Meredam Perang Yaman
Perang dan konflik meninggalkan luka mendalam bagi warga Yaman. Konflik bersenjata yang telah berlangsung lebih dari 4 tahun bukan hanya merenggut nyawa penduduk Yaman, melainkan juga menebar ancaman kelaparan yang lebih dahsyat dampaknya bagi kemanusiaan.
Hingga Juli 2018, sekitar 8 juta warga Yaman menghadapi ancaman kelaparan akibat perang. Perang juga telah menewaskan 10.000 orang. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahkan menyebutkan, penduduk Yaman mengalami nasib yang lebih buruk. Sekitar 35 persen penduduknya kurang gizi sehingga negara itu menjadi ”rumah” bagi krisis pangan.
Berbagai upaya dilakukan untuk menumbuhkan menyelesaikan konflik di negeri berpenduduk 28,6 juta yang terletak di selatan jazirah Arab ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa terus berupaya mengambil peran mewujudkan perdamaian di Yaman. Puncaknya, pada 6 Desember 2018, dua kubu yang bertikai bersedia berunding di Swedia atas prakarsa PBB.
Bukan kali saja upaya meredam konflik Yaman dilakukan. Pada 21 April 2016, PBB berhasil mempertemukan dua kubu yang berseteru. Delegasi pemerintahan Mansour Hadi berdialog dengan delegasi milisi pemberontak Houthi yang dimediasi PBB di Kuwait City, Kuwait.
Dialog perdamaian diawali kesepakatan gencatan senjata 10 hari sebelum perundingan. Sayangnya, belum ada titik temu dari balik meja perundingan. Kubu Mansour Hadi ingin perundingan dimulai dari isu penarikan mundur milisi Houthi. Sementara delegasi Houthi ingin proses politik dan pembentukan pemerintahan persatuan nasional menjadi isu awal yang dibahas.
Dua tahun kemudian, PBB kembali mengupayakan pertemuan kedua belah pihak. Pada 7 September 2018, Utusan Khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths bertemu Menteri Luar Negeri Yaman Khaled al-Yamani di Geneva, Swiss. Sayangnya, utusan kelompok Houthi yang diharap hadir tak kunjung datang.
Houthi menolak mengutus juru runding menghadiri perundingan di Geneva karena tidak ada jaminan keamanan bagi delegasi juru runding bisa kembali dengan selamat ke Yaman. PBB juga dituding tidak bisa menjamin evakuasi milisi Houthi ke Oman.
Upaya PBB terus berlanjut. Pada 20 November 2018, Dewan Keamanan PBB menyiapkan resolusi untuk mendesak gencatan senjata di Hodeidah, Yaman. Para pihak bertikai mengindikasikan siap mematuhi resolusi itu dan bersedia berunding kembali. Hingga akhirnya delegasi Pemerintah Yaman dan pemberontak Houthi bersedia bertemu di Swedia.
Perang saudara
Konflik di Yaman merupakan perang antara pasukan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang didukung sekutunya, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), menghadapi milisi Houthi yang didukung Iran.
Krisis di negeri yang luasnya 527.970 km2 ini, dimulai pada September 2014 saat milisi Houthi menguasai ibu kota Sana’a dan menggulingkan Presiden Mansour Hadi. Pihak Hadi yang dibantu pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi berupaya menegakkan kembali pemerintahannya.
Konflik kian runyam ketika koalisi Arab pun pecah. Kelompok Dewan Transisi Selatan (STC) yang didukung UEA berhasil menguasai Aden, ibu kota sementara Yaman, setelah terlibat pertempuran dengan kelompok yang dipimpin Presiden Hadi. Jadi, setidaknya terdapat tiga faksi utama yang terlibat dalam konflik bersenjata di Yaman.
Panggung konflik semakin terpetakan. Milisi Houthi menguasai bagian utara hingga barat Yaman, termasuk ibu kota Yaman Sana’a serta kota pelabuhan Hodeidah. Sedangkan, pasukan Pemerintahan Hadi menduduki bagian selatan dan timur Yaman, berbagi kuasa dengan kelompok separatis Yaman Selatan (Kompas, 5/2/2015).
Perang semakin mencekam pada awal 2018, ketika pasukan Hadi bersama koalisinya berusaha merebut kota Hodeidah. Wilayah ini menjadi medan penting pertempuran karena lokasinya yang strategis.
Di kota ini terdapat pelabuhan Hodeidah, yang selama ini menjadi pintu masuk barang ke Yaman. Hodeidah juga diincar pasukan Hadi untuk melumpuhkan jalur logistik wilayah kekuasaan milisi Houthi.
Perundingan Swedia
Pasukan Hadi dibantu armada koalisi tak henti-hentinya menghujani kota pelabuhan ini dengan serangan bom dari udara. Sebagai balasan, milisi Houthi membalas menembakkan rudalnya ke wilayah Arab Saudi.
Eskalasi konflik ini pun memicu perhatian dunia. Pada November 2018, Amerika Serikat menyerukan adanya gencatan senjata serta penyaluran bantuan kemanusiaan. Gayung bersambut, tak berselang lama PBB melalui utusan khususnya untuk urusan Yaman Martin Griffiths mengumumkan bahwa Milisi Houthi dan Kubu Hadi bersedia untuk melaksanakan negosiasi pada Desember 2018.
Pertemuan yang dinanti pun tiba. Pada 6 Desember 2018, delegasi dari Houthi dan Hadi bertemu di Swedia. Walaupun tidak serta merta menghentikan konflik Yaman, namun ada kemajuan dalam de-eskalasi konflik Yaman.
Secara umum, pertemuan ini bertujuan untuk menghentikan eskalasi konflik dan pengamanan pelabuhan Hodeidah. Namun, ada beberapa capaian dan persoalan yang mencuri perhatian untuk masa depan perdamaian Yaman.
Pertama, pertemuan ini menghasilkan persetujuan untuk saling membebaskan tahanan perang dari kedua belah pihak. Para tahanan ini termasuk mantan menteri pertahanan Yaman Mahmoud Al-Subaihi, yang telah disandera oleh Houthi sejak akhir 2014 dan Hadi Nasser, seorang jenderal senior dan mantan pejabat intelijen Yaman.
Proses pertukaran tahanan akan dibantu oleh Palang Merah Internasional yang akan mengawasi pertukaran 2.000 anggota pasukan pro-pemerintah dan 1.500 Houthi pada akhir Januari 2019 mendatang.
Kedua, pihak Houthi dan Hadi setuju untuk mengizinkan PBB melakukan intervensi di Hodeidah. Utusan dari tim Mekanisme Verifikasi dan Inspeksi PBB untuk Yaman (UNVIM) diperbolehkan untuk mengawasi pelabuhan Hodeidah. Tidak hanya mengawasi pelabuhan, tim ini pun diperbolehkan untuk mentransfer uang pendapatan dari pelabuhan ke bank sentral yang ada di wilayah Aden.
Namun demikian, kedua pihak masih belum sepakat dalam hal penguasaan kota Hodeidah. Menteri Luar Negeri Yaman Khalid Al-Yamani menyatakan bahwa Hodeidah, yang saat ini dipegang oleh Houthi dengan dukungan Iran, harus berada di bawah kendali pemerintahan Mansour Hadi.
Sedangkan, sebagai penguasa saat ini, Houthi ingin Hodeidah dinyatakan sebagai zona netral. Selain itu, pihak Hadi pun menolak pasukan perdamaian PBB untuk menetap di Kota Hodeidah.
Tiga substansi perundingan lainnya masih belum menemukan titik temu, yaitu kehadiran pasukan PBB dalam jangwa waktu panjang, pembentukan pemerintahan transisi, dan kelanjutan gencatan senjata.
Dalam hal kehadiran pasukan PBB, pemerintahan Hadi menolak rencana kehadiran pasukan PBB di Hodeidah dalam jangka waktu panjang. Sedangkan mengenai pemerintahan transisi, kubu Hadi memberi syarat milisi Houthi harus mau untuk dilucuti senjatanya. Namun, syarat tersebut ditolak pihak Houthi.
Hal serupa juga terjadi dalam masalah gencatan. Milisi Houthi menolak gagasan pemerintahan Hadi yang meminta milisi mundur dari kota Hodeidah, menyerahkan senjata mereka, mengembalikan penguasaan kota kepada pemerintah.
Masih adanya ganjalan beberapa masalah menjadi tantangan PBB menyelesaikan konflik Yaman. Walau keinginan PBB menempatkan pasukan dalam jangka panjang ditolak pemerintah Yaman, namun dibukanya akses PBB di kota Hodeidah menjadi poin penting perundingan Yaman.
Dalang jangka pendek, akses PBB dapat membantu distribusi bantuan kemanusiaan seperti makanan dan obat-obatan sehingga dapat mengurangi dampak dari kelaparan dan penyakit akibat perang. Blokade wilayah oleh kedua pihak juga membuat harga komoditas meroket tinggi dan tidak terjangkau masyarakat.
PBB juga merancang pemulihan ekonomi dan aktivitas perbankan dengan menggandeng lembaga keuangan internasional. Namun, pemulihan krisis Yaman, membutuhkan dukungan stabilitas keamanan.
Karenanya, PBB melihat perlunya gencatan senjata yang sudah terjadi dapat ditingkatkan dalam kesepakatan perjanjian untuk mengakhiri konflik yang menyengsarakan rakyat Yaman. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)