Mencari Ujung Brexit di Parlemen
Inggris menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional dengan Ratu sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Di samping itu, terdapat lembaga parlemen yang bertugas membahas tindakan pemerintah, membuat undang-undang baru, memegang kekuasaan untuk mengatur pajak, dan memperdebatkan persoalan terkini.
Lembaga parlemen Inggris bersifat bikameral, terdiri dari dua kamar, yaitu Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Majelis Rendah merupakan badan yang mewakili rakyat, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan anggota Majelis Tinggi atau House of Lords ditentukan oleh Kepala Negara.
Berbeda dengan Majelis Tinggi yang ditunjuk, keanggotaan Majelis Rendah melalui jalur pemilihan dan memiliki batas periode. Masa jabatan Majelis Rendah maksimal 5 tahun, tetapi dapat pula dibubarkan setiap saat atas anjuran perdana menteri untuk diadakan pemilihan baru.
Majelis Rendah yang memiliki 650 orang anggota memiliki wewenang yang lebih besar daripada Majelis Tinggi. Wewenang ini tecermin dalam bidang legislatif, yaitu pembuatan undang-undang.
Selain itu Majelis Rendah juga melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan roda pemerintahan berjalan sesuai aturan konstitusi. Jika dianggap lalai, Majelis Rendah dapat menjatuhkan Kabinet.
Laman parliament.uk menjelaskan proses mekanisme pengambilan setiap keputusan atau kebijakan di parlemen Inggris. Mekanisme tersebut membutuhkan beberapa tahapan yang harus dilalui di parlemen. Salah satu contohnya adalah pengajuan Rancangan Undang-undang (RUU) baru atau proposal untuk mengubah undang-undang yang sudah ada.
Tahapannya, dokumen RUU harus diajukan ke Majelis Rendah dan Majelis Tinggi untuk diperiksa. RUU dapat diajukan oleh pemerintah, perdana menteri, Majelis Tinggi, serta individu masyarakat atau organisasi. Rancangan tersebut kemudian didiskusikan, sebelum akhirnya diamandemen.
Proses diskusi inilah yang tidak dapat diprediksi, berjalan cepat atau lambat, semua tergantung dari banyak atau sedikitnya pasal yang dibahas serta substansi kerumitan materi pembahasan.
Setelah itu, jika anggota parlemen menyetujui, dokumen disampaikan kepada pihak kerajaan untuk memperoleh persetujuan (Royal Assent). Persetujuan dari pihak kerajaanlah yang akhirnya menentukan suatu RUU menjadi undang-undang dan terikat menjadi hukum negara.
Pembahasan Brexit
Proses tersebut menjadi tahapan yang harus dilalui untuk mengesahkan sebuah rancangan perundangan, termasuk RUU British Exit atau Brexit. RUU ini harus dibuat sebagai syarat pengaktifan Pasal 50 Traktat Lisabon yang mengatur keluarnya anggota Uni Eropa.
Sebagaimana mekanisme pengajuan di parlemen, dokumen RUU Brexit tersebut harus melalui Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Masa perdebatan, voting, dan pengesahan tersebut memakan waktu kurang lebih 2,5 bulan dari akhir Januari sampai awal Maret 2017.
Meski parlemen telah mengesahkan RUU Brexit sehingga pemerintah dapat mengaktifkan pasal 50 Traktat Lisabon, halangan proses Brexit datang di penghujung tahun 2017. Kesepakatan perundingan pada awal bulan Desember 2017 meliputi tentang biaya perceraian yang harus dibayar Inggris, nasib 3 juta warga Uni Eropa di Inggris, dan soal perbatasan Irlandia Utara.
Dalam pemungutan suara pada 13 Desember 2017, pemerintah mengalami kekalahan di parlemen. Pihak Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri Theresa May kalah tipis dengan perolehan 305 suara berbanding 309 suara. Akibatnya, UU Brexit harus diamandemen.
May kemudian mengajukan Rencana Chequers. Namun, setelah Chequers disepakati, dua menteri dalam kabinetnya mengundurkan diri, yakni Menteri Luar Negeri Boris Johnson dan Menteri Urusan Brexit David Davis.
Kabinet mendapat tekanan, terutama dari pihak-pihak yang menginginkan perpisahan total dari Uni Eropa (hard Brexit). Selain perpecahan di kabinet, May juga disibukkan untuk mendapatkan dukungan parlemen.
Beberapa isu yang diusung May mendapat apresiasi parlemen, misalnya terkait permasalahan bea cukai. May menang tipis dalam voting di Majelis Rendah pada 17 Juli 2018. Usulan pemerintah lolos dengan suara tipis, 307 berbanding 301.
Sehari sebelumnya, usulan May mengenai bea tarif juga mendapat dukungan dari Majelis Rendah dengan suara 318 mendukung dan 285 suara menolak. Namun, tidak semua usulan pemerintah disetujui Majelis Rendah, misalkan isu regulasi obat-obatan. May harus kembali melakukan negosisasi dengan Uni Eropa.
Titik terang negosiasi Brexit antara Inggris dan Uni Eropa mencapai kesepakatan final pada 1 November 2018. Kedua pihak sepakat dalam draf setebal 585 halaman hasil negosiasi final antara Inggris dan UE, termasuk periode transisi bagi kedua pihak untuk penyesuaian pasca perceraian.
Untuk bisa meloloskan kesepakatan Brexit di Majelis Rendah, May membutuhkan sedikitnya 326 suara. Saat ini, Konservatif dan DUP (10 kursi) memiliki 327 kursi. Namun, ada sekitar 51 anggota garis keras Konservatif yang menolak kesepakatan.
Tongkat parlemen
Pada 25 November 2018, Uni Eropa telah menandatangani kesepakatan tersebut. Brussels juga menegaskan, tak akan ada lagi negosiasi terkait Brexit. Meski dokumen kesepakatan Brexit telah disetujui Uni Eropa, ganjalan masih datang dari Parlemen Inggris.
Penolakan parlemen kali ini tampak saat debat Majelis Rendah pada 10 Desember 2018 lalu yang diakhiri oleh drama protes oleh anggota parlemen Partai Buruh.
Dalam debat tersebut, Lloyd Russell-Moyle tiba-tiba maju ke depan, mengambil tongkat kebesaran dan mengangkatnya di tengah-tengah ruang sidang. Tongkat kebesaran itu adalah simbol otoritas kerajaan di parlemen. Tanpa tongkat kebesaran tersebut parlemen tidak dapat mengesahkan undang-undang.
Tongkat kebesaran Majelis Rendah sepanjang lima meter tersebut terbuat dari emas perak dan berasal dari pemerintahan Raja Charles II pada abad ke-17. Tongkat diletakkan di ruang diskusi di hadapan pembicara (Speaker), yaitu otoritas tertinggi dewan perwakilan saat berlangsung diskusi atau pembahasan tertentu.
Tindakan Lloyd Russell-Moyle diakuinya sebagai bentuk pemberontakannya atas tidak diakuinya kekuatan dewan parlemen dalam pengambilan keputusan. Menurutnya, lembaga eksekutif sudah semena-mena sehingga tidak mempertimbangkan dewan perwakilan.
“I am not the first MP to pick up the mace. Other members have picked it up when the parliamentary system has not been working, or when it has been exploited by a cynical executive,” ungkap Moyle seperti dikutip The Guardian.
Moyle geram karena beberapa hari sebelum perdebatan lima hari, pemerintah dianggap tidak menghargai parlemen karena menolak untuk mempublikasikan dokumen petunjuk hukum Brexit.
Ringkasan dokumen tersebut berisi tentang berlakunya backstop kecuali dan sampai ketentuannya digantikan oleh perjanjian selanjutnya antara Inggris dan Uni Eropa. Selain itu, dokumen ini juga menjelaskan bahwa backstop merupakan salah satu poin penting dari perjanjian penarikan diri yang memiliki tenggat waktu.
Kemarahannya ditambah dengan pengumuman Perdana Menteri May yang menunda pemungutan suara anggota parlemen. Penundaan ini menunjukkan sikap May untuk mempertahankan kesepakatan Brexit yang telah dibuatnya. Ia menyadari efek politiknya. Jika pemungutan suara tetap diadakan, kesepakatan akan ditolak dengan selisih besar.
Beban May semakin berat setelah keputusannya menunda voting kesepakatan Brexit diikuti langkah anggota parlemen dari partainya, Partai Konservatif, memproses mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May di partai.
Dewi Keberuntungan masih berpihak kepada May. Ia lolos dari proses mosi tidak percaya oleh kubu Konservatif di parlemen pada 13 Desember 2018 kemarin, yang menginginkan ia diganti dari ketua Partai Konservatif. May lolos dengan perolehan suara 200-117.
May menghadapi suara para penentang di partainya yang tidak sepakat dengan isu backstop Irlandia Utara. Isu tersebut itulah yang juga membuat May berpikir keras, hingga akhirnya menunda proses pemungutan suara di parlemen Inggris.
Komitmen “Backstop”
Beberapa media internasional cukup gamblang memberitakan penundaan pemungutan suara tersebut. The Washington Post menyebutkan bahwa penundaan tersebut adalah bentuk kekalahan May di parlemen, yaitu bahwa May tidak dapat memenangkan 100 dari anggota parlemennya sendiri.
The Guardian menggambarkan begitu tertekannya May sehingga harus memohon perpanjangan waktu untuk meyakinkan parlemen sebelum voting. “Desperate May Reveals Her Plan B: to Buy More Time,” tulis The Guardian.
Penolakan besar-besaran yang diprediksi akan menyebabkan rendahnya persetujuan akan kesepakatan Brexit oleh anggota parlemen didasarkan pada permasalahan backstop. Poin itu dianggap bakal membuat Inggris terbelenggu dalam waktu tak terbatas pada aturan bea cukai Uni Eropa.
Backstop merupakan komitmen Inggris dan Uni Eropa untuk menghindari penjagaan di perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia, terlepas apakah Brexit terjadi dengan atau tanpa kesepakatan.
Seperti apa bentuknya masih akan dirundingkan pasca-Brexit. Selama kesepakatan itu belum tercapai, barang-barang dari Irlandia Utara masih masuk dalam bea cukai UE dalam waktu tak terbatas (Kompas, 12/12/2018).
Demi menarik suara dari parlemen, sang perdana menteri juga melakukan berbagai jalur diplomasi untuk meyakinkan hasil kesepakatan dengan Uni Eropa. May kembali ke Brussels untuk menghadiri KTT Uni Eropa pada 13-14 Desember 2018.
May mengupayakan dukungan dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Selanjutnya ia menemui Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin untuk mencari jaminan mengenai isu backstop di Irlandia Utara. May juga akan menemui Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk dan Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker.
May meyakini bahwa kesepakatan ini adalah yang terbaik. "I have also been clear that the best outcome is for the UK to leave with a deal," tegas May. Gejolak yang terjadi dalam perundingan Brexit di parlemen Inggris menjadi fokus perutusannya sebagai perdana menteri.
Masih ada sedikit waktu bagi May untuk meyakinkan parlemen Inggris yang akan melakukan voting sebelum 21 Januari 2019. May terus mengupayakan agar proses kesepakatan Brexit mencapai titik temu di gedung parlemen. (DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS)