Paradoks Penanganan Korupsi
Meski Indeks Persepsi Korupsi Indonesia terus membaik selama lima tahun terakhir, tahun 2017 Indonesia peringkat ke-96 dari 180 negara, hal itu belum bisa disebut prestasi. Jumlah pengungkapan kasus korupsi terus meningkat, namun, modus dan jenis pelaku kian beragam. Kerugian negara pun tidak bisa ditutupi dari uang pengganti yang diputuskan pengadilan.
Perang terhadap korupsi telah dimulai sejak 1999 dengan terbitnya instrumen hukum pemberantasan korupsi. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai stimulus bagi lembaga pemberantasan korupsi lain untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Namun, korupsi nampaknya telah menjadi penyakit yang begitu sulit disembuhkan di negara ini. Selama satu dekade terakhir, tidak ada satu tahun pun yang luput dari pengungkapan kasus korupsi. Sejak 2004 hingga 2017, sudah terdapat 971 kasus korupsi yang diselidiki KPK dengan 499 kasus yang telah masuk tahap eksekusi.
Jumlah kasus yang ditangani cenderung meningkat setiap tahun, kecuali pada periode 2009 dan 2010. Angka ini belum termasuk kasus korupsi yang diusut kepolisian dan kejaksaan. Kewenangan KPK memang menyangkut korupsi yang menimbulkan kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.
Kondisi ini menunjukkan masih banyak upaya yang harus dilakukan jika ingin negeri ini bebas dari korupsi. Upaya itu mulai dari membenahi perangkat regulasi, integritas aparat, ongkos politik, hingga pendidikan anti korupsi.
Modus dan Latar Belakang Pelaku
Pelaku korupsi berasal dari banyak kalangan. Berdasarkan laporan tahunan KPK diketahui bahwa pihak swasta adalah pelaku korupsi terbanyak. Meski demikian, upaya pencegahan dan penindakan masih difokuskan pada sektor publik. Dengan angka yang tidak terpaut jauh, pejabat eselon I, II, dan III adalah pelaku terbanyak kedua dalam kasus korupsi selama 13 tahun terakhir ini.
Ironisnya, terdapat aparat penegak hukum yang juga menjadi koruptor, seperti hakim, jaksa, dan polisi. Bahkan, di antaranya adalah hakim pengadilan tipikor. Hal ini mengoyak kepercayaan publik terhadap penanganan korupsi. Bagaimana mungkin seorang koruptor bisa obyektif mengadili koruptor. Integritas yang rendah dan pengawasan yang lemah adalah faktor yang membuat dunia peradilan kita tidak kunjung membaik.
Selain itu, kelompok pelaku yang semakin bertambah setiap tahun adalah kepala daerah, terutama bupati atau walikota beserta wakilnya. Sejak 2004 hingga September 2018, sudah terdapat 91 bupati/walikota dan wakilnya yang terjerat kasus korupsi.
Merebaknya korupsi di kalangan birokrat daerah ini bisa dikaitkan dengan tingginya biaya politik saat pilkada yang mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Bisa juga karena besarnya kewenangan yang dimiliki sejak otonomi daerah berlaku sehingga berpotensi disalahgunakan. Salah satu contohnya adalah korupsi dana kapitasi BPJS oleh Bupati Jombang, Nyono Suharli, yang sebagian digunakan untuk membiayai kampanye. (Kompas, 5/2/2018)
Beragam modus juga digunakan untuk melakukan korupsi, mulai dari pengadaan barang atau jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, dan penyalahgunaan anggaran. Modus yang baru muncul tahun 2012 terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan merintangi proses KPK. Selebihnya adalah modus-modus lama yang hampir selalu muncul.
Modus terbanyak yang ditemukan di tipikor selama periode 2004 hingga 2017 adalah penyuapan, yakni sebanyak 396 perkara. Pada tahun 2014, perkara penyuapan sempat menurun dari 50 perkara menjadi 20 perkara. Akan tetapi, tahun berikutnya kembali meningkat hingga di tahun 2017 menjadi 93 perkara.
Ke depannya, jenis pelaku dan modus korupsi bisa jadi akan terus berkembang. Pelaku korupsi akan memanfaatkan setiap celah kesempatan untuk menutupi perbuatannya. Pihak berwenang pun seharusnya semakin jeli melihat potensi yang mengarah ke tindakan korupsi. Kasus-kasus korupsi yang terungkap setiap tahun seharusnya membangkitkan optimisme bahwa pemberantasan korupsi terus dilakukan. Tidak ada ampun bagi setiap orang yang merugikan negara dan masyarakat.
Kerugian Negara Tetap Besar
Saat ini, orientasi penegakan hukum masih seputar memidanakan koruptor, memberi hukuman berat, dan menjebloskan pelaku ke penjara. Satu hal yang masih sering luput untuk diperhatikan adalah mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi. Pada kenyataannya, sejumlah narapidana koruptor diketahui masih bisa mengendalikan kehidupan di lapas dengan harta yang masih mereka miliki. Itu sebabnya, pemidanaan kasus korupsi gagal memberi efek jera.
Indexa, sebuah perusahaan analisis data hukum, melansir hasil indeksasi terhadap 694 putusan terpidana korupsi selama tahun 2011 hingga 2015 di pengadilan tingkat pertama yang menunjukkan ketimpangan antara kerugian negara dengan uang pengganti. Disebutkan bahwa sebanyak 642 terpidana atau sekitar 92 persen tidak melakukan pengembalian kerugian negara.
Pengembalian kerugian negara terbesar yang diberikan adalah senilai Rp 1,5 miliar. Padahal, terdapat 129 terpidana yang melakukan korupsi di atas Rp 2 miliar. Bahkan, di antaranya yakni 16 terpidana telah merugikan negara di atas Rp 10 miliar. Meski terdapat terpidana yang telah diminta untuk mengembalikan keuangan negara sebelum pembacaan putusan akhir, jumlahnya sangat sedikit.
Hasil kajian Indonesia Corruption Watch tahun 2017 juga menunjukkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 29,4 triliun, sedangkan uang pengganti yang diputuskan hakim hanya Rp 1,4 triliun. Jumlah ini berarti hanya 4,91 persen dari total kerugian negara akibat korupsi (Kompas, 4/5/18). Angka yang timpang ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berkutat pada soal memburu jumlah pelaku sebanyak-banyaknya. Bukan pada keberhasilan mengembalikan uang hasil korupsi tersebut.
Tekanan kepada KPK untuk menggunakan instrumen hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terus bermunculan agar bisa merampas harta koruptor. TPPU menjadi hal baru yang masih jarang dibidik KPK. Sampai saat ini, baru 25 perkara TPPU yang ditangani KPK. Perkara ini memang lebih rumit karena KPK harus berkoordinasi dengan PPATK atau Ditjen Pajak.
Pasal berlapis dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU ini bisa dikenakan bagi setiap orang yang menempatkan, membelanjakan, mengubah bentuk, menyamarkan, menyembunyikan, dan menguasai penempatan hasil korupsi. Maka, uang hasil korupsi yang ditaruh di bank atau yang sudah menjadi bangunan rumah bisa disita.
Penggunaan instrumen hukum dari UU TPPU akan memperbesar peluang untuk merampas harta yang dikorupsi. Tidak hanya itu, TPPU bisa lebih menyasar koruptor kelas kakap dan melibatkan banyak orang. Sehingga, KPK dapat melakukan pemblokiran dan penyitaan aset dari tindak pidana asal, yakni korupsi.
Jika instrumen TPPU ini serius diterapkan, pada akhirnya tidak hanya koruptor yang berhasil dipidanakan, aset hasil korupsi pun bisa disita. Dengan demikian, ketimpangan antara kerugian negara dengan uang pengganti bisa diminimalisasi. (IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/LITBANG KOMPAS)