Pisau Bermata Dua Harbolnas
Salah satu transformasi terbesar di era revolusi industri 4.0 saat ini bisa dilihat dari terbentuknya sistem ekonomi digital yang menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam bertransaksi. Hari Belanja Online Nasional hadir merayakan buah dari transformasi ini.
Dalam rantai perubahan, konsumen terbukti mampu dengan cepat beradaptasi. Namun, seberapa cepat produsen di dalam negeri bisa beradaptasi dengan perubahan digital tersebut masih menjadi perhatian bersama. Jika tidak diantisipasi, Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) akan menjadi pisau bermata dua. Ia bisa menguntungkan konsumen, juga bisa merugikan produsen.
Kegiatan berbelanja dalam jaringan (daring) atau online merupakan bentuk turunan dari sistem ekonomi digital. Penetrasi internet dan perangkat komunikasi bergerak (mobile) telah membuka jalan untuk perkembangan sistem ekonomi digital tersebut. Dalam lima tahun terakhir, belanja daring menjelma menjadi gaya hidup baru.
Awal Desember tahun ini, embusan diskon besar-besaran menyambut Harbolnas sudah ditiupkan. Harbolnas 2018 diluncurkan di Jakarta dengan informasi diikuti produsen produk lokal dan lebih dari 300 perdagangan elektronik (e-commerce). Harbolnas kali ini mengusung tema ”Belanja untuk Bangsa” yang puncaknya berlangsung pada 11-12 Desember 2018.
Penyelenggaraan Harbolnas 2018 memasuki tahun ke-7 sejak dimulai tahun 2012. Kegiatan ini merupakan inisiatif dari Lazada Indonesia, Zalora, Blanja, PinkEmma, Berrybenka, dan Bukalapak. Dalam mewujudkan dan meraih pembeli yang besar, pedagang digital ini berkolaborasi dengan pelaku industri telekomunikasi sebagai penyedia jaringan internet, pihak perbankan sebagai media pembayaran, dan pelaku logistik untuk urusan pengiriman barang.
Jumlah perdagangan elektronik yang terlibat dalam Harbolnas dari tahun ke tahun meningkat. Pada penyelenggaraan keduanya tahun 2013, Harbolnas melibatkan 22 perdagangan elektronik. Pada tahun 2014 jumlah partisipasi bertambah menjadi 78 perdagangan elektronik. Tahun 2015 menjadi 140 perdagangan elektronik. Begitu pula pada 2016 dan 2017 meningkat masing-masing menjadi 200 perdagangan elektronik dan 254 perdagangan elektronik.
Antusiasme pedagang pun meningkat hingga tahun ini terdapat keikutsertaan lebih dari 300 perdagangan elektronik. Kegiatan ini berupaya mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk terjun ke pemasaran digital. Selain itu, belanja daring ini turut menggairahkan bisnis pengiriman barang sampai ke daerah-daerah.
Tawaran diskon besar-besaran (hingga hampir 100 persen), pengembalian dana (cashback), dan iming-iming ongkos kirim gratis merupakan magnet yang menarik konsumen untuk berbelanja. Didukung gencarnya promosi di berbagai plafon media, transaksi belanja daring menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Harbolnas 2016 membukukan total transaksi senilai Rp 3,3 triliun dan pada 2017 meningkat hingga mencapai Rp 4,7 triliun (naik 42 persen). Untuk tahun 2018, penyelenggara optimistis target sebesar Rp 7 triliun akan tercapai.
Skala transaksi
Desember menjadi bulan yang mencatat rekor nilai transaksi belanja tertinggi setiap tahun. Penyelenggaraan Harbolnas berkontribusi terhadap hal tersebut. Meski demikian, walaupun Harbolnas disambut antusias dan nilai transaksinya meningkat terus, porsinya dalam keseluruhan transaksi selama satu bulan (Desember) masih tergolong kecil. Jika melihat data transaksi belanja dari Bank Indonesia, peningkatan nilai transaksi pada bulan Desember dibandingkan bulan sebelumnya pun tidak begitu signifikan, baik yang menggunakan alat pembayaran kartu debit (ATM) maupun kartu kredit.
Sebagai gambaran, nilai transaksi Harbolnas 2017 yang sebesar Rp 4,7 triliun mengambil porsi 8,6 persen dari total belanja selama Desember yang besarnya Rp 54,6 triliun. Setahun sebelumnya, porsi nilai transaksi Harbolnas terhadap total belanja Desember 2016 lebih kecil lagi, yaitu 6,5 persen.
Nilai transaksi belanja yang menggunakan kartu debit atau kartu kredit pada Desember pun meningkat tidak begitu signifikan dibandingkan nilai transaksi bulan sebelumnya. Pada 2017, misalnya, nilai transaksi belanja Desember sebesar Rp 54,6 triliun, meningkat hanya 12,1 persen dibandingkan nilai transaksi belanja November yang besarnya Rp 48,7 triliun.
Peningkatan belanja pada 2017 ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni nilai transaksi belanja Desember 2016 meningkat sebesar 14,2 persen dibandingkan November 2016.
Nilai transaksi Harbolnas masih jauh di bawah kegiatan sama yang dilakukan di China pada 11 November lalu, yang dikenal dengan sebutan Single Day atau Hari Lajang di China. Single Day di China menjadi ajang penjualan daring terbesar di dunia.
Tahun lalu, perusahaan perdagangan elektronik terbesar di China, Alibaba Group, membukukan transaksi senilai 168 miliar yuan atau 24,15 miliar dollar AS (Kompas, 12/11/2018). Tahun ini angkanya naik menjadi 213,5 miliar yuan atau senilai 30,8 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 450 triliun. Perolehan Alibaba tahun ini naik sebesar 27 persen dibandingkan tahun 2017.
Tantangan belanja daring
Meski skala nilai transaksi belanja daring di Indonesia belum besar, masih di bawah 10 persen, aktivitas belanja daring bisa menjadi momentum untuk mendorong perekonomian bergerak lebih kencang dari sisi konsumsi dan produksi. Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan masih rendahnya skala belanja daring di sini.
Pertama, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat kondisi perekonomian yang melambat dan kondisi global yang dipenuhi ketidakpastian. Masyarakat masih menahan konsumsinya. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya dana simpanan di bank selama lima tahun terakhir. Pada periode 2013-2018, jumlah kepemilikan rekening di bank meningkat 82 persen, sedangkan nilai nominalnya meningkat 52,3 persen. Nilai nominal simpanan di perbankan pada 2018 kini mencapai Rp 5.645,9 triliun.
Kedua, antusiasme belanja daring masih belum merata dan terkonsentrasi di kota-kota besar terutama di Jawa yang sudah lebih baik penetrasi internet dan alat komunikasi bergeraknya, juga infrastruktur logistiknya. Belanja online lebih menjangkau kalangan kelas menengah dibandingkan kelas bawah.
Di masa depan, bisa diharapkan belanja daring akan membesar daya penetrasinya dan semakin mendorong perekonomian. Dari sisi konsumsi, meningkatnya daya beli akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, struktur perekonomian kita masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga (55-57 persen).
Dari sisi produksi, meningkatnya permintaan barang karena belanja online yang kian marak seharusnya bisa menggeliatkan industri manufaktur kita, bukan membuat impor barang menjadi meningkat. Barang harus dipenuhi dari produksi dalam negeri. Hal ini menjadi peluang untuk membangkitkan kembali industri domestik.
Jika barang impor meningkat, yang terjadi adalah pelemahan pertumbuhan ekonomi karena defisit transaksi berjalan akan melebar. Sektor riil akan tetap menjadi persoalan besar. Dampak ikutan lainnya, sepanjang transaksi berjalan terus mengalami defisit, nilai tukar rupiah pun bakal melemah. Efek dominonya akan panjang.
Disrupsi teknologi yang melahirkan sistem ekonomi digital dipercaya tidak akan mematikan pasar yang ada. Ia justru memperluas pasar karena model bisnis banyak yang berubah. Banyak peluang yang terbuka. Kondisi ini, termasuk kegiatan Harbolnas, kemudian menjadi seperti pisau bermata dua. Bisa menguntungkan dan sebaliknya bisa memperburuk kondisi industri domestik. (LITBANG KOMPAS)