Iming-iming untuk yang Mau Lawan Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 yang mengatur tentang pemberian imbalan bagi pelapor korupsi atau suap telah membelah sikap publik terkait keterlibatan masyarakat dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi. Resistensi terhadap PP ini menunjukkan, selama ini masyarakat telah bergerak melawan korupsi secara sukarela tanpa berharap penghargaan dari negara.
PP No 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejatinya merupakan perubahan atas PP No 71/2000. Setelah 18 tahun berlalu, perubahan dilakukan dengan tambahan pemberian imbalan bagi pelapor korupsi atau suap. Regulasi ini tentu diharapkan mampu memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi dan meningkatkan peran aktif masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas mengungkapkan, publik cukup antusias dengan ketentuan pemberian imbalan tersebut. Sebanyak 52,1 persen responden menyatakan setuju jika masyarakat yang melaporkan tindak pidana korupsi diberikan imbalan. Sebaliknya, responden yang menolak ketentuan pemberian imbalan ini sebanyak 45,7 persen. Selisih persentase jawaban yang relatif kecil antara responden yang pro dan kontra terhadap imbalan ini menunjukkan bahwa separuh bagian publik masih menghargai inisiatif ketulusan dari warga yang melaporkan kasus korupsi tanpa memikirkan imbalan apa pun dari negara.
Masyarakat bisa langsung melaporkan dugaan korupsi yang terjadi di sekitarnya ke penegak hukum. Apalagi jika korupsi terjadi di daerah yang sulit dijangkau. Paling tidak, laporan masyarakat ini bisa dijadikan sebagai bukti permulaan bagi penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk mengusut kasus korupsi. Hal ini tentu akan sangat berdampak pada pemberantasan korupsi di negeri ini.
KPK terus mendapat laporan dugaan korupsi dari masyarakat sejak lembaga ini berdiri. Ribuan laporan telah diterima setiap tahun dan membuktikan bahwa peran serta masyarakat begitu penting untuk KPK dalam melaksanakan tugasnya. Kebebasan publik menjadi prinsip dasar jika ingin memberi peran kepada mereka untuk turut andil dalam mengungkap kasus korupsi. Peran serta masyarakat tidak hanya melaporkan tipikor. Masyarakat juga berhak menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum yang menangani perkara tipikor.
Bentuk imbalan
Peraturan pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada September lalu itu mengatur bentuk imbalan yang diberikan, yaitu penghargaan berupa piagam dan/atau premi. Besarannya dua permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara paling banyak Rp 200 juta. Adapun dalam hal tipikor berupa suap, hitungannya dua permil dari nilai uang suap dan atau dari hasil lelang barang rampasan paling banyak Rp 10 juta.
Nilai rupiah yang relatif besar ini diharapkan bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk semakin proaktif dalam memerangi korupsi yang virusnya sudah menjalar hampir ke seluruh organ penyelenggara negara. Menurut catatan KPK, organ-organ penyelenggara negara hampir tidak ada yang benar-benar bebas dari tindak pidana korupsi, dari pusat hingga ke daerah. Boleh jadi, keinginan pemerintah untuk memerangi korupsi melalui kontrol masyarakat inilah yang menjadi dasar lahirnya PP No 43 Tahun 2018.
Menurut catatan Litbang Kompas, sepanjang tahun ini hingga 18 November 2018 sudah ada 27 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Terbaru, pada 18 November lalu Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu ditangkap dalam operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap senilai Rp 150 juta. Remigo diduga menerima uang terkait proyek infrastruktur.
Jika ditotal sudah terdapat 116 kepala daerah yang terkena kasus korupsi sejak 2014. Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan sudah dilakukan, tetapi tidak membuahkan hasil. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan besar. Apa yang salah dengan pejabat publik di negeri ini? Biaya politik yang begitu besar atau perkara moral? Sampai saat ini belum ditemukan jawaban pasti sekaligus solusi yang diyakini mampu memberantas salah satu persoalan bangsa ini.
Karena itulah, September lalu pemerintah mengambil langkah untuk menguatkan keterlibatan masyarakat dalam mengungkap kasus korupsi dengan memberikan penghargaan berupa uang. Bagi pemerintah, pemberian imbalan merupakan bentuk apresiasi nyata dari negara kepada warganya yang telah menyelamatkan negara dari segala macam bentuk praktik korupsi. Di titik inilah perspektif pemberian imbalan antara pemerintah dengan masyarakat menemukan perbedaan.
Bagi masyarakat, materi bukanlah faktor yang menggerakkan kepedulian untuk memerangi korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Kegamangan terhadap perilaku korup yang semakin merajalela di kalangan para penyelenggara negara telah membentuk kesadaran masyarakat untuk melawan korupsi. Kesadaran ini yang melandasi semangat untuk memberantas korupsi.
Antara sukarela dan keamanan
Hasil jajak pendapat mengungkapkan, dua dari tiga responden akan tetap melaporkan kasus korupsi meskipun mereka tidak mendapat imbalan apa-apa dari negara dan masyarakat. Sikap ini mencerminkan ketulusan sekaligus keseriusan publik dalam memerangi korupsi. Perlawanan korupsi yang bersifat sukarela ini tidak berhenti pada tahap melaporkan saja, tetapi sampai pada tahap proses persidangan di pengadilan. Sikap ini dinyatakan oleh 66,4 persen responden.
Meski demikian, responden yang mendukung pemberian imbalan bagi para pelapor korupsi juga cukup besar. Sekitar 51 persen responden menyatakan bersedia untuk melaporkan korupsi jika diberi imbalan oleh negara. Imbalan ini juga menjadi daya tarik bagi 49 persen responden yang bersedia untuk berpartisipasi dalam proses persidangan.
Setidaknya, alasan yang bisa dipahami dari sikap tersebut adalah imbalan sebagai bentuk apresiasi negara terhadap warganya yang sudah berpartisipasi dalam memerangi korupsi. Selain itu, pemberian imbalan tersebut juga sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Perspektif ini menggambarkan bahwa kelompok responden ini menyikapi secara wajar pemberian imbalan bagi pelapor kasus korupsi.
Ternyata catatan responden bukan pada pemberian imbalannya, tetapi kembali kepada keamanan dan keselamatan para pelapor. Pasalnya, tindak pidana korupsi yang dilaporkan sudah pasti melibatkan tokoh politik atau orang yang memiliki pengaruh terhadap kekuasaan. Posisi terlapor inilah yang dianggap rawan mendatangkan bahaya bagi pelapor. Sekitar 66 persen responden mengakui bahwa tindakan melaporkan kasus korupsi berbahaya bagi keselamatan pelapornya.
Dalam melaporkan dugaan tipikor, ada aturan yang harus diikuti dengan benar. Selain itu, pelapor juga harus selalu siap untuk berurusan dengan aparat keamanan dan penegak hukum. Masyarakat dapat memberi informasi kepada pejabat yang berwenang pada badan publik dan atau penegak hukum. Laporan tersebut bisa disampaikan secara lisan atau tertulis baik melalui media elektronik maupun nonelektronik. Jika laporan disampaikan secara lisan, petugas yang berwenang wajib mencatat laporan secara tertulis.
Balasan materi pun tidak serta-merta diberikan begitu selesai melaporkan dugaan tipikor. Laporan tersebut akan diperiksa terlebih dahulu kebenarannya dan dilakukan paling lambat 30 hari kerja sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum diterima oleh jaksa. Artinya, pelapor harus memahami benar aturan main dalam membuat laporan sehingga niat untuk berbuat baik tidak membawa petaka untuk dirinya sendiri.
Karena itulah, pemerintah harus memperhatikan keselamatan warga yang hendak melaporkan tipikor. Apalagi selama ini jaminan terhadap para pelapor korupsi terbilang minim. Dua dari tiga responden mengaku bahwa perlindungan negara terhadap para pelapor kasus korupsi belum memadai. Dengan kata lain, pemerintah harus membuat paket aturan yang sejalan antara pemberian imbalan dan jaminan keamanan bagi para pelapor kasus korupsi.
Dalam PP Nomor 43 tahun 2018 telah diatur mengenai perlindungan hukum kepada masyarakat yang memberi informasi adanya dugaan tipikor dan yang hadir dalam proses hukum mulai dari penyelidikan sampai pemeriksaan di persidangan. Pemberian perlindungan hukum ini dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Contoh kasus
Dukungan publik yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini memang tak sebanding dengan komitmen para elite politik yang memegang kekuasaan. Alhasil, permainan politik kerap hadir untuk menyulitkan pengungkapan kasus korupsi. Bahkan, tak jarang sampai mengarah ke tindak kriminal berupa ancaman dan teror yang silih berganti menghampiri para pelapor korupsi ataupun penegak hukum yang berusaha menegakkan keadilan.
Dalam kasus mega korupsi KTP-el Novel Baswedan, penyidik KPK disiram air keras pada April 2017 yang sampai saat ini belum diketahui pelakunya. Aparat penegak hukum saja masih terancam keselamatannya dalam mengungkap kasus korupsi, apalagi masyarakat sipil.
Johannes Marliem yang berpotensi menjadi saksi ditemukan meninggal di rumahnya di Los Angeles, AS (Kompas, 12/8/2017). Ia memegang bukti percakapannya dengan perancang proyek KTP-el selama empat tahun lamanya. Tak pelak, jika kematiannya dihubungkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat di negeri ini.
Tidak hanya itu, dalam penangan kasus Hambalang terdapat empat saksi yang meninggal saat proses penyidikan (Kompas, 14/8/2017). Bahkan, ada yang penyebab kematiannya tak jelas. Kematian yang merenggut saksi tentu berpengaruh terhadap penanganan perkara. Lemahnya perlindungan hukum ini bukan karena kekosongan peraturan, tetapi dalam penerapannya mengingat perlindungan dari KPK harus berdasarkan permohonan dari saksi atau pelapor.
Agar niat baik pemerintah untuk memberantas korupsi dengan memperluas partisipasi masyarakat melalui pemberian penghargaan, pemerintah harus memastikan bahwa keamanan dan keselamatan warga yang melaporkan kasus korupsi pasti terjaga. Di tengah merajalelanya perilaku korup para penyelenggara negara sekarang, semangat masyarakat melawan korupsi tidak pernah padam. Masyarakat tetap mendukung pemerintah dalam melaporkan kasus korupsi meski tanpa penghargaan materi dari negara. (Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)