Mengapa Jokowi Belum Terkejar?
Jika mengacu pada hasil analisis terhadap 17 hasil survei yang dilakukan 11 lembaga survei sepanjang tahun 2018 ini, jarak perbedaan hingga 20 persen mengindikasikan begitu beratnya beban yang dihadapi pasangan calon presiden Prabowo-Sandi guna memenangkan pertarungan politik. Ketertinggalan masih dapat terkejar jika mereka mampu menembus benteng dukungan Jokowi-Ma’ruf, yang tidak terkuasai selama ini.
Kesimpulan dari hasil analisis terhadap seluruh survei opini publik yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei sepanjang 2018 itu memang menyiratkan suatu kemenangan berjarak jauh bagi Jokowi-Ma’ruf.
Ketertinggalan masih dapat terkejar jika Prabowo mampu menembus benteng dukungan Jokowi-Ma’ruf
Sekalipun tren positif terjadi belakangan ini terhadap Prabowo-Sandi dan sebaliknya terjadi tren penurunan pada pasangan Jokowi-Ma’ruf, namun hasil analisis itu menunjukkan arus perubahan elektabilitas yang kurang signifikan untuk membalikkan kondisi kemenangan.
Dengan hasil survei sepanjang tahun 2018, jika tidak terjadi perubahan kondisi yang tergolong radikal dan kedua pasangan masih berkutat dengan pertarungan yang sama seperti yang terjadi saat ini, diprediksikan baru 6 hingga 12 bulan pasangan Prabowo-Sandi menyamai elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.
Pertarungan politik yang tersisa jelas mengindikasikan tidak cukup waktu bagi Prabowo-Sandi guna membalikkan kondisi. Apalagi, pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak akan berdiam diri dalam menjaga besaran elektabilitasnya itu.
Selisih di antara kedua pasangan memang terlalu besar. Bahkan, jika dibandingkan dengan hasil pertarungan Jokowi dengan Prabowo pada Pemilu Presiden 2014 lalu, hasil sepanjang 2018 ini menyimpulkan bahwa Jokowi sudah berhasil melampaui proporsi suara yang ia raih sebelumnya (Grafik 1).
Sumber: KPU, Hasil Analisis terhadap 17 Hasil Survei yang dilakukan oleh 11 Lembaga Survei/BES
Dengan hasil sepanjang tahun 2018 itu menjadi pertanyaan mengapa Jokowi sulit terkejar? Menantang petahana, jelas tidak ringan. Apalagi yang dihadapinya, sosok Presiden Joko Widodo, yang semenjak memerintah hingga kini kinerja pemerintahannya dinilai positif oleh bagian terbesar masyarakat.
Namun, gambaran hasil survei sepanjang 2018 itu juga bukan titik akhir pertarungan politik. Sekalipun selisih elektabilitas kedua pasangan terpaut senjang, sisa waktu tiga bulan yang tersedia masih tetap terbuka celah peluang bagi pasangan Prabowo-Sandi meningkatkan elektabilitas sekaligus memperbesar peluang kemenangan mereka.
Mengacu pada hasil survei, proporsi elektabilitas Prabowo-Sandi diperkirakan sebesar 32,6 persen. Atau, dengan memperhitungkan sampling error penelitian, dalam gambaran populasi pemilih secara nasional elektabilitas mereka tertinggi diprediksi sebesar 35,4 persen. Bercermin pada capaian Prabowo pada Pemilu 2014 lalu, masih terlampau rendah sekaligus juga menunjukkan masih belum maksimal capaian mereka dalam Pemilu 2019.
Bercermin pada capaian Prabowo pada Pemilu 2014 lalu, masih terlampau rendah.
Tatkala Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa pada Pemilu 2014 lalu, sebanyak 46,8 persen pemilih terkuasai. Artinya, bersandar pada hasil survei saat ini, masih sekitar 10 persen lagi para pemilih lama yang belum terkonsolidasikan Prabowo-Sandi.
Demikian pula jika dielaborasi berdasarkan wilayah. Pada Pemilu 2014 lalu, Prabowo mampu menguasai pemilih di Pulau Jawa hingga sebanyak 48,1 persen, terpaut tipis dengan capaian Jokowi (51,9 persen). Namun berdasarkan hasil survei 2018, ketertinggalan Prabowo menjadi semakin besar. Tidak kurang hanya, 30 persen elektabilitas Prabowo di Jawa. Sementara, Jokowi sudah menguasai hingga 57,1 persen.
Di dalam Pulau Jawa, Jokowi masih terlalu dominan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbandingan antara hasil Pemilu 2014 lalu dan hasil survei 2018 menunjukkan saat ini elektabilitas Jokowi justru semakin menguat pada kedua provinsi tersebut. Sekalipun saat ini penguasaan Prabowo tampak di DKI, Jabar, dan Banten, namun masih tidak cukup kuat untuk menguasai Jawa (Grafik 2).
Sumber: KPU, Survei Litbang Kompas/RFC/BES
Demikian juga di luar Jawa, wilayah yang pada Pemilu 2014 lalu memberikan kontribusi besar bagi Jokowi. Saat itu, 54,9 persen pemilih memberikan suara mereka pada Jokowi-Kalla. Pasangan Prabowo-Hatta meraih 45,1 persen. Saat ini, berdasarkan hasil survei, Jokowi sudah menguasai hingga 46,9 persen dan Prabowo masih 35,4 persen.
Semua deskripsi di atas menunjukkan dibandingkan dengan capaian Prabowo-Hatta di tahun 2014 lalu, kali ini masih belum terkonsolidasikan sepenuhnya potensi penguasaan suara Prabowo. Mengejar hingga keselurahan pemilih lamanya terkuasai pun tampaknya belum cukup mampu memenangkan pertarungan dalam Pemilu 2019 mendatang. Pertanyaannya, dimana potensi ruang penguasaan baru yang harus dilakukan Prabowo-Sandi?
Kalkulasi berdasarkan hasil survei, peluang menutup besaran proporsi ketertinggalan Prabowo-Sandi dapat dipenuhi dari para calon pemilih yang belum menentukan preferensi pilihannya. Saat ini, survei mengindikasikan tercatat sebesar 13,2 persen responden pemilih yang belum bersikap dan yang enggan memberikan jawaban. Apabila Prabowo-Sandi mampu menguasai semua pemilih kategori demikian, selisih ketertinggalan mengecil.
Hanya saja, menguasai seluruh pemilih yang belum bersikap bukan perkara ringan. Cenderung mustahil, sepanjang kondisi politik ataupun peta persaingan di antara kedua pasangan berlangsung normal. Atau setidaknya, bercermin pada kondisi sepanjang tahun 2018. Saat ini, dari total pemilih yang belum bersikap, berdasarkan kalkulasi diprediksi sekitar 24,3 persen bahkan punya kecenderungan akan memilih Jokowi-Ma’ruf. Dalam jumlah yang lebih kecil, 13,6 persen cenderung memilih Prabowo-Sandi.
Artinya, jika menggunakan strategi penguasaan pemilih yang belum menyatakan preferensinya, potensi terbesar yang dapat dikuasai Prabowo-Sandi di beberapa wilayah juga belum cukup kuat menyaingi Jokowi.
Jika langkah demikian belum cukup juga memperkecil ketertinggalan, konsekuensinya Prabowo-Sandi harus mampu membalikkan pilihan para pemilih yang sudah tertambat pada Jokowi-Ma’ruf.
Bagaimana langkah demikian dapat terjadi? Strategi membalikkan pilihan para pemilih jelas punya kerumitan tersendiri. Pasalnya, kondisi loyalitas pemilih dari masing-masing pasangan calon presiden kini menguat. Hasil survei menunjukkan sudah mencapai dua pertiga bagian pemilih. Dari total pendukung Jokowi-Mar’uf masih terdapat sepertiga bagian yang dapat beralih dukungan.
Proporsi tersebut cukup mampu menggoyahkan posisi keunggulan Jokowi-Ma’ruf, sekaligus melebarkan peluang bagi Prabowo-Sandi. Tinggal persoalan selanjutnya, bagaimana Prabowo-Sandi menyiasati peluang demikian?
Sejauh ini, empat tahun beroposisi belum cukup kuat bagi Prabowo menandingi segenap kapital dan kinerja politik yang ditoreh Presiden Jokowi. Bagaimana pun, petahana lebih banyak terposisikan sebagai determinan politik dan ekonomi. Hanya saja, sekalipun sebagai pendeterminasi, petahana pun harus dihadapkan pada realitas pengelolaan kekuasaan yang bersinggungan dengan seluruh lini persoalan negeri, termasuk tekanan-tekanan lini eksternal global yang semakin pelik.
Empat tahun beroposisi belum cukup kuat bagi Prabowo menandingi segenap kapital dan kinerja politik yang ditoreh Presiden Jokowi.
Implikasinya, di tengah berbagai kondisi ketidakpastian ekonomi global belakangan ini yang mulai mengancam kehidupan ekonomi masyarakat, ruang gerak petahana dalam mendeterminasi kondisi cenderung menyempit.
Pada sisi sebaliknya, kondisi demikian justru memberikan alternatif peluang bagi perluasan ruang gerak Prabowo-Sandi. Peningkatan dukungan potensial terwujud jika basis dukungan Prabowo-Sandi semakin meluas. Dikatakan demikian, karena berdasarkan hasil survei, dibandingkan dengan karakteristik pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf, pola dukungan politik Prabowo-Sandi cenderung lebih tersegmen. Hingga saat ini, karakteristik pendukung Prabowo-Sandi belum proporsional tersebar layaknya gambaran sosio-ekonomi, psiko-sosial politik, maupun konfigurasi geo-politik masyarakat di negeri ini.
Perbedaan paling signifikan terjadi pada karakteristik sosial pemilih. Pendukung Prabowo-Sandi cenderung terkategorikan elitis, bertumpu pada kalangan menengah ke atas. Sebaliknya, pendukung Jokowi-Ma’ruf bertumpu pada kalangan menengah ke bawah.
Dari sisi pendidikan, sekalipun sebagian besar dari kedua pasangan didukung oleh para pemilih yang berpendidikan rendah, namun proporsi pendidikan rendah Jokowi-Ma’ruf lebih besar. Sebaliknya, proporsi jenjang pendidikan menengah dan tinggi pendukung Prabowo-Sandi lebih besar.
Begitu pula dalam karakteristik ekonomi. Pendukung Prabowo-Sandi bertumpu pada kalangan menengah yang relatif lebih tinggi proporsinya dibandingkan proporsi pendukung Jokowi-Ma’ruf (Grafik 3).
Sumber: Litbang Kompas/RFC/BES
Memiliki barisan pendukung lapisan menengah ke atas di satu sisi menjadi keuntungan politik tersendiri. Dari sisi penguasaan arus informasi politik, misalnya, kalangan demikian cenderung lebih dinamis dalam mengefektifkan penyebaran dan penyerapan informasi politik. Dalam berbagai kajian politik, kalangan demikian lebih banyak ditempatkan sebagai garda terdepan perubahan sosial dan politik. Hasil survei kali ini juga menunjukkan lapisan pendukung Prabowo dengan karakteristik semacam ini relatif lebih militan dibandingkan pendukung Jokowi.
Hanya, yang menjadi persoalan, dari sisi jumlah kelompok semacam ini masih relatif lebih kecil dibandingkan lapisan menengah ke bawah. Artinya, jika hanya bertumpu pada basis dukungan kalangan menengah ke atas, tidak cukup besar peluang Prabowo-Sandi memenangkan pertarungan politik.
Sejauh ini, dengan memanfaatkan isu-isu ekonomi, seperti eksploitasi kenaikan harga-harga bahan pokok, semakin merosotnya rupiah, menjadi strategi jitu bagi peningkatan dukungan kalangan menengah-bawah. Akan tetapi, realitas kenaikan harga barang kebutuhan pokok bersifat sporadis dan kurang signifikan dirasakan.
Apalagi, Presiden Joko Widodo semakin lekat dalam menjaga kalangan yang menjadi basis pendukungnya. Belakangan ini dengan menangguhkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, potensial menjaga stabilitas harga barang kebutuhan. Begitu pula pembalikan kondisi ekonomi sejalan dengan penguatan kembali rupiah memberikan kepercayaan semakin besar pada kinerja pemerintahan.
Sisi lain yang juga menjadi keterbatasan, kecenderungan dukungan Prabowo-Sandi yang tersegmentasi juga tampak pada sisi psiko-sosial masyarakat. Bertumpunya individu-individu politik yang cenderung bersifat konservatif dalam politik maupun sosial (agama) lebih dominan pada Prabowo-Sandi. Sementara pendukung Jokowi-Ma’ruf relatif tersebar, lebih banyak mengakomodasikan kalangan yang cenderung moderat tanpa menegasikan yang cenderung konservatif.
Pendukung yang cenderung konservatif semacam ini menjadi signifikan jika diamati pada wilayah sebaran mukim pendukung Prabowo-Sandi. Meskipun di sejumlah daerah terdapat peralihan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf, Prabowo-Sandi masih mampu bertahan di beberapa wilayah yang menjadi basis keunggulan pada Pemilu 2014 lalu.
Jawa Barat, wilayah terbanyak jumlah pemilihnya, masih relatif dikuasai. Bahkan, pada wilayah pusat kekuasaan negara, seperti DKI, kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan DKI, dukungan Prabowo-Sandi masih signifikan. Besaran dukungan pada semua wilayah tersebut berelasi dengan karakteristik psiko-sosial pendukung yang kini cenderung konservatif secara sosial keagamaan.
Dalam kondisi demikian, tersegmennya dukungan Prabowo-Sandi memang terbukti potensial juga menguatkan loyalitas para pendukung. Akan tetapi, dalam konteks memenangkan pertarungan politik, barisan pendukungnya yang loyal tidak cukup mampu mengejar ketertinggalan. Dibutuhkan perluasan dukungan, yang dapat diraih dari para calon pemilih yang berada di seberang segmen politik pendukungnya saat ini. Sepanjang kondisi tersebut tidak terpenuhi, Jokowi semakin sulit terkejar. (Bersambung) (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).