Tiga Skenario Kemenangan Pemilu Presiden
Dalam Pemilu Presiden 2019 mendatang, kalkulasi jaminan kemenangan dalam penguasaan pemilih hanya dapat terjadi jika Presiden Joko Widodo ataupun rival politiknya, Prabowo Subianto, mampu mengubah preferensi politik para pemilih yang sebelumnya sudah tertambat. Bagaimana skenarionya?
Menutup tahun 2018 ini, persaingan politik antara Jokowi dan Prabowo semakin menguat, kendati tetap menempatkan keunggulan Jokowi. Buktinya, hasil analisis dari keseluruhan lembaga survei menunjukkan bahwa posisi keterpilihan Jokowi di tahun ini masih lebih dominan dibandingkan pesaingnya, Prabowo. Sejauh ini, tidak ada satupun lembaga survei yang menunjukkan hasil terbalik, menyatakan keunggulan Prabowo.
Sepanjang tahun 2018, jika dirata-ratakan dari total 17 hasil survei, Jokowi mampu menguasai hingga 56,9 persen responden. Sementara itu Prabowo menguasai hingga 29,9 persen. Selebihnya, sebanyak 13,2 persen belum menyatakan pilihan atau tidak menyatakan pilihannya.
Jokowi rata-rata menguasai 56,9 persen suara sedangkan Prabowo 29,9 persen.
Tiga bulan terakhir, Prabowo secara signifikan mulai meningkatkan elektabilitasnya. Analisis terhadap delapan hasil survei yang dilakukan dalam kurun tiga bulan terakhir itu menunjukkan ia mampu meraih 32,6 persen responden. Jokowi menjadi sebesar 54,2 persen. Mereka yang tidak menjawab tetap berkisar pada proporsi 13 persen
Dari serentetan survei pasca penetapan pasangan calon presiden, jarak keterpautan antara Jokowi dengan Prabowo minimal 20 persen. Perbedaan jarak yang lebar tersebut masih menunjukkan dominasi Jokowi sepanjang tahun 2018 dalam menguasai persaingan.
Hanya saja, catatan yang tidak dapat disingkirkan, dari hasil seluruh survei tersebut juga menunjukkan adanya tren peningkatan pada elektabilitas Prabowo. Sebaliknya, Jokowi cenderung mengalami stagnasi dukungan dan bahkan cenderung agak menurun.
Dengan kondisi persaingan semacam itu, pertanyaannya bagaimana prediksi kemenangan Pemilu 2019 mendatang?
Bersandar pada hasil survei, setidaknya tiga pola kemungkinan yang bakal terjadi dalam pemilu presiden mendatang.
Pertama, Jokowi mengungguli pesaingnya, Prabowo, dengan selisih suara yang lebih besar dari perbedaan suara mereka dari hasil Pemilu 2014 lalu. Artinya, kemenangan Jokowi atas Prabowo terpaut di atas 6,3 persen. Kondisi demikian memungkinkan terjadi dengan dasar pertimbangan mempertahankan status quo, yaitu jika Jokowi mampu menjaga jarak perbedaan sebagaimana yang terjadi saat ini.
Walaupun hasil survei saat ini menunjukkan perbedaan hingga 20 persen, namun sejalan dengan tren peningkatan dukungan terhadap Prabowo dan stagnasi atau bahkan penurunan pada Jokowi, maka jarak perbedaan potensial kian mengecil. Hanya, mengecilnya jarak perbedaan diperkirakan masih di atas 6,3 persen hingga pemungutan suara digelar.
Persoalannya, apa yang menjadi dasar argumentasi terhadap kemenangan Jokowi lebih besar dari proporsi penguasaan suaranya dalam Pemilu 2014 lalu?
Elektabilitas Jokowi yang ditunjukkan hasil survei merupakan potret dari kinerjanya sebagai presiden.
Paling logis terkait dengan posisi sebagai petahana dengan kinerja yang ia torehkan selama ini. Elektabilitas Jokowi yang ditunjukkan hasil survei merupakan potret dari kinerjanya sebagai presiden. Pembuktian terhadap eratnya hubungan kausalitas antara kinerja terhadap elektabilitas tersebut banyak dibuktikan dari berbagai hasil survei yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan.
