Menjaga Masa Depan Bumi
Laksana ibu, Bumi memberikan kehidupan yang tulus bagi seluruh insan. Agar kehidupan terus lestari, Bumi pun harus dijaga setulus hati. Upaya melestarikan Bumi sudah digagas sejak lama. Untuk mengurangi efek perusakan lapisan ozon, pada 1987 telah disepakati Protokol Montreal yang ditandatangani 57 negara. Isinya ialah pengurangan bertahap penggunaan chlorofluorocarbon (CFC) sampai 2000.
Pada 2015, muncul Kesepakatan Paris yang mulai berlaku pada 4 November 2016. Kesepakatan tersebut mengajak negara yang meratifikasi harus bersedia untuk mengontrol emisi gas rumah kaca hingga 2030.
Poin utamanya, mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mengendalikan kenaikan suhu Bumi agar maksimal bertambah 1,5 derajat celsius pada 2100. Selain itu, transparansi sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi.
Namun, lebih dari 30 tahun berlalu, dampak kelestarian Bumi masih jauh dari harapan. Setidaknya ada tiga bukti kuat peristiwa alam yang menjadi buah dari pemanasan global.
Pertama adalah suhu rata-rata global tahun 2016 yang mencapai 0,94 derajat celsius dibandingkan rata-rata di abad ke-20. Yang kedua, gelombang panas ekstrem di Asia, yaitu di Pakistan dan India, yang menyebabkan kematian ratusan orang. Yang ketiga, memanasnya air di Laut Bering di dekat Alaska.
Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menerbitkan laporan khusus atas permintaan Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang diperuntukkan bagi pengambil kebijakan di seluruh dunia. Laporan tersebut bernama ”The Special Report on Global Warming of 1,50C”.
Laporan ini menunjukkan bahwa Bumi dan manusia akan jauh lebih diuntungkan jika kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius daripada 2 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris 2015. Penekanan emisi karbon secepatnya dapat menghentikan dampak buruk pemanasan global.
Jika tidak ada upaya menahan kenaikan suhu di bawah 2 derajat celsius, hal itu akan membawa beberapa akibat buruk bagi kehidupan. Bagian Bumi di Kutub Arktik akan kehilangan bagian es tiap 10 tahun. Selain itu, sebagian besar ekosistem karang akan hilang. Pemanasan global juga menyebabkan kenaikan muka air laut 0,1 meter lebih tinggi dibandingkan kondisi suhu naik 1,5 derajat celsius.
Bumi dan manusia akan jauh lebih diuntungkan jika kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius daripada 2 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris 2015.
Dampak lainnya, sebanyak 32 juta-80 juta orang akan kehilangan tempat tinggal di wilayah pesisir. Berikutnya, cuaca panas ekstrem akan dihadapi oleh 37 persen penduduk dunia. Cuaca panas juga menyebabkan hasil pertanian di Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika bagian tengah-selatan turun drastis.
Selanjutnya, kelangkaan air akan dihadapi setidaknya 411 juta jiwa di seluruh Bumi. Terakhir, keragaman biodiversitas hilang dalam skala besar, seperti 18 persen serangga, 16 persen tanaman, dan 8 persen vertebrata diprediksi musnah.
Bencana dan penyakit
Jika merunut beberapa fenomena alam yang terjadi sepanjang tahun 2018, beberapa kejadian merupakan efek dari perubahan iklim. Peristiwa di beberapa tempat di belahan Bumi menunjukkan kasus yang tak lazim.
Awal tahun 2018, kota Sydney di Australia dilanda suhu terpanas yang mencapai 47,3 derajat celsius dalam hampir 80 tahun terakhir. Sementara di belahan Bumi utara, Amerika dan Kanada mengalami suhu dingin ekstrem hingga minus 50 derajat celsius.
Berselang beberapa bulan, gelombang panas menyerang Amerika. Suhu tertinggi mencapai 48,9 derajat celsius. Pada waktu yang sama, suhu di Gurun Sahara mencapai 51,3 derajat celsius.
Berikutnya, badai salju menyerang Eropa pada Maret 2018 yang menewaskan setidaknya 48 orang. Salju tebal menyelimuti bagian utara hingga selatan wilayah Eropa. Hal berbeda terjadi di Asia Timur, yakni Jepang diserang gelombang panas hingga suhu tertinggi mencapai 41,1 derajat celsius pada Agustus 2018.
Dari sisi kesehatan, WHO mencatat, terjadi peningkatan penyakit di seluruh dunia, khususnya penyakit menular. Selain itu, ditemukan banyak alur penyebaran baru seiring dengan masifnya perubahan iklim global. Kondisi ini merupakan hasil kombinasi kerusakan dari ekosistem di Bumi.
WHO mencatat, terjadi peningkatan penyakit di seluruh dunia, khususnya penyakit menular.
Beberapa penyakit yang muncul adalah demam siput, malaria, kolera, penyakit robles, bahkan penyakit akibat protozoa Leishmaniasis. Perubahan lingkungan yang terjadi berupa eksploitasi sumber daya air, intensifikasi pertanian, urbanisasi, deforestasi dan pengubahan habitat, penghangatan laut, hingga curah hujan yang sangat fluktuatif.
Perubahan iklim dan pencemaran juga menyebabkan meluasnya zona laut mati (dead zones) di dunia, yaitu kondisi perairan sedikit/tanpa oksigen. Kajian yang dipublikasikan tim peneliti dari kelompok kerja PBB, Global Ocean Oxygen Network, menyebutkan, dalam 50 tahun terakhir, jumlah perairan terbuka yang tanpa oksigen telah berlipat empat kali. Sementara di kawasan pesisir, luas zona perairan minim oksigen berlipat 10 kali sejak tahun 1950-an (Kompas 10/1/2018).
Komitmen dunia
Upaya menjaga kelestarian Bumi berlanjut tahun ini melalui Konferensi Perubahan Iklim Ke-24 PBB di Katowice, Polandia, yang berakhir pada 15 Desember 2018. Pertemuan tersebut menghasilkan pedoman penerapan Kesepakatan Paris yang disebut Paket Katowice.
Paket ini dirancang untuk mendorong aksi ambisius menaklukkan perubahan iklim. Aksi iklim yang ambisius tersebut diprioritaskan pada lima hal, yaitu mitigasi, adaptasi, keuangan, kerja sama teknis peningkatan kapasitas, dan inovasi teknologi.
Paket setebal 144 halaman itu dibahas selama dua pekan konferensi oleh hampir 200 delegasi dari 197 negara dan lembaga internasional. Presiden Konferensi Para Pihak (COP) Ke-24 Michal Kurtyka menegaskan kerangka transparansi penanggulangan perubahan iklim antarnegara yang menjadi kunci dari Paket Katowice.
Pertemuan tingkat dunia sebelumnya yang membahas iklim dunia adalah Bangkok Climate Change Conference pada 4-9 September 2018 oleh UNFCCC. Selain itu, ada pula sumbangsih para ilmuwan iklim dan lingkungan Amerika Serikat yang menerbitkan The 4th National Climate Assessment (NCA4), laporan perubahan iklim AS pada November 2018.
Dengan tebal lebih dari 1.500 halaman, NCA4 diterbitkan oleh gabungan 13 departemen dan lembaga federal di AS sebagai pandangan komprehensif Pemerintah AS tentang dampak perubahan iklim.
Rentetan pertemuan dunia menjadi tanda berlanjutnya kepedulian pada masa depan Bumi. Jauh sebelum digelarnya Konferensi Katowice, pemimpin dunia pernah bertemu dalam forum KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Hasilnya, negara-negara industri maju sepakat mengurangi emisi C02 dengan mengadopsi UNFCCC.
UNFCCC mengadakan COP tahunan yang dimulai pada 1995 di Berlin. COP ketiga tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang memuat komitmen negara-negara menurunkan emisi gas rumah kaca hingga rata-rata 5,2 persen dari level emisi pada 1990.
Semua hasil riset dan fakta yang dapat dilihat dengan kasatmata mengonfirmasi eksistensi pemanasan global dan perubahan iklim beserta dampaknya. Dari berbagai forum dunia, komitmen sudah berkali-kali dicapai. Namun, utamanya, masa depan Bumi lebih banyak bergantung pada tindakan-tindakan nyata. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)