Qatar Angkat Kaki dari OPEC
Qatar negeri kecil sarat sumber energi. Dengan total luas wilayah sekitar 12.000 kilometer persegi, Qatar memiliki kekayaan minyak bumi dan gas alam. Produksi minyak Qatar mencapai 600.000 barel per hari.
Eksplorasi minyak dimulai tahun 1935 di wilayah Dukhan. Perdagangan hasil minyak bumi dimulai pada 1939. Kekayaan sumber daya alam merupakan sektor strategis perekonomian Qatar. Hasil bumi tersebut menjadikan Qatar sebagai salah satu negara terkaya dengan pendapatan per kapita sebesar 62.196 dollar AS.
Sebagai penghasil minyak, negeri yang bependuduk 2,7 juta jiwa ini bergabung dengan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dunia (OPEC) yang didirikan pada 1960 di Baghdad, Irak. OPEC resmi berdiri atas prakarsa lima negara, yaitu Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Venezuela.
Kemudian lima negara ini berhasil menggaet anggota-anggota baru, yakni Qatar (1961), Indonesia (1962), Libya (1962), Uni Emirat Arab (1967), Aljazair (1969), dan Nigeria (1971). Saat ini 15 negara bergabung dalam organisasi OPEC.
OPEC memiliki empat tujuan organisasi, yaitu mengoordinasi dan menyatukan kebijakan perminyakan di antara negara-negara anggota, menjamin harga yang adil dan stabil bagi para produsen minyak, serta memastikan pasokan minyak bumi yang efisien, ekonomis, dan teratur ke negara-negara konsumen. Selain itu, menjamin pengembalian modal yang adil bagi negara yang berinvestasi di industri.
Namun, di balik tujuan mulia OPEC, dinamika organisasi yang terjadi diwarnai pasang surut. Laman Opec.org mencatat beberapa negara menyatakan keluar dari organisasi ini. Contohnya Gabon, Indonesia, dan Ekuador.
Gabon bergabung ke OPEC pada 1975, kemudian menarik diri pada 1995. Namun, pada 2016, Gabon kembali bergabung menjadi anggota OPEC. Sementara Indonesia bergabung tahun 1962, kemudian keluar resmi November 2016 setelah menangguhkan posisinya tahun 2009.
Kasus lain adalah Ekuador yang bergabung pada 1973, tetapi keluar pada 1992. Sebagaimana Gabon, Ekuador kemudian masuk kembali menjadi anggota OPEC pada 2007.
Bermacam alasan fenomena tersebut terjadi. Saat keluar dari OPEC pada 1 Januari 2009, Indonesia sudah berposisi sebagai pengimpor minyak (net oil importer) sejak tahun 2004. Penurunan produksi minyak Indonesia yang terjadi sejak pertengahan dekade 1990-an semakin sulit mengimbangi kenaikan konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri.
Sementara alasan keluar Ekuador adalah karena kuota OPEC sangat membatasi kemampuannya menghimpun devisa dari minyak untuk pembangunan dan membayar utang. Selain itu, juga iuran keanggotaan yang dinilai terlalu mahal dan tak membedakan antara negara produsen besar dan kecil, yakni sekitar 2 juta dollar AS per tahun (Kompas 5/1/1993).
Berkurangnya anggota OPEC kembali terjadi tahun ini setelah Qatar menyatakan meninggalkan forum negara pengekspor minyak pada Januari 2019. Qatar bergabung dengan OPEC tahun 1961. Setelah 57 tahun bergabung dengan OPEC, negara itu memutuskan keluar dari organisasi minyak tersebut.
”Minister of State for Energy Affair H E Saad bin Sherida Al Kaabi announced Qatar’s decision to withdraw from Organization of Petroleum Exporting Countries membership effective from January 1, 2019,” tulis koran Qatar, The Peninsula.
Berbeda dengan Indonesia dan Ekuador, alasan Qatar keluar dari OPEC adalah karena akan mengembangkan gas alam cair. Selain minyak bumi, Qatar juga memiliki potensi gas alam. ”Qatar to quit OPEC to focus on gas; says decision not political,” tulis harian Kuwait Times.
Selama ini Qatar dikenal merupakan salah satu negara pengekspor gas alam cair terbesar di dunia. Doha ingin meningkatkan produksi gas alam cair dari 77 juta ton per tahun menjadi 110 juta ton per tahun.
Hingga tahun 2017, produksi gas alam cair mencapai 2 triliun meter kubik atau sekitar 10 persen dari total gas alam di seluruh dunia. Sementara produksi minyak mentahnya hingga tahun 2017 sebesar 10,47 miliar barel atau tak sampai 1 persen dari total minyak di dunia.
Target pengembangan industri gas alam Qatar akan diarahkan pada produksi pemecahan gas etana terbesar di Timur Tengah. Pemecah etana akan mengubah gas menjadi senyawa ethylene yang merupakan bahan utama pembuatan plastik, resin, perekat, dan produk sintetis.
Namun, walau Qatar sudah memberikan alasan, isu keluarnya Qatar dari OPEC juga tidak luput dari isu politik. Keputusan Qatar menarik diri dari OPEC diduga juga berkaitan dengan boikot politik dan ekonomi negara-negara tetangga yang diberlakukan pada Juni 2017. Setidaknya ada empat negara yang memboikot Qatar, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir.
Mereka meminta diplomat Qatar di negara-negara itu segera pergi dari negara-negara tersebut. Bahkan, Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir menyatakan memutus atau menutup semua wilayah udara, darat, dan laut bagi semua jenis transportasi milik Qatar.
Keputusan itu diambil karena Qatar dituduh menyembunyikan kelompok teroris dan sektarian, seperti Ikhwanul Muslimin, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dan Al Qaeda yang hendak mengganggu wilayah Teluk.
Riyadh juga menuding Doha mendukung teroris yang didukung Iran di Qatif, wilayah mayoritas Syiah di Arab Saudi. Atas segala tuduhan, Doha menyangkal hal tersebut.
Di luar isu politik, terpuruknya harga minyak dunia juga menjadi tantangan yang dihadapi anggota-anggota OPEC saat ini, termasuk Qatar. Fluktuasi harga minyak mentah memang tak bisa dihindari.
Harga minyak mentah pernah menyentuh 115 dollar AS per barel pada 2014. Tahun berikutnya kemudian terjun hingga ke 50 dollar AS per barel. Pada Januari 2016, harganya terjun lagi hingga ke 28 dollar AS per barel.
Qatar termasuk pihak yang berjuang mengatasi merosotnya harga minyak dunia. Efek merosotnya harga minyak dunia turut memengaruhi defisit anggaran belanja Qatar. Pada 2016, defisit anggaran diprediksi mencapai lebih dari 12 miliar dollar AS, untuk pertama kalinya dalam 15 tahun.
Menyikapi hal ini, tahun lalu OPEC sepakat mengurangi produksi sebanyak 1,8 juta barel per hari agar harga kembali meningkat. Strategi ini cukup berhasil, harga minyak mentah yang pada 2016 merosot hingga seharga 27 dollar AS per barel dalam 18 bulan, belakangan terdongkrak menjadi 70-75 dollar per barel.
Setelah keluar dari OPEC, Doha juga berkomitmen untuk mengikuti regulasi yang disepakati secara internasional oleh negara-negara produsen minyak di luar forum OPEC. Kondisi ini sedikit banyak membawa dampak pada pasar minyak dan ketegangan hubungan diplomatik antara Qatar dan Arab Saudi sebagai penghasil minyak terbesar di OPEC.
Qatar akan mampu mengontrol hasil buminya dengan leluasa. Kondisi ini dinilai membawa psychological impact dan berpotensi memengaruhi anggota OPEC lainnya untuk mengikuti langkah Qatar. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)