Jurus China Mengurai Perang Dagang
Kunjungan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon ke China pada 1972 menjadi momentum penting hubungan AS dan China. Untuk pertama kalinya seorang presiden AS mengunjungi daratan Cina sejak berdirinya republik komunis di sana. China dan AS kemudian menjalin hubungan diplomatik pada 1979.
Sepanjang 46 tahun, pasang surut mewarnai hubungan kedua negara. Hubungan AS-Cina sempat membeku pada 1989, saat AS memrotes tindakan keras militer Cina terhadap para demonstran pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen.
Hubungan kembali surut pada 1995, saat Cina menarik dubesnya setelah AS memberi izin kunjungan pribadi Presiden Taiwan Lee Teng-hui ke almamaternya, Universitas Cornell di New York. Bagi China kebijakan tersebut berarti menggugurkan kebijakan penolakan visa bagi para pemimpin Taiwan.
Setahun kemudian, ketegangan kedua negara kembali terjadi setelah Cina mengadakan latihan perang dan uji coba rudal di lepas pantai Taiwan bersamaan dengan pemilu di Taiwan. Atas tindakan China, AS mengirim dua kapal induk sebagai bentuk dukungannya pada Taiwan.
Untuk merekatkan hubungan kembali, Wakil Presiden AS Al Gore mengunjungi China. Kunjungan Al Gore kemudian diikuti lawatan Presiden China Jiang Zemin ke AS. Namun tidak berarti setelah itu hubungan kedua negara berjalan harmonis.
Hingga saat ini, perseteruan kedua negara masih terjadi. Konflik China dan Taiwan masih terjadi pada September 2018 lalu. China memrotes keras militer AS yang menerbangkan pesawat pengebom B-52 di Laut China Selatan. Tidak lama berselang, dua kapal perang milik kedua negara saling berdekatan di Laut China Selatan.
Selain itu ketegangan hubungan juga muncul dari sisi ekonomi, yaitu jatuhnya sanksi ekonomi AS ke China akibat pembelian senjata dari Rusia serta kemelut perang dagang oleh kedua pihak.
Dalam hal perang dagang, AS telah memberlakukan tiga gelombang tarif pada sekitar 40 persen dari total barang-barang ekspor China ke AS yang nilainya 500 miliar dollar AS. China tidak tinggal diam dan menanggapinya dengan penerapan tarif serupa terhadap sekitar 110 miliar dollar AS barang-barang ekspor AS ke negara itu.
Momentum baik kedua negara terkait perang dagang terjadi di sela-sela KTT G-20 di Argentina. Presiden AS Donald Trump menyatakan akan menunda penerapan pajak impor 25 persen terhadap komoditas dari China senilai 200 miliar dollar AS.
Penundaan diberikan dalam waktu 90 hari terhitung dari 1 Januari 2019. Komoditas impor dari China senilai 50 miliar dollar AS tetap dikenai pajak masuk 25 persen dan tidak termasuk dalam kesepakatan.
Kebijakan tersebut Trump disambut hangat Presiden Xi. China merespons dengan komitmen meningkatkan belanja China dari AS dari sektor industi, energi, dan produk pertanian. Hal ini dilakukan China untuk mengimbangi neraca ekspor baja dan produk elektronik ke AS.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen yang disepakati di G-20, China berencana mengubah kebijakan perekonomiannya. China sedang mempersiapkan untuk menggantikan kebijakan industri dengan membuka akses lebih besar bagi perusahaan asing.
“China to Open Up In Policy Shift,” tulis harian The Wall Street Journal menyikapi revisi kebijakan ini. Melalui program ini, China akan mengendurkan dominasi industri manufaktur dunia dan lebih terbuka untuk partisipasi oleh perusahaan asing.
Paket kebijakan ekonomi yang baru ini dirancang sebagai pengganti “Made in China 2025” yang dapat diterapkan pada awal tahun 2019. Melalui program Made in China 2025, China berambisi menggeser industri Barat dalam teknologi tinggi, mulai dari semikonduktor, kecerdasan buatan, farmasi, hingga mobil listrik.
Made in China 2025 pertama kali diperkenalkan pada 2015 oleh Perdana Menteri China Li Keqiang. “What we want to gradually release to the world are upgraded, middle to high-end products,” ungkap Perdana Menteri Li.
Saat ini, China mampu memproduksi barang dalam jumlah banyak dengan harga bersaing. Misalnya, produk baja dari China membanjiri pasar dunia. Produksi baja China pada 2017 mencapai 878,37 juta ton. Volume produksi tersebut lebih dari setengah hasil produksi global. China juga mengincar pasar premium dengan berbagai kecanggihan teknologi terkini.
Tidak heran, jika program Made in China 2025 menjadi titik panas Perang Dagang AS-China. Saat ini, selain baja, ada dua sektor yang menjadi kekhawatiran AS terhadap China, yakni industri pesawat terbang dan semikonduktor.
Industri pesawat terbang komersil China berhasil melakukan uji terbang pesawat penumpang Comac C919 pada 5 Mei 2017. Comac atau Comercial Aircraft Corporation of China merupakan program kemandirian penerbangan komersil China yang dimulai pada tahun 2011.
Pesawat Comac C919 potensial menjadi pesaing Airbus A320 dan Boeing 737. Saat uji coba pada November 2017, pesawat dapat terbang sejauh 1.300 kilometer dengan ketinggian 7.800 meter, artinya sudah mampu menjelajah antarkota. Jarak sejauh ini ditempuh selama 2 jam 23 menit.
Meskipun buatan China, namun komponen mesin dan sistem C919 dibuat oleh CFM International, sebuah perusahaan patungan antara General Electric Aviation (AS) dengan Safran Aircraft Engines (Perancis). Sistem bahan bakar dibuat oleh Parker Aerospace dari AS.
Harga yang dibanderol untuk satu unit C919 hanya setengah dari harga pesawat Boeing atau Airbus. Comac C919 direncanakan dilepas ke pasar dengan harga kurang dari 50 juta dollar AS per unit. Sedangkan harga Airbus A320 dan Boeing 737-800 di atas 100 juta dollar AS per unit.
Pesawat yang sudah menjalani enam kali uji terbang tersebut tinggal selangkah menjalani proses sertifikasi kelayakan dan keamanan otoritas penerbangan dunia. Bahkan, sudah ada 27 pemesan yang siap membeli 730 pesawat buatan China tersebut (Kompas 11/11/2017).
Jika pesawat C919 berhasil menuntaskan semua uji coba dan meraih sertifikat dari otoritas penerbangan komersial global, China akan bergabung bersama-sama dengan AS, Perancis, Inggris, sebagai produsen pesawat terbang berbadan lebar dunia.
Selain industri pesawat, kekhawatiran lain adalah industri semikonduktor China. China juga berambisi menjadi negara penghasil semikonduktor agar tidak lagi bergantung pada cip buatan perusahaan AS. Produksi semikonduktor menjadi nyawa dari teknologi tinggi digital. Telepon pintar, robot, kendaraan listrik dan berbagai perangkat elektronik membutuhkan komponen semikonduktor.
Amerika Serikat menghargai keinginan China merevisi program Made in China 2025. Namun, AS masih menungu pelaksanaannya dalam 90 hari ke depan. Di satu sisi, ini menjadi tanda AS berhasil menekan China untuk membenahi kebijakan perekonomiannya. Namun, pihak AS juga melihat bahwa Made in China 2025 bukan satu-satunya persoalan dalam hubungan dagang dengan China.
Ada dua persoalan mendasar yang selama ini menjadi fokus AS. Pertama, China harus mengurangi tarif impor atas produk otomotif AS. Kedua, Beijing juga diminta membeli lebih banyak produk semikonduktor AS sekaligus agar Beijing memberikan akses lebih besar bagi perusahaan keuangan AS untuk memasuki pasar China.
Ekonom Cui Fan dari Universitas Bisnis Internasional dan Ekonomi di Beijing juga melihat hal senada. Penghapusan program Made in China 2025 merupakan hal yang hampir mustahil. ”Tidak mungkin bagi China membatalkan kebijakan industri atau rencana pengembangan industri dan teknologi utama,” kata (Kompas 4/12/2018).
Ini juga diperkuat harian South China Morning Post. Tidak mudah bagi China mengurangi ambisinya. “Beijing no longer requires local governments to work on ‘Made in China 2025’, but hi-tech ambitions remain,” tulis artikel South China Morning Post.
Keinginan China merancang pengganti cetak biru "Made in China 2025" merupakan upaya terbaru Beijing untuk menyelesaikan ketegangan perdagangan dengan AS. Namun, keinginan tersebut harus segera diwujudkan dalam langkah-langkah taktis sebagai bagian melanjutkan momentum gencatan perang dagang. Hal ini juga untuk menepis kritik bahwa kebijakan tersebut hanya merupakan strategi pencitraan China untuk meredam perang dagang. (LITBANG KOMPAS)