Sepanjang 2018 Jokowi Masih Unggul
Sekalipun upaya Prabowo Subianto meningkatkan elektabilitas pasca penetapan pasangan calon presiden berbuah signifikan, namun besarnya peluang Presiden Joko Widodo memenangkan persaingan belum terkejar. Hasil survei sepanjang tahun ini menunjukkan, jarak perbedaan di antara kedua calon presiden tersebut masih terpaut dua digit. Masih adakah peluang bagi Prabowo memenangkan pertarungan?
Keunggulan Jokowi mengindikasikan, jika Pemilu diselenggarakan sepanjang tahun 2018, Jokowi mampu memperpanjang masa jabatan kepresidenannya. Kesimpulan kemenangan Jokowi terhadap pesaingnya, Prabowo tersebut diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan terhadap publikasi 17 hasil survei opini publik yang dilakukan oleh 11 lembaga survei sepanjang tahun 2018 ini.
Lembaga survei yang memublikasikan hasil survei elektabilitas calon presiden berasal dari beragam latar belakang. Di antaranya, terdapat lembaga-lembaga survei yang berspesialisasi dalam penyelenggaraan survei opini publik. Terdapat pula lembaga-lembaga survei yang berlatar belakang spesialisasi penyelenggaraan riset pasar, namun kali ini ikut terlibat dalam survei-survei politik.
Dari sisi metode, umumnya terdapat kesamaan sekalipun tampak pula beberapa variasi yang dilakukan oleh setiap institusi survei. Dari sisi jumlah sampel, misalnya, jumlah responden minimal dari setiap lembaga berkisar sebesar 1.200 responden. Terdapat beberapa lembaga yang menggunakan jumlah responden terbesar, hingga lebih 2.000 responden.
Begitu pula dari sisi metode pencuplikan sampel tergolong sama, berpijak dalam model penentuan responden secara probabilitas. Jumlah dan metode pencuplikan yang dilakukan semacam itu relatif sudah cukup sahih untuk menduga kondisi populasi, yaitu keseluruhan para pemilih di negeri ini.
Hasil dari keseluruhan lembaga survei menunjukkan bahwa posisi keterpilihan Jokowi di tahun ini masih lebih dominan dibandingkan pesaingnya, Prabowo. Sepanjang tahun 2018, jika dirata-ratakan, Jokowi mampu menguasai hingga 56,9 persen responden. Prabowo menguasai hingga 29,9 persen. Selebihnya, sebanyak 13,2 persen belum menyatakan pilihan atau tidak menyatakan pilihannya. Sejauh ini, tidak ada satupun lembaga survei yang menunjukkan hasil terbalik, menyatakan keunggulan Prabowo (Grafik 1).
Sumber: Hasil Analisis terhadap 17 Hasil Survei yang dilakukan oleh 11 Lembaga Survei.
Dengan hasil tersebut, dapat disimpulkan peluang Jokowi sebagai pemenang besar. Perbedaan sekitar 27 persen di antara kedua calon presiden tersebut menunjukkan jarak ketertinggalan yang sangat signifikan. Dengan data tersebut, Jokowi memenangkan pertarungan secara telak. Sekalipun seluruh responden yang terkategorikan belum menentukan pilihan atau enggan menjawab digabungkan dalam proporsi elektabilitas Prabowo, tetap saja Jokowi tidak terkejar. Benarkah?
Pencermatan terhadap seluruh hasil survei dengan hasil relatif sama dengan varian yang rendah dan selanjutnya mencari nilai rata-rata dari semua hasil survei tersebut memang mampu melahirkan kesimpulan yang handal. Hanya saja, model analisis tersebut memiliki keterbatasan dalam membaca dinamika politik yang turut mempengaruhi elektabilitas masing-masing calon. Padahal sepanjang tahun 2018 terjadi berbagai peristiwa politik yang dinamis yang berimplikasi pada peta persaingan di antara keduanya. Artinya, dimensi waktu menjadi penting di dalam membaca segenap hasil survei tersebut.
Dengan mencermati periodisasi penyelenggaraan hasil survei, tampak bagaimana elektabilitas Prabowo berjalan secara dinamik. Kondisi demikian terjadi terutama pasca penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan September 2018 lalu. Dengan membagi hasil-hasil survei di dalam dua periodisasi, sebelum penetapan pasangan calon presiden dan setelahnya maka terlihat dinamika rivalitas di antara kedua sosok tersebut.
Analisis terhadap hasil-hasil survei sebelum pasangan calon presiden ditetapkan menunjukkan keunggulan Jokowi yang sangat signifikan. Rata-rata elektabilitas Jokowi sebesar 59,2 persen. Sementara pesaingnya, Prabowo baru sebesar 27,5 persen. Sisanya, sebanyak 13,3 persen responden belum menyatakan pilihan.
Begitu besarnya proporsi elektabilitas Jokowi terkait dengan posisi kepresidenan yang ia sandang. Sejauh itu, di antara puluhan nama yang diidamkan responden sebagai presiden, tidak ada satu pun sosok yang mampu mendekati posisi elektabilitas Jokowi. Dengan posisi sebagai kepala pemerintahan, sentral perhatian publik tertuju kepadanya. Sementara sosok-sosok lain, tenggelam.
Prabowo menjadi sosok kedua terbesar yang menjadi pilihan responden. Jika diamati survei periode-periode sebelumnya, posisi Prabowo tetap paling tinggi di antara sosok yang diidamkan publik. Selepas persaingan Pemilu 2014 yang memenangkan Jokowi, dukungan terhadap Prabowo tidak surut. Loyalitas pendukungnya masih tergolong signifikan, mampu mengalahkan sosok-sosok politik lainnya.
Setahun jelang Pemilu 2019, elektabilitas Prabowo semakin kokoh. Hingga menjelang penetapan pasangan calon presiden, hasil survei tertinggi menunjukkan sebanyak 33 persen responden memilih Prabowo (Grafik 2).
Sumber: Hasil Analisis terhadap Hasil Survei yang dilakukan oleh 8 Lembaga Survei.
Sesaat setelah kedua sosok calon presiden menemukan pasangannya, Prabowo menjadi sosok yang paling banyak meningkatkan elektabilitas. Sebaliknya, Jokowi justru mengalami penurunan, sekalipun jika diperhitungkan dengan marjin error survei masih belum tampak signifikan.
Kondisi demikian dapat dicermati dari delapan hasil survei yang dilakukan oleh tujuh lembaga survei. Rata-rata, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berhasil meraih 32,6 persen responden dan pasangan Joko Widodo-Mar’uf Amin sebesar 54,2 persen. Mereka yang tidak menjawab tetap berkisar pada proporsi 13 persen (Grafik 3).
Sumber: Hasil Analisis terhadap 17 Hasil Survei yang dilakukan oleh 11 Lembaga Survei.
Apabila dielaborasi dari berbagai hasil survei, selepas penetapan pasangan calon presiden, proporsi elektabilitas Prabowo tertinggi mampu mencapai 37,7 persen. Proporsi demikian terjadi di bulan Oktober 2018 lalu. Survei-survei yang dilakukan selepas bulan Oktober juga menunjukkan posisi keterpilihan Prabowo di atas 35 persen, yang sekaligus mengindikasikan adanya peningkatan dari waktu ke waktu.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Jokowi. Pasca penetapan, penurunan terjadi. Jika dikaitkan dengan kondisi di luar penetapan calon presiden pun menunjukkan kondisi yang paralel, bahwa terdapat faktor-faktor yang turut menekan performa Jokowi.
Salah satu yang menonjol, faktor perekonomian. Terkoreksinya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang diperparah dengan defisit transaksi perdagangan ikut menekan kinerja pemerintahannya. Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas awal Oktober 2018, misalnya, mengungkapkan penurunan apresiasi publik terhadap kinerjanya, terutama pada persoalan perekonomian. Penurunan apresiasi kinerja pemerintahan berlangsung paralel dengan penurunan elektabilitasnya.
Pada bulan berikutnya, kondisi penurunan masih terasakan. Berdasarkan hasil survei di bulan November 2018, yang dilakukan Median, menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf menjadi 47,7 persen. Kondisi demikian mulai mengindikasikan suatu ancaman terbesar bagi pasangan ini lantaran elektabilitas mereka sudah berada pada posisi di bawah 50 persen.
Akan tetapi, di bulan Desember 2018, mulai terjadi perbaikan. Walaupun tidak tampak terlalu signifikan dengan hasil-hasil survei pada masa sebelumnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sebesar 53,2 persen (Grafik 4).
Sumber: Hasil Analisis terhadap Hasil Survei yang dilakukan oleh 7 Lembaga Survei.
Dari serentetan survei pasca penetapan pasangan calon presiden, menunjukkan jarak keterpautan antara Jokowi dengan Prabowo masih cukup signifikan, sekitar 20 persen. Dengan perbedaan jarak yang lebar tersebut masih menunjukkan dominasi Jokowi dalam menguasai persaingan. Hanya saja, catatan yang tidak dapat disingkirkan, dari hasil seluruh survei tersebut juga menunjukkan adanya tren peningkatan pada elektabilitas Prabowo, selepas penetapan pasangan calon presiden. Dengan kondisi demikian, menjadi pertanyaan apakah masih tersisa peluang bagi pasangan Prabowo-Sandi dalam mengejar ketertinggalan mereka?
Pencermatan terhadap tren yang ditunjukkan oleh hasil-hasil survei menyimpulkan masih terdapat ruang peningkatan elektabilitas bagi pasangan Prabowo-Sandi. Sebaliknya, jika kondisi yang sama berlangsung, dan tidak ada upaya signifikan dalam membalikkan kondisi, maka tren penurunan elektabilitas yang ditunjukkan oleh berbagai hasil survei menjadi semakin signifikan (Grafik 5).
Sumber: Hasil Analisis terhadap 17 Hasil Survei yang dilakukan oleh 11 Lembaga Survei.
Persoalannya kemudian, dalam kondisi yang normal dan tidak terjadi suatu upaya dan perubahan yang bersifat radikal, kapan kedua garis tren tersebut bertemu? Dengan perkataan lain, kapan pasangan Prabowo-Sandi mampu menyaingi, atau bahkan mengungguli Jokowi-Ma’ruf?
Hasil analisis menunjukkan, jika kondisi berjalan sebagaimana yang terjadi selama ini maka diperkirakan titik pertemuan di antara kedua pasangan terjadi pada kali ke-30 survei dilakukan. Atau, jika dikonversikan dengan waktu, maka potensial terjadi antara 6 hingga 12 bulan ke depan. Artinya, persaingan antara pasangan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf akan imbang paling lama terjadi pada paruh akhir tahun 2019 nanti. Paling cepat, terjadi pada paruh pertengahan 2019 nanti, periode dimana pengumpulan suara Pemilu Presiden 2019 telah usai.
Dengan kalkulasi matematik tersebut, di atas kertas kemenangan Jokowi-Ma’ruf tampak paling berpeluang. Bagi pasangan Prabowo-Sandi, jika tidak dilakukan berbagai upaya yang bersifat ekstra, masih terlampau sulit mengungguli Jokowi-Ma’ruf. Sekalipun berdasarkan garis tren, peluang tetap terbuka. Berdasarkan capaian kedua pasangan calon presiden tersebut, perlu ditelusuri lebih jauh mengapa tren peningkatan yang terjadi pada pasangan Prabowo-Sandi ataupun penurunan pada Jokowi-Ma’ruf tampak landai.
Apakah semua indikasi semacam itu menggiring pada capaian maksimal dari kedua pasangan? Jika demikian yang terjadi dalam persoalan-persoalan apa saja keterbatasan menjadi penghambat bagi kedua pasangan untuk memperbesar derajat elektabilitas mereka? (Bersambung) (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).