Catatan Akhir Tahun: Gejolak-gejolak di Eropa
Ketidakpastian di wilayah Eropa bukan hanya monopoli perundingan Brexit yang berlarut-larut. Di Inggris, Perdana Menteri Theresa May menghadapi alotnya perundingan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit. Di Jerman, Angela Merkel sibuk mencari titik temu membangun koalisi pemerintahan.
Bedanya, Jerman mengalami ketidakpastian menentukan posisi kanselir dalam empat bulan pascapemilu, sedangkan Inggris masih belum menemukan titik temu dengan Uni Eropa lebih dari dua tahun.
Pengangkatan kembali Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman didahului ketidakpastian yang berlangsung setelah pemilihan umum. Hasil pemilu 2017 lalu membuat tidak ada partai mayoritas yang bisa membentuk pemerintahan Jerman.
Perundingan pembentukan koalisi Uni Demokratik Kristen/Uni Sosial Kristen (CDU/CSU) yang dipimpin Angela Merkel dan Partai Sosial Demokrat (SPD) mengalami banyak rintangan.
Kesepakatan akhirnya terjadi pada Februari 2018 setelah mitra koalisi Partai Sosial Demokrat (SPD) meraih ”kemenangan politik”. Merkel harus melepas sejumlah posisi kunci di kabinet.
Parlemen Jerman akhirnya mengukuhkan Merkel menjadi kanselir untuk keempat kali melalui voting dengan hasil 364 suara setuju, 315 suara menolak, dan 9 suara abstain.
Selain Merkel, kisah petahana kembali memenangi jabatannya juga terjadi di Rusia. Vladimir Putin kembali memimpin Rusia setelah meraih kemenangan telak dengan meraup 76,66 persen suara pemilih. Putin yang menyingkirkan enam penantangnya akan memerintah Rusia hingga 2024.
Selain Merkel dan Putin, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban juga kembali terpilih untuk masa jabatan yang ketiga. Partai Orban, Fidesz, memenangi hampir 49 persen suara.
Hongaria di bawah kepemimpinan Orban merupakan salah satu kubu yang paling keras menentang kebijakan Uni Eropa untuk menampung imigran yang datang ke Eropa. Terpilihnya Orban akan semakin memperkuat kebijakan-kebijakan kanan di dalam negeri dan memperkuat kepercayaan diri Hongaria untuk melawan kebijakan Uni Eropa, khususnya terkait isu imigran (Kompas 10/4/2018).
Pemilihan umum
Popularitas partai kanan juga terjadi di Swedia. Hasil pemilu pada September 2018 menunjukkan partai berkuasa Sosial Demokrat mempertahankan dominasinya dengan memperoleh 28,4 persen suara, disusul partai tengah Moderat dengan 19,8 persen, dan partai ekstrem kanan Demokrat Swedia dengan 17,6 persen.
Secara umum, hasil pemilu tidak akan banyak mengubah peta politik Parlemen Swedia karena posisi ketiga partai ini sama dengan pada pemilu 2014. Namun, hasil pemilihan mencatat tren kenaikan suara partai kanan.
Partai Demokrat Swedia yang anti-imigran dan anti-Uni Eropa terus meningkat perolehan suaranya secara konsisten. Pada pemilu 2010 partai ini meraih 5 persen, kemudian merambat naik menjadi 12 persen pada 2014, dan tahun ini menjadi 17 persen. Peningkatan suara partai kanan Swedia ini menunjukkan popularitasnya yang semakin kuat.
Negara di Eropa yang juga menggelar pemilu tahun ini adalah Italia. Partai oposisi, Gerakan 5 Bintang, menjadi partai pemenang pemilu dengan total suara 32 persen. Perolehan suaranya hanya berselisih tipis dengan kubu Silvio Berlusconi yang terdiri atas gabungan tiga partai, yaitu Forza Italia (14 persen), partai Liga (18 persen), dan Persaudaraan Italia (4 persen), dengan total suara 36 persen.
Baik partai Gerakan 5 Bintang maupun koalisi Berlusconi memiliki kesamaan isu, yaitu antimigran, kebijakan yang berseberangan dengan pemerintah. Naiknya suara di kubu oposisi membuat parpol penguasa Partai Demokratik hanya meraih 19 persen.
Kebijakan permisif terhadap imigran menjadi isu yang konsisten dikritik pihak oposisi. Strategi ini cukup signifikan meraup dukungan pemilih dan membuat menurunnya suara partai yang berkuasa. Setidaknya, lebih dari 600.000 migran ilegal masuk ke Italia sejak 2015. Selain isu migran, kekalahan partai berkuasa juga dipicu kondisi ekonomi Italia yang terus-menerus stagnan dengan angka pengangguran mengkhawatirkan.
Laman Uni Eropa mencatat, tingkat pengangguran di Italia pada Juni 2018 mencapai 10,4 persen. Angka pengangguran ini termasuk tinggi mengingat rata-rata pengangguran di Uni Eropa hanya 8,2 persen. Selain Italia, kondisi serupa juga dihadapi Perancis.
Unjuk rasa Perancis
Perancis menghadapi stagnasi ekonomi dan pengangguran. Perancis termasuk negara yang memiliki tingkat pengangguran cukup tinggi, yaitu 9,2 persen. Sementara stagnasi ekonomi ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat, rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di Perancis dalam tiga tahun terakhir di bawah 2 persen. Tahun 2017, perekonomian Perancis tumbuh 2,3 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 persen. IMF dan Uni Eropa mendorong Perancis berupaya lebih keras agar keluar dari stagnasi ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja.
Namun, upaya Pemerintah Perancis memperbaiki ekonomi mendapat tantangan stabilitas keamanan. Perancis dilanda unjuk rasa besar dan pemogokan pada 24 November 2018.
Tidak kurang dari 300.000 orang yang tersebar di seluruh penjuru Perancis melakukan demonstrasi menolak kenaikan pajak bahan bakar minyak (BBM) yang diterapkan Presiden Emmanuel Macron. Setidaknya, dua orang meninggal dan 750 orang terluka akibat bentrokan antara massa pengunjuk rasa dan aparat keamanan.
Unjuk rasa besar kembali terjadi pada 1 Desember 2018. Demonstrasi menggunakan atribut rompi kuning tersebut dipicu oleh rencana kenaikan pajak BBM. Kenaikan ini menjadi pukulan bagi warga Perancis di tengah harga-harga yang semakin melonjak. Kenaikan harga BBM di Perancis dipicu efek penerapan pajak karbon (carbon tax).
Diluncurkan pada 2014, kebijakan ini secara bertahap menetapkan pajak sebesar 39 euro hingga 100 euro pada 2030 untuk produk BBM. Semenjak diberlakukan, pajak ini menambah harga BBM sekitar 2,9 sen euro per liter.
Faktor lain, penerapan pajak diesel dan bensin yang diberlakukan sejak awal 2018. Ketentuan ini diberlakukan sebagai bagian dari komitmen Pemerintah Perancis dalam mengurangi polusi lingkungan. Untuk diesel, pajak yang dikenakan sebesar 7,6 sen euro per liter. Sementara untuk bensin, pajak yang dikenakan sebesar 3,9 sen euro per liter. Unjuk rasa yang diikuti pemogokan menjadi dilema yang dihadapi Pemerintah Perancis untuk memperbaiki kondisi ekonominya.
Mata-mata Rusia
Selain isu gejolak ekonomi dan politik, kisah spionase juga turut mengguncang keamanan di Eropa. Aksi mata-mata Rusia menjadi topik bahasan hangat di Inggris pada September 2018. Inggris menuduh Rusia terlibat dalam serangan racun saraf Novichok terhadap mantan agennya, Sergey Skripal, di Inggris pada Maret 2018.
Di depan Parlemen Inggris pada 5 September 2018, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengungkapkan hasil penyelidikan selama enam bulan terhadap kasus racun saraf Novichok.
Otoritas keamanan Inggris selama enam bulan terakhir berhasil menemukan cukup bukti untuk menetapkan dua warga negara Rusia sebagai tersangka serangan tersebut. Dua orang itu diidentifikasi sebagai Alexander Petrov dan Ruslan Boshirov.
Kasus tersebut membuat ketegangan diplomatik di antara kedua negara. Inggris mengusir 23 diplomat Rusia. Keputusan tersebut dibalas Rusia yang juga mengusir diplomat Inggris. Moskwa bahkan menutup semua aktivitas British Council dan Konsulat Jenderal Inggris di St Petersburg.
Rusia terus membantah tuduhan Inggris yang mengatakan Kremlin berada di belakang serangan racun terhadap mantan agen Rusia, Sergei Skripal, dan putrinya yang bernama Yulia di daerah Salisbury, Inggris.
Skripal ditemukan tak sadarkan diri di bangku di luar sebuah pusat perbelanjaan di Salisbury. Aparat yang melakukan penyelidikan menduga Skripal diduga kuat diracun.
Zat beracun yang ditemukan adalah Novichok, senyawa kimia sangat beracun yang dikembangkan di era Soviet. Skripal adalah mantan intelijen militer Rusia berpangkat kolonel. Ia pernah dipenjara di Rusia karena pengkhianatan (Kompas 18/3/2018).
Ketegangan di Ukraina
Selain di Inggris, nama Rusia juga muncul dalam konflik dengan Ukraina. Ketegangan kedua negara ini memuncak saat Rusia menahan tiga kapal Ukraina yang sedang berlayar memasuki Laut Azov dari arah Selat Kerch pada 25 November 2018. Selat tersebut menghubungkan Laut Azov dengan Laut Hitam.
Saat kejadian, Rusia memblokade lalu lintas perairan dengan menempatkan kapal barang besar di sepanjang jalur kapal di Selat Kerch serta mengerahkan sejumlah pesawat dan helikopter tempur.
Pihak Rusia mengklaim, kapal Ukraina telah memasuki perairan teritorial Rusia secara ilegal. Di luar itu, setiap kapal yang akan melintas harus meminta persetujuan. Oleh karena itu, Ukraina memberlakukan darurat militer.
Kejadian tersebut tidak dapat dilepaskan dari insiden sebelumnya saat Ukraina menahan kapal penangkap ikan Rusia pada Maret 2018. Setelah kejadian tersebut, Rusia memeriksa semua kapal yang berlayar ke atau dari pelabuhan Ukraina di Laut Azov. Ukraina menuduh Rusia berusaha menduduki Laut Azov dan merusak sektor ekonomi dengan menghambat akses pelabuhannya.
Konflik kedua negara tidak dapat dilepaskan dari masalah sengketa kepemilikan Semenanjung Crimea pada 2014. Perseteruan saat itu tidak dapat dilepaskan dari gejolak politik yang terjadi di Ukraina.
Aksi unjuk rasa akbar bergulir menentang kebijakan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Presiden Yanukovych kemudian digulingkan parlemen. Pihak Rusia kemudian memanfaatkan kemelut politik untuk menganeksasi Crimea.
Crimea kemudian menyatakan kemerdekaan dan pada 2015 Rusia secara sepihak menyatakan Crimea sebagai bagian dari wilayahnya. Klaim Moskwa atas Crimea diperkuat saat Rusia membangun jembatan di Selat Kerch.
Ukraina merupakan wilayah penting bagi Barat dan Rusia. Pelabuhan Sevastopol yang terletak di Laut Hitam menjadi pangkalan bagi armada selatan Angkatan Laut Rusia. Ukraina juga merupakan daerah penyangga antara Rusia dan wilayah timur yang sebagian besar kini sudah menjadi anggota NATO.
Dari sisi ekonomi, pipa-pipa gas dan minyak Rusia yang dialirkan ke Uni Eropa juga melewati Ukraina. Ketergantungan Uni Eropa atas pasokan gas dari Rusia mencapai seperlima dari total kebutuhannya. (LITBANG KOMPAS)