Membandingkan Peluang Jabatan Kedua Presiden Jokowi dan Yudhoyono
Bercermin pada capaian data politik hingga enam bulan jelang Pemilu Presiden, peluang keterpilihan Presiden Joko Widodo untuk paruh kedua jabatannya relatif lebih terbuka dibandingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akan tetapi, dinamika politik yang dihadapi kali ini berbeda. Tekanan politik saat ini lebih agresif dan potensial memengaruhi derajat keterpilihan.
Presiden Jokowi tengah dihadapkan pada pertarungan politik kali kedua dengan rival yang sama, Prabowo Subianto. Sebagai petahana, dengan akumulasi kapital politik yang dikuasai selama ini, ia punya beragam keuntungan untuk melanggengkan kekuasaannya. Salah satu yang menonjol, selama empat tahun menjalankan pemerintahan setiap pasang mata tertuju pada sepak terjangnya. Ia menjadi pusat perhatian warga masyarakat, dan pada saat yang sama ia juga membangun pengaruh politik yang lebih luas.
Apabila kinerja pemerintahan yang ia torehkan berhasil memikat masyarakat, peluang keterpilihan kembali sebagai pemimpin idealnya menjadi semakin besar. Itulah mengapa, tidak tampak sulit bagi para petahana di tiap-tiap kontestasi politik di negeri ini dalam mengakumulasikan surplus dukungan sepanjang kinerja positif ia torehkan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di saat memerintah sudah membuktikannya. Ia mampu melanggengkan kekuasaannya hingga periode kedua, dengan catatan kinerja pemerintahan yang positif dalam pandangan sebagian besar masyarakat. Berdasarkan hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, misalnya, menutup periode pertama kekuasaannya (Juni 2009), sebanyak 79 persen responden menyatakan “rasa puas” terhadap kinerja pemerintahan Yudhoyono.
Sepanjang memerintah, capaian Yudhoyono tidak selalu positif di mata publik. Ada kalanya mengalami penurunan apresiasi, terutama di saat sebagian besar masyarakat menyatakan rasa ketidakpuasan terhadap kinerjanya. Semenjak ia menjalankan pemerintahan di tahun 2004 hingga mengakhiri periode pertama di tahun 2009, apresiasi terhadap kinerjanya terlukiskan seperti kurva “U”.
Sepanjang memerintah, capaian Yudhoyono ada kalanya mengalami penurunan apresiasi.
Artinya, ada saat ia berhasil meraih simpati rasa puas publik, namun terdapat pula masa dimana rasa ketidakpuasan mendominasi. Namun pada akhirnya, ia berhasil membalikkan kondisi keterpurukan tersebut menjadi surplus apresiasi. Menariknya, pada saat itu pula ia berhasil mendapat dukungan politik terbesar masyarakat untuk menduduki kembali jabatan kepresiden dengan mengalahkan para pesaing politiknya.
Bagaimana dengan Presiden Jokowi?
Saat ini, apresiasi positif terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi. Dapat dikatakan, semua hasil survei opini publik menampilkan kesimpulan yang sama, bahwa dalam kurun waktu empat tahun memerintah, Jokowi mendapatkan apresiasi publik yang lebih besar dibandingkan dengan ketidakpuasan terhadap kinerjanya. Apabila diilustrasikan, derajat apresiasi terhadap Jokowi menunjukan kurva gelombang “M” ataupun “W” yang cenderung menunjukkan tren peningkatan.
Bahkan, jika diperbandingkan dalam satu-satuan waktu yang sama terhadap jalannya pemerintahan, apresiasi positif terhadap Jokowi tampak relatif lebih tinggi dibandingkan pada era pemerintahan Yudhoyono. Dengan mengambil contoh hasil survei longitudinal yang dilakukan delapan periode penyelenggaraan kurun waktu empat tahun jalannya pemerintahan kedua presiden, rata-rata proporsi kepuasan terhadap Jokowi sebesar 64 persen. Pada jangka periode penilaian yang sama, apresiasi terhadap kinerja pemerintahan Presiden Yudhoyono, rata-rata 58,5 persen.
Penilaian terendah kinerja Jokowi, terjadi pada dua periode awal penyelenggaraan survei, April dan Oktober 2015, dengan 54 persen responden menyatakan rasa puas. Sementara apresiasi tertinggi terjadi pada periode ke-7 penyelenggaraan survei, April 2018 lalu, dengan 72 persen responden menyatakan rasa puas mereka terhadap kinerja Jokowi.
Capaian apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dalam delapan hasil survei tersebut mengindikasikan adanya garis tren positif. Artinya, semakin lama menjabat Jokowi cenderung semakin berhasil meningkatkan surplus apresiasi publik terhadap kinerjanya.
Semakin lama menjabat Jokowi cenderung semakin berhasil meningkatkan surplus apresiasi publik.
Pada sisi lain, penilaian terendah terhadap Yudhoyono terjadi pada survei bulan Maret 2007, saat sebanyak 50 persen responden menyatakan rasa puas mereka. Periode tersebut menjadi salah satu periode terburuk yang dinilai publik. Sebaliknya, apresiasi tertinggi terjadi di bulan September 2006, tatkala sebanyak 67 persen responden menyatakan rasa puas mereka terhadap kinerja Yudhoyono (Grafik 1).
Dengan kinerja positif yang ditorehkan Yudhoyono, ia berhasil mengkapitalisasi dukungan politik. Kesimpulan demikian terbukti dari hasil survei yang juga menunjukkan korelasi searah yang signifikan antara besar kecilnya derajat apresiasi publik terhadap besaran proporsi keterpilihan (elektabilitas) Yudhoyono.
Artinya, semakin besar apresiasi yang dinyatakan publik maka semakin besar pula derajat elektabilitas yang diraih Yudhoyono. Begitu pula sebaliknya, di saat menurun tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Yudhoyono, pada saat yang bersamaan, terjadi pula penurunan elektabilitasnya (Grafik 2).
Dengan menggunakan analisis yang sama, juga terjadi pada Jokowi. Hasil survei tersebut menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara kinerja pemerintahan dengan tingkat elektabilitas Jokowi. Semakin besar derajat kepuasan yang dinyatakan responden maka semakin besar pula besaran derajat keterpilihan Jokowi.
Bahkan, dibandingkan dengan tingkat elektabilitas Yudhoyono, capaian elektabilitas Jokowi sepanjang delapan kali penyelenggaraan survei (empat tahun pemerintahan), relatif lebih tinggi.
Elektabilitas Jokowi sepanjang delapan kali penyelenggaraan survei (empat tahun pemerintahan), relatif lebih tinggi ketimbang SBY.
Begitu pula, selisih antara proporsi penilaian kepuasan dengan proporsi keterpilihannya sebagai presiden semakin mengecil, yang mengindikasikan efektivitas kapitalisasi dukungan politik. Apalagi, periode akhir survei menunjukkan elektabilitas Jokowi sudah mencapai di atas 50 persen, yang menunjukkan batas terendah peluang keterpilihannya kembali menjadi presiden (Grafik 3).
Dengan segenap capaian yang relatif lebih tinggi dari Presiden Yudhoyono tersebut, persoalannya kini apakah Presiden Jokwi dapat dipastikan akan menduduki kembali jabatan kepresidenannya?
Membaca pola relasi antara kepuasan dan elektabilitas yang tergambarkan dari hasil survei memang dapat menyimpulkan peluang kemenangan Jokowi sangat besar. Setidaknya, hingga empat tahun menjabat, jika pemilu dilakukan saat ini maka ia mampu memperpanjang masa jabatannya.
Hanya saja, hasil survei merupakan rekaman dari kondisi politik yang terbatasi oleh dimensi waktu tertentu, saat survei dilakukan. Survei tidak cukup kuat meyakinkan kondisi di waktu mendatang. Sekalipun hasil-hasil survei longitudinal memiliki kemampuan prediktif, namun tetap saja bersifat terbatas dan sangat tergantung pada dinamika politik yang terjadi pada masa mendatang.
Dengan perkataan lain, dinamika politik beberapa bulan jelang Pemilu Presiden 2019, seperti pola persaingan, strategi penguasaan pemilih, maupun karakteristik loyalitas pemilih yang dibentuk oleh masing-masing pasangan calon presiden menjadi faktor yang masih memungkinkan terjadinya suatu perubahan politik.
Apa yang dihadapi Presiden Yudhoyono dalam persaingan Pemilu 2009 tampak berbeda dengan yang terjadi kini. Peta politik Pemilu 2009 menunjukkan bagaimana Presiden Yudhoyono yang kala itu berpasangan dengan Boediono, dihadapkan dengan pesaingnya, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto.
Dari sisi persaingan politik, modal politik dan peluang Yudhoyono sangat besar. Terbukti, pesaing terkuatnya, Megawati-Prabowo yang didukung oleh PDIP-Gerindra tidak mampu melebihi separuh dari perolehan suara Yudhoyono-Boediono. Pasangan Yudhoyono-Boediono, memenangkan Pemilu 2009 dengan penguasaan 60,8 persen pemilih.
Dari sisi karakteristik pendukungnya, kontestasi Pemilu 2009 tidak menunjukkan keterbelahan politik yang signifikan. Kekuatan para pendukung berikut partai politik yang mendukung masing-masing pasangan, tidak mencerminkan keterbelahan identitas yang bersifat ideologis. Kekuatan sosok calon presiden lebih dominan dan tidak memilah pendukungnya berdasarkan kesamaan identitas sosial. Pada akhirnya, militansi para pendukung calon presiden tidak dominan dan cenderung tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tiap-tiap pasangan calon presiden.
Selain peta dukungan dan karakteristik pendukung, kondisi makro politik relatif tidak bergolak. Pre-text politik Pemilu relatif tidak mencuat, mobilisasi dukungan yang tergambarkan dalam berbagai aksi-aksi penentangan tidak terjadi. Mobilisasi massa masih sejalan dalam bingkai kampanye pemilu dan relatif dalam jumlah yang terkendali.
Kondisi politik saat itu jelas berbeda dengan saat ini. Semenjak Pemilu 2014 lalu, dinamika politik semakin menegang, yang ditandai oleh keterpilahan kelompok berdasarkan identitas sosial. Jelang Pemilu Presiden 2019 mendatang, menjadi titik krusial bagi Presiden Jokowi. Sekalipun berbagai hasil survei hingga enam bulan sebelum pemilu sudah mengukuhkan peluang keterpilihannya, namun belum cukup kuat meyakinkan kemenangannya.
Kondisi politik saat SBY berbeda dengan saat ini yang ditandai dengan ketegangan politik, keterpilahan berdasar identitas sosial, dan aksi massa.
Prabowo Subianto, sosok calon presiden yang kini kembali menjadi rivalnya dalam Pemilu Presiden jelas tidak dapat dipandang sebelah mata. Prabowo, yang kali ini memilih berpasangan dengan Sandiaga Uno, memang tidak seperti Jokowi yang memiliki modal politik apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan. Begitu pula dari sisi elektabilitas, sejauh ini tidak sebesar yang dicapai Jokowi.
Akan tetapi, terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki pasangan ini. Semenjak tahun 2014 hingga kini, Prabowo masih mampu mempertahankan loyalitas para pendukungnya. Begitu pula, sekalipun dari sisi kuantitas dukungan (elektabilitas) masih relatif lebih rendah dari Jokowi namun dari sisi kualitas, terutama dari sisi militansi dukungan, relatif lebih tinggi.
Sebenarnya, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan saat ini kadar loyalitas para pendukung calon presiden sudah terbentuk sedemikian kuat. Besarannya sudah melampaui kekuatan relasi politik tak simetrik antara calon presiden dengan pendukungnya yang umum terbangun selama ini.
Dalam hal ini, pasangan calon presiden kini tidak hanya berhenti sebatas berhasil mempengaruhi calon pemilih untuk memilih dirinya. Namun, calon pemilih kini turut aktif memenangkan calon presiden pilihannya dengan memberikan berbagai dukungan politik. Relasi politik simetrik yang terbangun timbal-balik semacam ini mengindikasikan tingkatan loyalitas pendukung yang lebih militan.
Tingginya militansi pendukung kedua pasangan calon presiden tergambarkan dalam beragam jenjang partisipasi. Pada tahapan yang paling dasar, derajat pemantauan informasi yang ditunjukkan para pendukung Jokowi maupun Prabowo relatif sama tinggi. Dalam perilaku politiknya, lebih separuh bagian dari kedua pendukung mengaku terus-menerus mengikuti berbagai informasi yang terkait dengan calon presiden pilihannya.
Tidak hanya berhenti dalam mengonsumsi maupun mengikut informasi pemberitaan dari kedua calon presiden, para pendukung pun secara aktif ikut menyebarluaskan informasi-informasi yang bersifat positif kepada pihak lain. Hasil survei menunjukkan, mulai terdapat indikasi perbedaan di antara kedua barisan pendukung, namun cenderung tidak signifikan. Menyebarluaskan informasi positif dilakukan oleh 39,4 persen dari para pemilih Jokowi. Sementara, hal yang sama dilakukan oleh 41 persen pendukung Prabowo.
Derajat perbedaan dukungan cenderung semakin melebar dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Para pendukung Prabowo relatif lebih agresif dibandingkan pendukung Jokowi. Terkait dengan kemunculan beragam informasi yang cenderung merugikan pasangan calon presiden yang didukung, tidak kurang dari 37,9 persen dari para pemilih Prabowo mengaku bereaksi dengan melakukan pembelaan. Sementara, bentuk pembelaan yang sama dilakukan oleh 34,8 persen dari para pemilih Jokowi (Grafik 4).
Kondisi-kondisi politik beberapa bulan jelang Pemilu Presiden 2019 yang dipenuhi oleh tekanan-tekanan politik yang semakin agresif tersebut membuat peluang Jokowi melanggengkan jabatan kedua kepresidenannya menjadi relatif tidak semudah seperti yang dialami Presiden Yudhoyono (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas). (Bersambung)