Peran Istimewa Pengungkap Korupsi
Pengungkapan kasus-kasus korupsi di negeri ini makin mendalam dengan kehadiran sosok saksi pelaku. Saksi pelaku memperbesar peluang penegak hukum untuk mengusut kasus korupsi hingga tuntas. Sayangnya, keringanan hukuman atas andil saksi pelaku dalam mengusut pelaku lain masih menjadi persoalan.
Saksi pelaku atau justice collaborator adalah pihak yang terlibat dalam suatu kasus namun bersedia membantu pengungkapan pelaku lainnya dalam kasus tersebut. Saksi pelaku berbeda dengan saksi pelapor atau whistleblower yang merujuk pada pelapor suatu kasus pidana namun bukan sebagai pelaku.
Frasa justice collaborator setidaknya mulai populer ketika mantan anggota DPR RI sekaligus bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, menyeret pelaku-pelaku lain yang terlibat korupsi. Dalam masa persidangan tahun 2012 hingga 2016, Nazaruddin membantu memberikan keterangan yang mengarah pada mantan anggota DPR Angelina Sondakh, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan mantan Menpora Andi Mallarangeng. Sejumlah nama yang diungkap oleh Nazaruddin ini kemudian terbukti bersalah dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
Nazaruddin juga membantu penegak hukum dalam kasus korupsi wisma atlet Palembang. Mohammad El Idris, Manager PT Duta Graha Indah, pun terbukti menyuap Sesmenpora Wafid Muharram. Terakhir, Nazaruddin menyebut nama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang ikut mengatur proyek KTP elektronik dan menerima aliran uang.
Ia sendiri divonis untuk dua kasus, masing-masing tujuh tahun penjara untuk korupsi wisma atlet di Palembang (2012) dan enam tahun penjara untuk pencucian uang sejumlah proyek pembangunan (2016). Ia mendapatkan keringanan putusan salah satunya karena status sebagai justice collaborator. Atas kesediaannya menjadi saksi pelaku, Nazaruddin juga menerima remisi hingga 28 bulan.
Keringanan yang dialami Nazaruddin sayangnya tidak dialami oleh saksi pelaku dalam kasus korupsi KTP-Elektronik. Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto, dan pengusaha Andi Agustinus justru menerima hukuman lebih berat.
Irman dan Sugiharto pada tingkat pertama dan banding divonis lima tahun dan tujuh tahun penjara sesuai tuntutan jaksa KPK. Pada tingkat kasasi hukuman mereka diperberat menjadi 15 tahun penjara. KPK menyebutkan bahwa kedua terdakwa telah memberikan keterangan yang terus terang dan membantu proses pengusutan kasus korupsi KTP-Elektronik. Namun, permohonan KPK untuk menjadikan keduanya sebagai saksi pelaku dianulir oleh Majelis Hakim Agung.
Sementara itu, Andi dihukum sebelas tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dari vonis delapan tahun penjara yang diberikan Pengadilan Tipikor. Status saksi pelaku yang telah diberikan pada tingkat pertama juga dicabut hakim di pengadilan tinggi.
Selain posisi justice collaborator yang tidak dipertimbangkan hakim dalam membuat putusan, sejumlah saksi pelaku juga ditolak statusnya karena tidak memenuhi persyaratan. Misalnya saja, penetapan saksi pelaku terhadap Abdul Khoir oleh KPK dalam kasus suap DPR untuk proyek jalan di Maluku, ditolak oleh hakim Tipikor karena ia dianggap sebagai pelaku utama. Meski demikian, Khoir tetap mendapatkan vonis ringan yaitu 2,5 tahun penjara dari tuntutan 4 tahun penjara.
Selain Khoir, terdapat pula mantan anggota DPR Rio Patrice Capella, terdakwa suap kasus dana bantuan sosial di Sumatera Utara dan mantan Bupati Kebumen M Yahya Fuad dalam kasus suap di lingkungan Pemkab Kebumen. Keduanya ditolak sebagai saksi pelaku. Meski demikian, vonis yang mereka terima tetap lebih ringan dari tuntutan.
Tidak adanya jaminan bagi saksi pelaku untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan menjadi persoalan. Pasalnya, saksi pelaku berpotensi menjadi jalan tengah antara penegak hukum dan pelaku korupsi. Bagi pelaku, ia berpeluang mendapatkan keringanan tuntutan maupun vonis dan mendapatkan remisi ketika menjalani hukuman. Bagi penegak hukum, saksi pelaku dapat membantu menemukan aktor kunci kasus korupsi.
Dalam laporan tahunan KPK 2017, terdapat 18 orang yang ditetapkan sebagai saksi pelaku. Jika dibandingkan dengan kegiatan penuntutan dari KPK, jumlah ini masih tergolong minim. Pasalnya, pada tahun yang sama, KPK melakukan kegiatan penuntutan sebanyak 144 perkara.
Menilik dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya telah cukup lama menaruh perhatian tentang jaminan hak bagi saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum. Bahkan, Indonesia turut meratifikasi beberapa konvensi internasional yang juga disepakati oleh sejumlah negara lainnya.
Perlindungan terhadap saksi pelaku telah tercantum dalam Konvensi Antikorupsi PBB atau UNCAC pada tahun 2004. Dalam konvensi ini, setiap negara yang meratifikasi wajib mempertimbangkan dan mengurangi hukuman bagi saksi pelaku. Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Senada, aturan ini juga terdapat pada Konvensi PBB yang menentang tindak pidana transnasional terorganisasi (UNCATOC). Dalam konvensi ini, setiap negara yang meratifikasi wajib mempertimbangkan pengurangan hukuman bagi pihak yang bekerjasama dalam penyelidikan atas sejumlah tindak pidana, termasuk korupsi. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.
Namun, status saksi pelaku atau justice collaborator baru tercantum dalam regulasi Indonesia pada Agustus 2011. Aturan ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di Dalam Tindak Pidana Tertentu.
Dalam aturan ini, MA membedakan antara saksi pelapor (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator). Pada aturan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum terdapat aturan lebih mendalam tentang status saksi pelaku dalam tindak pidana.
Merujuk pada surat edaran MA, saksi pelapor adalah pihak yang bukan pelaku namun mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu. Sementara saksi pelaku adalah pihak yang terlibat sekaligus membantu mengungkap pelaku lain dalam suatu kasus.
Korupsi menjadi salah satu tindak pidana yang dapat diungkap oleh saksi pelaku. Namun, tak semua koruptor dapat mengajukan diri sebagai saksi pelaku. MA memberikan beberapa syarat bagi pelaku yang dapat menjadi saksi untuk membuka suatu kasus.
Pihak yang dapat menjadi saksi pelaku bukanlah tokoh utama pada suatu tindak pidana. Artinya, status saksi pelaku bisa saja gugur ketika tersangka atau terdakwa ditetapkan sebagai pelaku utama, sekalipun telah mengungkapkan banyak hal pada suatu kasus. Syarat selanjutnya adalah pengakuan dari pelaku tindak pidana. Status justice collaborator hanya diberikan kepada pelaku yang telah mengakui keterlibatannya pada suatu tindak pidana.
Jaksa penuntut umum juga memiliki peran khusus dalam penentuan saksi pelaku. Dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum perlu menyatakan bahwa pelaku telah memberikan keterangan dan bukti signifikan pada pengungkapan suatu kasus.
Hak Istimewa
Saksi pelaku dapat memperoleh ‘keistimewaan’ berupa perlindungan dari pemerintah, baik perlindungan fisik maupun psikis. Hal ini diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2011. Putusan ini sekaligus menjadi bentuk sinergi berbagai lembaga negara dalam melindungi saksi pelaku.
Perlindungan dapat diperoleh saksi pelaku dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya adalah kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana. Selain itu, perlindungan hanya akan diberikan bagi saksi pelaku yang mengungkap tindak pidana serius atau terorganisir.
Saksi pelaku juga dapat memperoleh penanganan khusus dalam proses pemeriksaan. Penanganan khusus ini diberikan dalam bentuk pemisahan tempat penahanan dari pelaku lain yang berhasil diungkap dan dapat memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Selain penanganan khusus, saksi pelaku juga memperoleh penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penghargaan dapat berupa keringanan hukuman, dan pembebasan bersyarat. Tak hanya itu, hakim juga dapat menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Remisi tambahan juga dapat diberikan kepada saksi pelaku. Remisi dapat diberikan setelah LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Beleid ini sekaligus melengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Hak Warga Binaan. Dalam aturan ini, salah satu syarat bagi terpidana korupsi untuk menerima remisi dan pembebasan bersyarat adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Aturan ini sekaligus mempertegas syarat dari pemerintah untuk memperoleh remisi bagi koruptor. Sejak aturan ini berlaku, tidak semua terpidana korupsi dapat memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat.
Remisi memang menjadi hak narapidana. Hal ini tercantum dalam Pasal 14 Ayat (1) Huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, aturan ini tahun 2017 lalu pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, gugatan ini ditolak oleh MK sehingga pemerintah masih berwenang untuk mengatur pemberian remisi bagi koruptor.
Akibatnya, sejumlah terpidana korupsi tidak memperoleh remisi. Keputusan ini menegaskan posisi pemerintah yang masih memiliki kekuatan untuk mengatur pemberian remisi bagi koruptor, termasuk memberikan keringanan bagi saksi pelaku korupsi.
Sejumlah hak istimewa seperti remisi hingga keringanan hukuman perlu diiringi oleh komitmen lembaga lainnya. Pada tahun 2017, Ombudsman melakukan pemantauan kepada 55 lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan. Berdasarkan inspeksi mendadak pada sejumlah LP, Ombudsman menemukan narapidana harus membayar untuk mendapatkan status justice collaborator demi memperoleh keringanan hukuman (Kompas, 25/9/2018).
Kini, minat untuk menjadi saksi pelaku harus ditumbuhkan dengan kepastian hukum yang diberikan untuk para saksi ini. Jika koruptor mampu bekerjasama dengan baik untuk mengungkap berbagai kasus, bukan mustahil kasus korupsi dapat ditumpas hingga ke aktor intelektual. (Arita Nugraheni/Dedy Afrianto/Litbang Kompas)