Cegah Korupsi Jadi Budaya
“Jangan biarkan korupsi menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia”
(Bung Hatta, 1961)
Kalimat Wakil Presiden Mohammad Hatta di atas masih terngiang dan relevan hingga kini. Masih ingat bagaimana sang proklamator di tahun 1972, setelah tak lagi menjabat wakil presiden, harus berobat ke Belanda? Saat itu meski seluruh biaya pengobatan ditanggung negara (karena mantan wakil presiden), tidak berarti Hatta sekehendak hatinya memanfaatkan fasilitas negara itu.
Bung Hatta menggunakan uang negara sebaik-baiknya dan secukupnya. Setelah dia selesai berobat di luar negeri dan ada selisih uang sisa pembayaran pengobatan, Hatta memaksa ajudannya untuk mengembalikannya ke negara. Meskipun jumlahnya tak seberapa, namun Hatta sangat hati-hati menggunakan uang negara. Dia memang dikenal sebagai orang yang sangat disiplin, hemat, dan hati-hati dengan uang apalagi milik Negara.
Disertai surat ucapan terima kasih kepada Presiden Soeharto kala itu, Hatta menjadi paradoks di tengah para pejabat publik era Orde Baru yang “berlomba” memanfaatkan sebesar-besarnya fasilitas negara. Tak pelak, Bung Hatta adalah legenda dari perlawanan terhadap budaya korupsi.
Kini, kisah Hatta yang sangat hati-hati memperlakukan uang negara rasanya bak dongeng yang susah ditemukan. Banyak pejabat publik seakan berlomba-lomba memanfaatkan fasilitas negara, menyalahgunakan wewenang mencari keuntungan, hingga mencuri uang negara.
Hal itu terindikasi dari banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan sifatnya masif. Sepanjang tahun 2018 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menangkap puluhan kepala daerah meliputi 2 gubernur dan puluhan bupati/walikota dan sebagian besar terjerat operasi tangkap tangan (OTT). Umumnya, mereka terlibat kasus suap dan gratifikasi proyek kegiatan pemerintah daerah. Jika dijumlah sejak 14 tahun terakhir (sejak KPK dibentuk Tahun 2004), sudah hampir seratus kepala daerah dijerat KPK. Itu belum terhitung jumlah pejabat eselon pusat dan daerah, seperti kepala dinas atau di bawahnya yang biasanya menjadi kaki tangan sang kepala daerah.
Tengok pula kisah korupsi di level publik sendiri, ada kecenderungan permisif terhadap praktik korupsi ini. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan karakter masyarakat yang terindikasi dari Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia menunjukkan hanya sedikit mengalami penurunan. Di Tahun 2018 ini, angka indeks perilaku anti korupsi berada di skor 3,66, menurun sedikit (makin permisif) dibandingkan kondisi 2017 yang mencapai 3,71.
Secara umum angka IPAK ini menunjukkan rentang 0 s/d 5. Semakin mengarah ke angka 5 memiliki arti semakin anti terhadap korupsi. Sebaliknya, jika semakin mendekati angka 0 bermakna semakin permisif terhadap korupsi.
Dari angka di atas jelas ada kecenderungan peningkatan sikap permisif dalam masyarakat kita terhadap praktek korupsi. Selain dilihat dari angka IPAK tahun 2018, potret masih permisifnya mayarakat juga terlihat dari perbedaan penilaian antara persepsi terhadap korupsi dan pengalaman ketika menghadapi kasus korupsi.
Di tingkat persepsi, angka indeksnya lebih tinggi dibandingkan angka indeks dalam dimensi pengalaman. Hal ini memperkuat sinyalemen selama ini bahwa korupsi menjadi sesuatu yang dibenci dan dihindari secara normatif, namun terkadang dalam prakteknya juga susah dihindari dan membuat kita “terpaksa” menerima sebagai sesuatu yang biasa terjadi.
IPAK sendiri disusun berdasarkan dua dimensi yakni persepsi dan pengalaman. Pada 2017, baik indeks persepsi maupun indeks pengalaman meningkat. IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi (3,86) dibanding masyarakat perdesaan (3,53). Semakin tinggi pendidikan, semakin anti korupsi: IPAK penduduk berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,58; SLTA sebesar 3,99; dan di atas SLTA sebesar 4,09. Hal ini menguatkan asumsi pentingnya pendidikan antikorupsi untuk meningkatkan kembali indeks perilaku anti korupsi.
Dengan semakin permisifnya masyarakat terhadap praktik korupsi, apakah upaya pemberantasan korupsi menjadi sesuatu yang utopis? Tentu saja tidak. Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap kasus-kasus korupsi pejabat publik, sedikit banyak menjadi lampu hijau bagi publik, masih ada kekuatan kelembagaan yang bisa diandalkan melawan tindak pidana ini.
Boleh jadi, sikap permisif publik, seperti yang terbaca dari indeks yang dikeluarkan BPS di atas, tidak lepas juga dengan sikap bosan dan jenuh atas pemberitaan media massa mengenai korupsi ini. Apalagi jika kemudian publik terus disuguhi terungkapnya kasus-kasus korupsi yang menyeret pejabat publik. Tak cukup kepala daerah, bahkan Ketua DPR, Wakil ketua DPR, dan menteri kabinet juga kena tangkap KPK. Ada bahaya makin biasa publik melihat pejabat korupsi, makin bebal pula alias jadi tak peduli lagi.
Berita Korupsi
Dari sisi pemberitaan media sepanjang periode 2015 - Oktober 2018, harian Kompas sudah merilis 12.150 pemberitaan terkait korupsi. Pemberitaan terbanyak (4.063 berita) muncul sepanjang Tahun 2015. Saat itu ada pembahasan mengenai kasus KPK yang sempat bersitegang dengan Polri. Ada jilid dua kasus cicak versus buaya yang dianalogikan sebagai KPK melawan Kepolisian RI.
Pada kasus ini, reaksi juga turut datang dari masyarakat yang kemudian kiranya terpecah menjadi dua, para simpatisan KPK dan simpatisan Polri. Apalagi, imbas dari peristiwa ini adalah dilema pengajuan Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo.
Dari tahun 2015 ke tahun 2017 terjadi penurunan pemberitaan korupsi sebesar 17,29 persen. Jika pada 2015 disebutkan terdapat 4.063 pemberitaan, pada 2017 angkanya tercatat 2.865 pemberitaan korupsi. Namun, hasil penurunan ini tidak bisa dijadikan indikator bahwa tindakan koruptif di lembaga pemerintahan khususnya, juga menurun.
Tidak Terkait
Berdasarkan laporan Anti-Corruption Clearing House, pada 2017 total tindak pidana korupsi mencapai 514 tindakan. Angka ini hampir dua kali lipat dibandingkan total tindakan pada 2015. Justru lonjakan jumlah terjadi secara drastis dari 2015 ke 2016, yakni dari 38 tindakan ke 81 tindakan.
Fakta ini memperkuat asumsi bahwa jumlah pemberitaan memang tidak berkaitan secara langsung dengan maraknya tindakan korupsi beserta penanganannya. Faktanya, pemberitaan korupsi juga meliputi aspek-aspek lainnya selain kabar koruptor yang sedang ditangkap. Salah satu contohnya adalah gerakan antikorupsi dari masyarakat ataupun opini publik dalam menanggapi fenomena penyakit akut bangsa ini.
Namun, semua orang mahfum korupsi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Proses pemakluman yang salah ini bisa tumbuh menjadi kesadaran kolektif yang menyimpang jika tidak ada upaya menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Sikap perlawanan terhadap korupsi harus setia dipegang agar tetap menjadi modal sosial meneruskan gagasan dan cita-cita Bung Hatta: mencegah korupsi menjadi budaya. (YOHAN WAHYU DAN YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS)