Menimbang Upah dan Kemampuan Industri
Provinsi Jawa Barat tampil terdepan dalam industri pengolahan nasional. Ironisnya, sejumlah industri justru memindahkan usaha dari Jabar karena masalah upah. Sejauh mana standar upah memengaruhi kemampuan perusahaan di provinsi ini?
Kuatnya industri pengolahan di Jawa Barat terindikasi dari kontribusi industri pengolahan provinsi ini terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional. Pada kurun 2014-2016, nilai PDB industri Indonesia rata-rata mencapai Rp 2.300 triliun per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata lebih dari seperempat PDB sektor industri Indonesia berasal dari Jabar.
Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan di Jabar terhadap perekonomian nasional itu ditopong oleh banyaknya perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Hingga 2016 tercatat ada 27.919 perusahaan yang tersebar di seluruh provinsi itu.
Namun, di Karawang, setidaknya ada 21 perusahaan yang sejak 2017 hingga kini menutup kegiatan dan memindahkan lokasi produksi ke luar daerah. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Bekasi pada awal 2016 di mana ada sekitar 20 perusahaan yang tutup kemudian juga memindahkan kegiatan di provinsi lain.
Penutupan sejumlah kegiatan produksi industri di Jabar akhirnya menimbulkan problem baru. Pemutusan hubungan kerja (PHK) para buruh menimbulkan angka pengangguran. Sebagai gambaran, di angka PHK massal akibat tutupnya perusahaan di Karawang sepanjang 2017 mencapai paling tidak 14.000 orang. Ribuan pekerja juga terdampak PHK massal di Kabupaten Bekasi.
Persoalan yang dikeluhkan pengusaha dalam kedua kasus ini adalah sama, yakni mahalnya biaya upah pekerja. Sejak 2016, upah minimum di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi tercatat masing-masing senilai Rp 3,3 juta dan Rp 3,26 juta. Besaran upah di kedua kabupaten tersebut terbilang tinggi, bahkan melebihi standar upah minimum DKI Jakarta di tahun yang sama, yakni Rp 3,1 juta.
Namun, tingkat upah tidak bisa serta-merta dijadikan justifikasi atas PHK massal. Hal lain yang lebih penting dicermati adalah kemampuan perusahaan. Secara makro, benarkah ketetapan standar upah pada tingkat kabupaten/kota berujung pada ketidakmampuan perusahaan di Jabar membayar upah?
Peta industri di Jawa Barat
Dari 27 kabupaten-kota di seluruh Jabar, hanya beberapa daerah yang menjadi sentra industrialisasi. Setidaknya ada 10 wilayah. Tujuh di antaranya adalah wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Bogor, Bandung, Cirebon, Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan Kabupaten Bandung Barat. Adapun tiga lainnya adalah wilayah administratif kota, yaitu Kota Bekasi, Depok, dan Kota Cimahi.
Sebanyak empat dari dari 10 daerah sentra industri tersebut berkontribusi besar dalam kemajuan perekonomian Jabar. Daerah itu adalah Kabupaten Bogor, Karawang, Bekasi, dan Kabupaten Bandung.
Sepanjang 2014-2016, keempat daerah ini rata-rata mampu menyumbang sekitar 43 persen dari seluruh produk domestik regional bruto (PDRB) Jabar senilai lebih kurang Rp 1.400 triliun. Kontribusi masing-masing daerah ini terhadap perekonomian Jabar mencapai 5-16 persen per tahun. Kabupaten Bekasi tercatat memberikan andil terbesar dalam perekonomian Jabar dengan proporsi hampir 16 persen disusul Kabupaten Karawang (11 persen), Kabupaten Bogor (10,9 persen), dan Kabupaten Bandung sebanyak 5,5 persen.
Sejalan dengan itu, keempat kabupaten pusat industri Jabar tersebut menyedot banyak tenaga kerja, baik dari daerah setempat maupun dari luar daerah. Empat wilayah sentra industri tersebut masing-masing menyediakan sekitar 24 persen kesempatan kerja dari seluruh sektor pekerjaan di daerah bersangkutan.
Jumlah pekerja industri terbanyak pada 2016 berada di Kabupaten Bekasi yang menyerap 517.000 orang. Selanjutnya disusul Kabupaten Bogor 503.000 orang, Bandung 485.000 orang dan Kabupaten Karawang 243.000 orang.
Dorongan kenaikan upah
Tingginya andil empat kabupaten tersebut menyebabkan pola pembangunan di empat daerah itu juga terpusat di bidang industri. Sebagai contoh, sekitar 70 persen persentase kegiatan ekonomi di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang bersumber dari sektor industri pengolahan.
Tingginya konsentrasi sektor industri pengolahan di keempat kabupaten tersebut kemudian turut mendorong kenaikan biaya upah. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Karawang.
Pada 2019 nanti, Karawang dan wilayah Bekasi merupakan daerah dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) hingga Rp 4,2 juta per bulan. Tingkat upah ini tercatat tertinggi di Jabar, bahkan di Indonesia.
Mahalnya biaya tenaga kerja di empat daerah itu menjadi pendorong daerah lain di sekitarnya juga meningkat biaya upahnya. Daerah sekitarnya seperti Kota Depok juga memberlakukan upah hampir setara.
Upah di daerah Bogor sedikit lebih kecil berkisar Rp 3,8 juta per orang. Sementara tingkat upah di kawasan Bandung Raya, mulai Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kota Bandung, bervariasi mulai dari Rp 2,8 juta hingga Rp 3,3 juta per orang.
Kemampuan perusahaan
Hal yang menarik dari fenomena kenaikan upah dan tutupnya sejumlah perusahaan di Jabar, khususnya di wilayah pusat-pusat industri, berkaitan dengan kemampuan perusahaan. Secara makro, hal ini dapat disimulasikan menggunakan ukuran proporsi upah minimum terhadap output sektor industri yang tecermin dari nilai PDRB di masing-masing kabupaten/kota. Dalam penghitungan ini, diasumsikan seluruh tenaga kerja yang terserap di sektor industri mendapatkan upah per bulan sesuai ketentuan minimum.
Hasil simulai rasio upah minimum terhadap PDRB sektor industri tahun 2016 pada 27 kabupaten/kota di Jabar menunjukkan, perusahaan Kabupaten Tasikmalaya dan Kuningan sangat merugi karena membayar upah pekerja sesuai ketentuan minimum. Proporsi upah minimum seluruh pekerja di masing-masing kabupaten ini terhadap total PDRB sektor Industri di Jabar mencapai lebih dari 100 persen. Dalam kondisi demikian, dapat dibayangkan bahwa biaya upah buruh di kedua kabupaten itu justru lebih mahal dibandingkan output yang dihasilkan di sektor industrinya.
Sejumlah daerah lain yang juga relatif berat mengikuti standar upah minimum karena proporsi upah minimumnya mencapai 70 persen dari output total sektor industri di Jabar. Daerah itu adalah Kabupaten Cianjur, Garut, Subang, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya. Sementara daerah-daerah yang berkontribusi tinggi terhadap industri pengolahan di Jabar seperti kabupaten Bogor, Karawang, Bekasi, dan Bandung, kontribusi faktor produksi upah terhadap pembentukan output sektor industri rata-rata hanya sekitar 15 persen. Secara lebih terinci, dapat dilihat pula bahwa proporsi upah minimum di sepuluh kabupaten penopang utama industri di Jabar sekitar seperlima dari seluruh output sektor industri.
Bila ditelisik lebih jauh, besaran persentase upah terhadap PDRB sektor industri itu bervariasi di masing-masing daerah. Tertinggi di Kota bekasi dengan besaran sekitar 43 persen per tahun. Ironisnya, Kabupaten Karawang yang mencatat angka PHK massal dalam jumlah besar justru mencatat proporsi upah terhadap PDRB yang relatif rendah. Persentase upah total pekerja di Karawang hanya 7,4 persen dari total output yang sektor industri di Jabar.
Dampak Standar Upah
Dari simulasi penghitungan proporsi upah minimum terhadap PDRB kabupaten/kota, sebenarnya kemampuan perusahaan, khususnya di sepuluh kabupaten penopang utama industri Jabar, relatif mampu memenuhi ketentuan upah.
Namun, tidak mudah juga bagi perusahaan untuk memenuhi standar tersebut karena dampaknya akan berjenjang pada upah pekerja di tingkat atas. Penting diingat bahwa standar upah minimum ditetapkan untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun.
Artinya, pekerja yang memiliki masa kerja di atasnya kemudian level pekerja struktural seharusnya menerima upah lebih tinggi dari standar minimum. Semakin besar proporsi pekerja lama dibandingkan pekerja di bawah 1 tahun, semakin besar beban biaya upah yang harus ditanggung perusahaan.
Sementara mulai tahun depan sistem pengupahan yang berlaku justru lebih melihat kinerja perekonomian secara nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak, penentu kenaikan upah minimum adalah penjumlahan dari tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional di tahun berjalan.
Melihat kondisi demikian, rasanya penentuan upah minimum, khususnya di Jawa Barat, masih akan menghadapi berbagai dinamika dan perjalanan panjang menuju standar yang bisa diterima pekerja dan pengusaha. (Budiawan Sidik/Litbang Kompas)