Lompatan Ekonomi Industri Kecil Digital
Perkembangan pesat teknologi membuka celah bagi pelaku industri kecil yang kini menguasai 93 persen unit usaha industri nasional. Peluang peningkatan konsumen, pemasaran dan permodalan akan terbuka lebar dan membuat lompatan baru bagi perekonomian Indonesia
Secara umum, dibanding usaha besar, UMKM masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Menurut data Kementerian Koordinator Perekonomian, profil ekonomi Indonesia terdiri atas usaha besar 1 persen, usaha menengah sebanyak 5,1 persen dan usaha mikro dan kecil 93,4 persen.
Dengan jumlah 62,9 juta unit usaha, pada tahun 2017 UMKM mampu menyumbang 62,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, dengan laju pertumbuhan sebesar 6,4 persen per tahun. Sebagian besar PDB UMKM disumbangkan oleh usaha mikro (49,6 persen). Adapun kontribusi PDB UMKM secara sektoral didominasi oleh sektor pertanian, perdagangan, pengangkutan dan komuniasi serta industri pengolahan.
Tingkat penyerapan tenaga kerja masih terbesar, yaitu sekitar 97 persen dari seluruh tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja merupakan tenaga kerja informal pada usaha-usaha skala mikro.
Publikasi Bank Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) tahun 2015 juga menyimpulkan, sebanyak 96 persen UMKM di Indonesia mampu bertahan dari krisis moneter di Asia tahun 1998 dan dampak Krisis ekonomi global 2008-2009.
Peluang Pasar Global
Selain terbukti tangguh menghadapi gejolak ekonomi, UMKM juga tercatat merambah ke pasar global. Ekspor UMKM terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sepanjang 2010-2017, nilai ekspor UMKM meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 162 triliun di tahun 2010, menjadi Rp 298 triliun tahun lalu. Andil ekspor dari sektor UMKM terhadap total ekspor nasional sampai Desember 2017, tercatat sebesar 17 persen dari nilai ekspor Indonesia.
Sayangnya, kontribusi UMKM terhadap total ekspor itu masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sebagai gambaran, di tahun yang sama kontribusi UMKM Thailand terhadap total ekspor di negeri Gajah Putih telah mencapai 35 persen atau lebih kurang 83 miliar Dollar AS. Adapun di Malaysia, kontribusi ekspor UMKM telah mencapai 28 persen dari total ekspor negeri Jiran ini, dengan nilai mencapai 61 miliar Dollar AS.
Di kancah global, akses sektor UMKM Indonesia ke rantai pasok produksi global juga terbilang masih minim. Kontribusi UMKM di Indonesia terhadap rantai pasok global hanya sebesar 0,8 persen. Dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara, kontribusi UMKM Indonesia terhadap rantai pasok produksi global hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Brunei, Laos, Myanmar dan Kamboja.
Perdagangan Digital
Peluang ekspor UMKM yang belum tergarap optimal tak bisa dilepaskan dari sejumlah persoalan. Salah satu persoalan UMKM yang kini mengemuka adalah penguasaan teknologi.
Hasil survei Bank Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) tahun 2015 masih menunjukkan keterbatasan UMKM dalam melihat lompatan teknologi digital. Secara umum, pemasaran produk UMKM masih mengandalkan cara tradisional mouth to mouth marketing (pemasaran dari mulut ke mulut) dalam bentuk pertemuan fisik antar konsumen secara riil. Media sosial belum banyak dimanfaatkan sebagai alat pemasaran.
Kondisi UMKM itu juga terekam dari hasil survei yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2015. Dalam survei itu, disebutkan sekitar 36 persen pemilik UKM belum melek komputer dan internet, 12 persen pemilik UMKM menggunakan komputer dan internet untuk bisnis dan hanya 6 persen saja pemilik UKM yang sukses berbisnis online.
Kesimpulan senada terungkap dari penelitian mengenai keterlibatan UMKM secara digital di Indonesia tahun 2015, yang diselenggarakan lembaga riset dan konsultan bidang keuangan Deloitte bekerjasama dengan Google Indonesia. Dalam riset itu disebutkan 36 persen UMKM di Indonesia sama sekali tidak memiliki akses internet baik melalui komputer ataupun ponsel pintar (offline) dan 37 persen UMKM lainnya memiliki kemampuan online yang sangat mendasar. Sementara, UMKM yang memiliki kemampuan digital kategori menengah dan lanjutan menurut survei tersebut hanya 27 persen UMKM.
Kelemahan UMKM dalam penguasaan teknologi digital berdampak pula pada persoalan lain yang juga telah terpetakan dari survei BI dan LPPI. Kemampuan UMKM dalam membaca kebutuhan pasar masih belum tajam, sehingga belum mampu menangkap dengan cermat kebutuhan yang diinginkan pasar.
Akses Keuangan Digital
Persoalan penguasaan teknologi digital juga mempersempit celah bagi sebagian besar UMKM untuk mengakses sumber daya keuangan secara digital. Sejauh ini, tidak sedikit UMKM yang masih terkendala permodalan, sedangkan mereka terkendala dalam mengakses sumber dana perbankan.
Survei Industri Mikro Kecil (IMK) tahun 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan 38,42 persen dari 4,46 juta usaha atau perusahaan industri mikro dan kecil (IMK) mengalami kesulitan permodalan.
Data Otoritas Jasa keuangan (OJK) menyebutkan kebutuhan kredit bagi UMKM tahun 2017 mencapai Rp 1.700 triliun per tahun di Indonesia. Saat ini, lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan itu sehingga kekurangan pendanaan bagi UMKM masih sebesar Rp 1.000 trilliun setiap tahun. Situasi ini tentunya tidak hanya merugikan industri usaha kecil tapi juga melemahkan ekonomi negara.
Umumnya pelaku UMKM, merujuk pada data Bank Indonesia, masih mengandalkan sektor perbankan untuk mendapatkan modal atau pembiayaan. Kendati demikian, layak juga dicatat bahwa baru sekitar 30 persen dari sekitar 62,3 juta usaha kecil dan menengah di Indonesia yang mampu mengakses pembiayaan dari perbankan. Tujuh dari sepuluh UMKM justru belum memiliki akses pembiayaan ke perbankan.
Jembatan Peluang
Jika dicermati, potensi ekspor dari produk-produk UMKM Indonesia sebenarnya tak bisa dipandang sebelah mata. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ada sekitar 815 ribu unit usaha kecil dan menengah di Indonesia per tahun 2017 yang memiliki potensi ekspor. Jika potensi itu dikembangkan, target kontribusi ekspor produk UKM sebesar 20 persen dari total ekspor produk nonmigas pada 2019 sangat mungkin tercapai.
Kalkulasi yang dilakukan Deloitte dan google Indonesia juga menunjukkan pemanfaatan teknologi digital diproyeksikan mampu meningkatkan pendapatan UMKM hingga 80 persen. Lapangan kerja di sektor UMKM pun dapat meningkat hingga satu setengah kali lipat. Sebuah unit usaha UMKM yang memanfaatkan teknologi digital juga mempunyai kemungkinan 17 kali lebih besar untuk menjadi lebih inovatif.
Lantas, apa yang diperlukan UMKM agar melakukan lompatan dan cara berdagang yang baru? Industri kecil tak bisa berdiri sendiri. Sektor ini memerlukan jembatan. Dukungan Kemitraan, modal dan pendampingan pemanfaatan teknologi menjadi kunci untuk menjawab tantangan tersebut.
Potensi pembiayaan untuk UMKM sebenarnya bisa digali dari sektor-sektor lain. Pembiayaan melalui sektor non-perbankan seperti koperasi, leasing, gadai, hingga pasar modal dan jenis-jenis pembiayaan non-kredit seperti hibah, dan asuransi hingga kini masih belum dimaksimalkan oleh pelaku UMKM.
Bahkan ke depan, tren pembiayaan akan mengarah ke financial technology (fintech), yaitu sebuah inovasi yang mengadaptasi teknologi internet di bidang finansial. Fintech memiliki tingkat penyebaran yang tinggi sehingga bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat terutama mereka yang tidak memiliki akses terhadap keuangan seperti UMKM. Selain kemudahan mengajukan pinjaman, masalah keamanan juga dijamin oleh pemerintah.
Adanya pinjaman online berbasis fintech Peer to Peer Lending atau P2P Lending yang saat ini menjamur di Indonesia bisa membantu pemilik UMKM untuk mengembangkan bisnisnya. Dengan begitu, secara otomatis juga akan meningkatkan tingkat perekonomian negara.
Dengan terbukanya jembatan permodalan itu, pemilik UMKM diharapkan mampu mengembangkan usahanya dengan mengikuti tren bisnis digital saat ini. Lewat program UMKM go digital yang dicanangkan Kominfo, peluang pasar baru bagi UMKM di Indonesia baik di ranah regional maupun global terbuka lebar. Peluang ini dapat memperluas basis konsumen mereka untuk meningkatkan penjualan.
Sejak dimulai pada 2015, setidaknya 4,6 juta UMKM sudah masuk ke platform perdagangan online pada 2017. Kebanyakan pelaku UMKM memanfaatkan platform market place utama di Tanah Air, seperti Blibli, Tokopedia, Lazada dan Bukalapak. Adapun target 8 juta UMKM dalam platform e-dagang diharapkan bisa tercapai pada 2020. Hingga akhir 2018, diharapkan 2 juta UMKM sudah masuk pasar digital.
Tak hanya pemerintah, sektor swasta juga mendorong UMKM agar semakin adaptif terhadap tren berbisnis saat ini. Facebook Indonesia mendorong UKM untuk memanfaatkan media sosial atau medsos sebagai sarana promosi pengembangan usaha. Google melalui program Gerakan Pelatihan Usaha Rakyat Digital mendorong para pelaku UMKM agar melek teknologi digital. Dengan menguasai teknologi digital, pelaku UMKM bisa mempromosikan dan mengembangkan usaha.
Tokopedia juga telah membantu lebih dari dua juta UMKM dan brand lokal yang menawarkan lebih dari 60 juta jenis produk dengan harga transparan yang bisa dinikmati dari Sabang hingga Merauke. Sebanyak lebih dari 4 juta UKM bergabung di Bukalapak, ditambah dengan jumlah pengguna yang mencapai 50 juta di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, cepatnya dunia digital, mau tidak mau mengharuskan para UMKM untuk bisa menguasai teknologi. Jika tidak, tentunya kesempatan untuk tumbuh menjadi besar sangat minim. Harapannya, para pelaku usaha lokal bisa meningkatkan produktivitas dan tingkat kesejahteraannya. (Antonius Purwanto/Litbang Kompas)