Jalan Panjang Perdamaian Suriah
Suriah masih mencekam. Milisi Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS menewaskan 64 anggota SDF, milisi Kurdi dukungan Amerika Serikat, pada 24 November 2018 dalam pertempuran di Deir Ezzor, Suriah timur, dekat perbatasan Irak.
Suhu konflik masih memanas di pengujung tahun. Pada 14 Desember 2018, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengancam untuk melancarkan serangan baru ke Suriah utara dan menuduh AS gagal menjaga keamanan di wilayah itu. Turki menganggap AS menunda negosiasi penyelesaian urusan Kurdi yang mengontrol kota Manbij di Suriah.
Unit komando Turki dikirim ke Suriah bagian timur laut, sementara di wilayah yang sama masih terdapat militer AS. Aksi tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas hadirnya milisi Kurdi di wilayah itu. Turki menuduh AS telah memperkuat persenjataan milisi Kurdi.
Operasi militer Turki di Suriah utara sudah dilakukan dua kali. Penyerangan pertama sekaligus keterlibatan Turki langsung dilakukan pada Agustus 2016 dalam Operasi Perisai Eufrat.
Dalam aksi militer itu, selain menargetkan wilayah Suriah utara, operasi tersebut juga dirancang demi mencegah milisi Kurdi dari satuan Unit Perlindungan Rakyat (YPG) dari pembangunan sebuah daerah otonom di sepanjang perbatasan Suriah utara dengan Turki.
Kemudian, penyerangan kedua dilakukan pada awal tahun ini. Pada 20 Januari 2018, Erdogan mengumumkan serangan militer Turki ke Afrin, Suriah, yang dikuasai milisi Kurdi dukungan AS dalam Operasi Ranting Zaitun.
Pada Oktober 2018, Turki menggempur wilayah-wilayah yang dikuasai Kurdi di Suriah utara. Turki selama ini menyebut kelompok teroris di Suriah utara adalah milisi Kurdi dari satuan YPG.
Perlawanan milisi Kurdi terhadap NIIS dan Turki bertambah berat setelah muncul keputusan mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump pada 19 Desember 2018. Trump mengumumkan menarik keseluruhan pasukan AS dari Suriah. Menurut Trump, keputusan itu dilakukan karena AS telah memenangi perang melawan kelompok NIIS.
Saat perang melawan NIIS berkecamuk beberapa tahun lalu, milisi Kurdi bentukan AS menjadi andalan menghadapi NIIS. Pasukan Kurdi kini menghadapi ancaman dari Turki setelah NIIS kalah.
Ankara menghendaki wilayah Suriah yang berbatasan dengan Turki dibersihkan dari milisi Kurdi. Rencana Ankara itu selama ini tak bisa diwujudkan karena menghindari bentrokan dengan tentara AS. Tidak heran, Turki menyambut gembira keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah.
Berseberangan dengan Turki, muncul kekhawatiran lain akibat penarikan pasukan AS. Kekuatan NIIS dapat pulih kembali jika tentara AS itu ditarik dari Suriah. Selain itu, penarikan mundur tentara AS hanya akan memperkuat kehadiran Rusia serta Iran di Suriah.
Sebenarnya, tidak seluruh cerita Suriah berada dalam narasi konflik. Adu kekuatan senjata di Suriah beberapa kali sempat meredup. Pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Sochi, Rusia, pada 17 September 2018 menghasilkan kesepakatan menuju perdamaian. Mereka memutuskan wilayah demiliterisasi baru atas Idlib, Suriah.
Kesepakatan ini merupakan hasil akhir dari pertemuan kedua belah pihak setelah pertemuan sebelumnya di Konferensi Tingkat Tinggi Teheran yang terjadi 10 hari sebelumnya gagal menghasilkan keputusan.
Zona demiliterisasi berada pada radius 15-20 kilometer antara kelompok pemberontak dan pasukan Pemerintah Suriah. Mulai 15 Oktober 2018, wilayah Idlib harus dikosongkan dari aksi militer.
Berlakunya wilayah demiliterisasi di Idlib juga diikuti dengan perintah kepada pasukan pemberontak yang menguasai wilayah itu untuk mundur pada pertengahan bulan depan. Senjata-senjata militer berat, seperti tank dan roket, milik seluruh kelompok tentara akan ditarik. Operasi militer kelompok pemerintah dan pejuang anti-Presiden Bashar al-Assad akan dilarang.
Upaya perundingan damai juga terjadi satu bulan kemudian. Pada 27 Oktober 2018, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel bertemu dalam Pertemuan Puncak Kuartet di Istanbul.
Dalam pertemuan ini juga disepakati solusi politik dalam bentuk komite penyusun draf konstitusi, pentingnya gencatan senjata, dan perlawanan terhadap kelompok radikal di Suriah. Namun, serangan-serangan masih menghardik Suriah meski telah ada kesepakatan gencatan senjata.
Namun, sekalipun upaya meredakan konflik Suriah telah dilakukan, belum ada tanda-tanda yang lebih baik menuju berakhirnya konflik yang telah berlangsung sejak 2011. Selain itu, titik damai di Suriah juga semakin sulit akibat dari munculnya persaingan forum perundingan yang digagas AS dan Rusia.
Selama ini isu Suriah diketahui sudah memiliki dua payung politik dalam upaya mencari solusi politik di negara itu. Dua payung politik itu adalah forum Geneva dengan sponsor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digerakkan sejak 2012 dan forum Astana mulai Januari 2017 dengan sponsor tiga negara, yaitu Rusia, Turki, dan Iran.
Selanjutnya untuk melengkapi forum Astana ini muncullah forum Sochi. Forum Astana muncul setelah Rusia, Turki, dan Iran mencapai kesepakatan untuk mendepak milisi oposisi bersenjata dari Aleppo timur pada Desember 2016.
Pertentangan kedua negara itu tampak dalam forum-forum itu. Rusia selalu berusaha menggagalkan forum di Geneva karena menghendaki forum ini hanya untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan. Sementara urusan politik dibawa dalam forum Astana atau forum Sochi. Rusia menganggap forum Geneva gagal dalam mencari solusi politik di Suriah (Kompas, 2/1/2018).
Karena itu, perundingan damai di Vienna, Austria, yang diselenggarakan PBB pada 25-26 Januari 2018 antara Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi gagal mencapai kesepakatan. Salah satu hal yang diharapkan muncul dalam pembicaraan itu adalah konstitusi baru di Suriah.
Namun, belum ada hasil positif dari pertemuan tersebut. Setelah mengambil alih kekuasaan dalam peperangan selama tujuh tahun, Assad yang didukung oleh Rusia menolak untuk bernegosiasi dengan lawannya. Solusi perdamaian dari negosiasi yang diinginkan kelompok pemberontak dan oposisi adalah mundurnya Assad demi perdamaian Suriah.
Gagasan menuntaskan kesepakatan perdamaian juga datang dari perwakilan PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura. Ia menawarkan sebuah solusi perdamaian melalui ”konstitusi inklusif”.
De Mistura sedang membentuk komite konstitusi yang didukung PBB dan juga telah dibahas dalam Pertemuan Puncak Kuartet yang mencakup 50 anggota yang dipilih oleh Damaskus, 50 anggota oleh oposisi, dan 50 anggota oleh PBB.
Komite konstitusional direncanakan akan disetujui pada konferensi di Rusia pada Januari 2019. Sebagai pusat dari upaya perdamaian PBB di Suriah, komite akan ditugasi untuk menegosiasikan konstitusi pascaperang baru yang akan membuka jalan menuju pemilihan yang bertujuan mengubah halaman pada tujuh tahun perang yang menghancurkan.
De Mistura membawa misi memenangkan perdamaian dengan rekonstruksi, rehabilitasi, dan kembalinya pengungsi. Namun, upaya perdamaian tersebut tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dengan kerja sama semua negara yang terlibat. (DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS)