Program Kota Berkelanjutan Apa Kabar?
Sebagai negara berkembang, kota-kota di Indonesia terus bertumbuh pesat dengan diiringi berbagai persoalan. Mewujudkan kota berkelanjutan menjadi komitmen bersama dengan berpijak pada keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Penduduk perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, tahun 2010 proporsi penduduk daerah perkotaan sebesar 49,8 persen dan tahun ini sudah di angka 55 persen.
Diperkirakan angka ini akan terus meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035. Di Jawa, selain Provinsi DKI Jakarta yang sudah 100 persen penduduk kota, DIY dan Banten akan memiliki komposisi tiga perempat penduduk tinggal di perkotaan dalam dua tahun mendatang.
Salah satu pemicu pertumbuhan penduduk daerah urban tersebut adalah faktor migrasi penduduk dari desa ke kota. Berdasarkan data BPS, tahun 2015 rata-rata arus masuk migrasi risen (provinsi tempat tinggal lima tahun lalu berbeda dengan sekarang) setiap provinsi di Indonesia sebanyak 141.600 orang.
Dibandingkan pulau besar lain, migrasi masuk di Pulau Jawa cenderung lebih tinggi. Terbesar ada di Provinsi Jawa Barat hingga 750.900 orang, disusul Jawa Tengah 518.100 orang, dan DKI Jakarta 499.100 orang.
Sejatinya urbanisasi akan membawa efek pengganda pada kondisi perekonomian (multiplier effect). Namun, menurut hitungan Bank Dunia tahun 2012, setiap kenaikan 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya memengaruhi 4 persen pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita. Padahal, negara lain, seperti China, Vietnam, dan Thailand, pengaruhnya dapat mencapai 8-10 persen.
Namun, nyatanya tak mudah membagi rata pembangunan ke seluruh aspek kehidupan warga kota. Seiring meningkatnya jumlah kaum urban, persoalan kota di aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan justru bermunculan dan tidak kunjung terurai. Dampak positif dari aktivitas ekonomi perkotaan nyatanya belum terbagi merata ke seluruh masyarakat perkotaan.
Hal itu terindikasi dari ketimpangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin yang semakin lebar dalam lima tahun terakhir. Angka indeks gini perkotaan 2017 sebesar 0,4 lebih tinggi dibandingkan perdesaan, yaitu 0,3.
Salah satu yang memicu ketimpangan ekonomi adalah tingkat pengangguran yang terus meningkat. Data BPS tahun 2017 mencatat ada lebih dari 7 juta orang menganggur dari 128 juta angkatan kerja di Indonesia. Hingga Agustus lalu, catatan statistik memaparkan tingkat pengangguran terbuka di kota masih berada di angka 6,45 persen.
Berdasarkan data Bank Dunia, sejak 2001, penciptaan lapangan pekerjaan di perkotaan di Indonesia mencapai 45 persen, lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan yang hanya berkisar 6 persen. Meski demikian, seiring dengan membeludaknya pemburu kerja, proporsi serapan tenaga kerja di kota tetap lebih rendah daripada desa.
Kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu penyebabnya. Menengok pendidikan yang ditamatkan, mayoritas penganggur berasal dari latar belakang sekolah menengah kejuruan. Walau bekal keterampilan telah mereka kantongi, nyatanya lulusan SMK belum banyak terserap.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, proporsi lulusan pendidikan tinggi (diploma/sarjana) di angkatan kerja Indonesia selalu paling minim di mana tahun 2018 pun hanya 12,1 persen dari total lulusan.
Tahun 2014-2019 pemerintah telah mengembangkan setidaknya 15 kawasan industri baru di Aceh, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Pada tahun 2018, Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan 1,4 juta orang dapat mengikuti pelatihan kompetensi. Tujuannya untuk memperoleh sertifikasi dan mengasah keterampilan para pencari kerja agar berkualifikasi memadai di bidang pekerjaan.
Pemerintah juga berupaya mewujudkan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta Program Tenaga Kerja Mandiri. Harapannya program itu dapat menjadi dorongan untuk berusaha mandiri tanpa bergantung pasar tenaga kerja, membuat perekonomian masyarakat berdaya, dan menekan laju migrasi ke perkotaan.
Pendidikan dan kesehatan
Membangun SDM yang berkualitas dan sejahtera tidak dapat dilepaskan dari akses pendidikan dan kesehatan yang layak. Sayangnya ketersediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan di perkotaan belum semuanya bisa dinikmati warga perkotaan. Hal tersebut terlihat dari berbagai indikator pendidikan yang selama ini belum mencapai target nasional.
Belum semua warga perkotaan melek huruf. Tahun 2016 masih ada 2,84 persen warga urban yang belum menguasai baca tulis. Tidak hanya itu, di tahun yang sama rata-rata lama sekolah masih berkisar pada angka 9,56, yang artinya hanya menuntaskan pendidikan hingga tingkat SMP. Angka partisipasi kasar di setiap jenjang pendidikan juga belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah, bahkan menurun pada tingkat SD dan SMP.
Pemerintah menyediakan sejumlah program untuk mengatasi hal itu, termasuk Program Kejar Paket A, Kampung Literasi, Gerakan Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Marjinal, serta melanjutkan wajib belajar 12 Tahun. Selain itu, ada juga Program Indonesia Pintar dan revitalisasi sekolah serta penyelenggaraan ujian sekolah berstandar nasional (USBN).
Sementara dari sisi kesehatan, kawasan perkotaan masih bermasalah dengan anak balita gizi buruk. Secara nasional, persentase balita gizi buruk selama 2015-2016 meningkat. Selain itu, di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya, juga masih ditemukan kasus gizi buruk. Selain kondisi ekonomi, faktor pendidikan keluarga yang tidak memadai turut memengaruhi kesadaran dalam menjaga pola hidup sehat.
Hal itu diantisipasi Kementerian Kesehatan salah satunya melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga yang merupakan program lanjutan Program Indonesia Sehat. Diharapkan sejumlah masalah kesehatan perkotaan, seperti gizi buruk, bisa tertangani dengan petugas puskesmas mendatangi langsung setiap keluarga.
Isu lingkungan
Pembangunan infrastruktur kota yang masif, mulai dari jalan, gedung perkantoran, apartemen, dan segala bentuk modernisasi perwajahan kota, kerap kali juga berdampak mendatangkan masalah sosial dan isu lingkungan. Di antaranya munculnya permukiman kumuh, sanitasi permukiman, serta sampah yang dihasilkan oleh warga kota.
Tahun 2014, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat kawasan permukiman kumuh di Indonesia seluas 38.431 hektar. Dari angka tersebut, 60 persen berada di wilayah perkotaan. Melalui Kementerian PUPR, pemerintah mengatasinya dengan sejumlah upaya strategis penanganan permukiman kumuh. Salah satunya Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang disosialisasikan sejak 2016.
Setahun program ini berjalan, 2.162 hektar kawasan kumuh di sejumlah provinsi di Indonesia berhasil ditangani. Contohnya kawasan kumuh di Kelurahan Legok, Kota Jambi, Seberang Ulu II, Kota Palembang, dan Kemuning, Kota Banjarbaru.
Walau demikian, program yang turut mendukung ”Gerakan 100-0-100” tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah pada sanitasi kota. Tahun 2015, penduduk perkotaan Indonesia yang sudah dapat mengakses air minum layak sudah mencapai 96,6 persen dan Indonesia berada di peringkat ke-101 dari 181 negara. Namun, akses sanitasi layak yang telah dirasakan penduduk perkotaan baru 77,3 persen dan berada di posisi ke-116 dari 168 negara.
Selain itu, belum semua produksi sampah di perkotaan dapat diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. Tahun 2016, BPS mencatat, produksi sampah di 34 kota di Indonesia mencapai 64.059,6 ton per hari dan 28,8 persen di antaranya tidak dapat diangkut.
Upaya pengurangan sampah sudah dilakukan, salah satunya melalui Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah.
Program ini mengajak masyarakat perkotaan dan perdesaan memilah sampah organik dan anorganik untuk ditukarkan dengan uang di bank sampah terdekat. Hingga 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sudah ada 5.244 bank sampah yang tersebar di 34 provinsi dan 219 kabupaten/kota di Indonesia.
Seimbang
Keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sangat diperlukan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, khususnya di wilayah perkotaan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Tujuannya agar sumber daya alam yang tersedia dapat dirasakan kurang lebih sama besar dari generasi ke generasi. Ditengok dari ketiga aspek itu, pembangunan berkelanjutan di kota-kota Indonesia telah mulai berjalan terindikasi dari sejumlah program unggulan di setiap aspek.
Walau belum semuanya membuahkan hasil yang maksimal karena kesadaran masyarakat perkotaan juga menjadi kunci keberhasilan. (EREN MARSYUKRILLA/ALBERTUS KRISNA PRATAMA/M PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS)