transit untuk memusatkan pembangunan ruang komersial, permukiman, perkantoran, dan fasilitas pendukung yang lain yang dibangun berdekatan dengan sistem transportasi massal.
Aturan TOD
Selain tercantum di RTRW Jakarta 2030, kawasan berorientasi transit sudah diatur dalam beberapa peraturan pemerintah, di antaranya tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017 mengenai Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development.
Aturan tersebut mengklasifikasikan pengembangan kawasan TOD menjadi tiga jenis. Pertama, TOD kota dengan peruntukan perkantoran dan perdagangan yang dilalui angkutan massal berskala regional antardaerah. Selanjutnya, TOD pusat kota dengan angkutan massal skala pelayanan kota, serta TOD lingkungan dengan peruntukan hunian di sekitar kawasan stasiun atau terminal.
Tidak sembarang kawasan dapat dijadikan kawasan TOD. Kriteria yang ditetapkan yakni merupakan perpotongan koridor angkutan massal (dua atau lebih) dengan salah satunya berbasis rel serta merupakan kawasan dengan nilai ekonomi tinggi, serta kawasan yang direncanakan sebagai pusat kegiatan. Luas kawasan beradius 350 meter yang merupakan zona perkantoran, perdagangan dan jasa; campuran; perumahan; pemerintahan; serta pelayanan umum dan sosial.
Namun, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mempunyai versi yang berbeda mengenai radius luas kawasan, yakni 500 meter. BPTJ juga mengatur mengenai perizinan proyek TOD. Sebelum proyek TOD diajukan ke pemerintah daerah untuk memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB), BPTJ akan mengkajinya terlebih dulu dan mengeluarkan rekomendasi.
Aturan BPTJ mengenai kawasan TOD tersebut tertuang dalam Peraturan Kepala BPTJ Nomor 377 Tahun 2017 mengenai Pedoman Teknis Aspek Transportasi dalam Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Berorientasi Angkutan Massal di Jabodetabek.
Selanjutnya pada tahun 2018, pemerintah telah menetapkan 54 kawasan TOD di Jabodetabek melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 mengenai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018-2029. Sebanyak 24 merupakan TOD skala kota dan sisanya skala subkota dan lingkungan yang skala layanannya lebih kecil. Menurut pemberitaan, dari 54 kawasan TOD tersebut, yang telah menerima IMB baru di Stasiun Rawa Buntu dan Pondok Cina (Kompas.id, 21/9/2018) .
Tantangan
Di atas kertas, kawasan TOD bisa menjawab beberapa masalah kota, seperti kemacetan, polusi udara, dan urban sprawl. Bahkan, kawasan TOD bisa meningkatkan kualitas hidup warga Ibu Kota serta mengubah gaya hidup masyarakat dari menggunakan kendaraan pribadi beralih pada angkutan umum. Kebiasaan berjalan kaki pun mulai terbentuk dengan fasilitas pejalan kaki yang nyaman.
Namun, apakah harapan di atas kertas tersebut terwujud? Sekali lagi tidak mudah mewujudkan kawasan TOD pada kawasan yang telah berkembang seperti di Jakarta. TOD Dukuh Atas, misalnya, yang menghubungkan Stasiun KRL Sudirman, Stasiun BNI 46 (kereta bandara), Halte Transjakarta Dukuh Atas, serta Stasiun MRT Dukuh Atas yang ada di bawah tanah dan LRT yang berada di seberang stasiun MRT.
Diperlukan konsep TOD dengan desain sesuai delapan prinsip TOD supaya empat fasilitas transit transportasi tersebut bisa terhubung dengan baik, nyaman bagi pejalan kaki, dan menarik orang untuk menggunakan angkutan umum.
Institut untuk Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (Institute for Transportation and Development Polcy/ITDP) membuat TOD standar sebagai pedoman formulasi pola pembangunan yang memaksimalkan manfaat dari sistem angkutan umum, di antaranya berjalan kaki, bersepeda, menghubungkan (connect), angkutan umum (transit), pembauran (mix), memadatkan (densify), merapatkan (compact), dan beralih (shift). (BERSAMBUNG) (LITBANG KOMPAS)