Artinya, semakin tinggi derajat penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan, maka semakin besar pula kecenderungan publik untuk menjatuhkan pilihan calon presiden terhadap sosok Jokowi (Grafik 1).
Kedua, Jokowi tetap unggul atas Prabowo, namun keunggulannya tergolong sangat tipis, di bawah derajat perbedaan hasil Pemilu 2014 lalu. Skenario kemenangan tipis Jokowi semacam ini mengindikasikan adanya perlawanan Prabowo yang jauh lebih besar daripada kondisi 2014 lalu.
Skenario kemenangan dapat terjadi jika Prabowo berhasil memperkecil jarak ketertinggalan dengan menggunakan momentum tren peningkatan elektabilitas yang terjadi belakangan ini. Kondisi semacam ini dapat berlangsung jika strategi konsolidasi dukungan yang dilakukan Prabowo jauh lebih baik daripada Jokowi.
Terkait dengan strategi demikian, Prabowo minimal harus mempertahankan loyalitas dukungan dari semua pemilihnya di tahun 2014 lalu. Begitu pula, Prabowo harus dapat mempertahankan penguasaannya pada 10 provinsi yang dikenal sebagai basis pendukungnya di tahun 2014.
Sejauh ini, wilayah yang menjadi basis kekuatan dukungan Prabowo memang tengah menjadi sasaran penguasaan Jokowi. Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa provinsi lain menjadi incaran penguasaan Jokowi. Hanya, strategi penguasaan wilayah kekuasaan Prabowo tidak berjalan mudah. Basis pendukung Prabowo tergolong loyal dan militan.
Dalam beberapa aspek loyalitas dan militansi pemilih diperkuat pula oleh partai politik yang menjadi bagian dari pengusung Prabowo sebagai calon presiden. Artinya, sekalipun dukungan potensial menyusut, namun provinsi-provinsi yang menjadi basis dukungan relatif tetap dikuasai Prabowo.
Sisi sebaliknya, upaya Prabowo dalam menguasai wilayah yang menjadi kekuasaan Jokowi pun gencar. Dengan mengambil contoh DKI Jakarta, wilayah yang dimenangkan Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu, hasil survei menunjukkan justru kini berhasil ia kuasai. Hasil demikian mengindikasikan bahwa tidak semua wilayah penguasaan Jokowi tergolong solid dan masih potensial meningkatkan dukungan di daerah tersebut.
Upaya yang baru-baru ini dilakukan Prabowo dengan mengintensifkan penggalangan dukungan di wilayah Jawa Tengah, wilayah yang menjadi basis terkuat Jokowi, pun menjadi contoh strategi yang memang harus dilakukan.
Sejalan dengan semakin masifnya upaya yang dilakukan Prabowo dalam menguasai wilayah kantong kemenangan Jokowi, maka sejalan dengan itu peningkatan dukungan potensial dicapai. Akan tetapi kalkulasi terhadap besaran selisih ketertinggalan maupun waktu yang tersisa tampaknya hanya mampu memperkecil jurang perbedaan suara pemilih.
Hasil survei memang menunjukkan, bahwa sepanjang tiga bulan terakhir terjadi tren peningkatan dukungan terhadap Prabowo. Akan tetapi, jika dikalkulasi tren tersebut tidak cukup besar mampu mendekati elektabilitas Jokowi dalam waktu dekat. Dibutuhkan waktu antara 6 hingga 12 bulan kedepan untuk menyamai posisi Jokowi. Itu pun dapat terjadi jika tidak terjadi perlawanan signifikan dari kubu Jokowi.
Sepanjang tiga bulan terakhir terjadi tren peningkatan dukungan terhadap Prabowo.
Ketiga, skenario kemenangan Prabowo atas Jokowi. Kedua skenario sebelumnya beranjak dari hasil berbagai survei yang menunjukkan ruang yang sempit bagi Prabowo dalam memenangkan pertarungan politik. Semua kalkulasi berajak dari besaran peluang, yang di sisi lain juga mengindikasikan masih terdapat celah penguasaan.
Berdasarkan hasil survei, sebenarnya juga masih tampak celah yang memungkinkan perubahan penguasaan. Dasar argumentasinya, semua hasil survei yang memotret penguasaan Jokowi bersandar pada kalkulasi para responden yang mengungkapkan preferensinya.
Padahal, hasil survei tersebut juga mengungkapkan bahwa di balik mereka yang sudah menyatakan preferensinya masih terdapat juga sebagian pemilih yang enggan ataupun bimbang dalam menyatakan pilihan mereka.
Hasil survei Litbang Kompas, misalnya, menunjukkan terdapat sekitar 14,7 persen responden yang engan menjawab, atau mereka yang tergolong bimbang, belum menentukan pilihan. Kalangan demikian potensial menyatakan pilihan hingga menjelang hari pemungutan suara.
Di samping itu, terhadap mereka yang sudah memiliki preferensi calon presiden pun didapati belum sepenuhnya tergolong loyal terhadap sosok calon presiden yang dipilih saat itu. Hasil survei menunjukkan kalangan responden yang kurang loyal sekitar 27,4 persen. Sebaliknya, mereka yang memang sudah pasti pada pilihannya (total para pemilih Jokowi maupun Prabowo) dan mengaku tidak akan berpaling sebesar 57,9 persen.
Apabila dicermati, dua karakteristik pemilih yang tergambarkan dari hasil survei, baik kategori responden yang belum menentukan pilihan dan responden yang tergolong kurang loyal, merupakan para pemilih mengambang (swing voters) yang belum terjaminkan kepada siapa sesungguhnya pilihan calon presiden mereka. Jika dijumlah menjadi sebesar 42,1 persen, suatu besaran yang sangat signifikan mengubah peta persaingan Pemilu 2019.
Dalam hal inilah peluang Prabowo memenangkan persaingan masih terbuka. Dengan persyaratan yang tampak berat, memang. Dari total penguasaannya saat ini (32,7 persen), Prabowo memiliki sekitar 21,5 persen yang loyal, tidak akan berpindah pilihan.
Dengan modal dukungan sebesar itu, guna memenangkan pemilu (lebih besar dari 50 persen), Prabowo harus mampu menambah setidaknya 28,6 persen dukungan pemilih, atau menguasai setidaknya dua pertiga dari para pemilih mengambang yang diperebutkan.
Peluang Prabowo memenangi persaingan masih terbuka, dengan persyaratan yang tampak berat
Bagi Jokowi, relatif lebih mudah. Barisan pendukung loyalnya diperkirakan sebesar 36,4 persen. Dengan kondisi sebesar itu, untuk memenangkan pemilu, setidaknya ia perlu menguasai 13,7 persen dukungan, atau sepertiga dari para pemilih mengambang (Grafik 2).
Dari analisis di atas, upaya yang harus dilakukan Prabowo dalam menambah dukungan dari para pemilih mengambang minimal dua kali lipat dari upaya yang dilakukan oleh Jokowi. Menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah peta karakteristik para pemilih mengambang tersebut?
Hasil survei menunjukkan, sebagian besar para pemilih mengambang merupakan kalangan perempuan, berusia antara 36-55 tahun, dan berpendidikan rendah. Dari sisi kategori sosial ekonomi, sebagian besar berasal dari kalangan menengah dan cenderung kalangan bawah. Begitu pula dari sisi psiko sosial sebagian besar yang belum menyatakan pilihan merupakan kalangan yang tergolong agak moderat (Grafik 3).
Dengan karakteristik semacam itu, tampaknya sebagian besar pemilih mengambang memiliki kesamaan karakteristik dengan para pendukung loyal Jokowi daripada pendukung Prabowo. Artinya, guna memenangkan pertarungan, Prabowo tampaknya harus menguasai kalangan pemilih di luar basis sosial ekonomi para pendukung loyalnya selama ini. Tiga bulan jelang pemilu, strategi jitu penguasaan masih sangat diperlukan. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas). (SELESAI)