Perang Dagang yang Melelahkan
It will be American steel that will fortify America’s crumbling bridges — American steel. (Donald Trump, 2018)
Melindungi industri dalam negeri Amerika Serikat, terutama baja, menjadi salah satu fokus kampanye Presiden Donald Trump. Dua tahun memimpin, janji kampanye itu bukan omongan belaka.
Tak tanggung-tanggung, Trump berani menantang China, Uni Eropa, India, dan Kanada untuk beradu tarif demi mewujudkan janjinya. Serangkaian kebijakan tarif Trump sepanjang 2018 pun berbuntut perang dagang global yang melelahkan.
Perang bermula saat Departemen Perdagangan AS mulai menginvestigasi impor baja dan aluminium pada April 2017. Nyaris setahun berselang, departemen tersebut menyatakan bahwa masalah impor baja dan aluminium, dan defisit neraca perdagangan pada umumnya, telah membebani perekonomian AS serta mengganggu ”keamanan nasional”.
Laporan ini kemudian digunakan oleh Trump sebagai landasan dalam mengenakan berbagai tarif berbagai macam produk demi melindungi produsen lokal.
Amunisi telah disiapkan. Tanpa basa-basi, Trump segera mengeluarkan kebijakan tarif sebesar 30 persen dan 20 persen terhadap produk panel surya dan mesin cuci yang masuk ke AS.
Tidak berhenti di situ, AS menetapkan tarif 25 persen dan 10 persen pada baja dan aluminium impor dari semua negara, termasuk China, pada 9 Maret 2018. Tidak gentar, China pun segera membalas tindakan AS dengan memberlakukan pajak barang impor dari AS senilai 3 miliar dollar AS.
Langkah China dibalas oleh AS. Mulai 19 Juni 2018, AS memberikan tarif 10 persen terhadap barang senilai 200 miliar dollar AS dari China.
Tidak hanya itu, Trump juga mengancam akan menambahkan tarif terhadap produk dari China senilai 267 miliar dollar AS jika China membalas dengan cara serupa. Keadaan ini akan menambah total nilai barang impor China senilai 200 miliar dollar AS menjadi 517 miliar dollar AS atau hampir setara dengan seluruh barang yang dijual China ke AS.
Perang pun semakin sengit saat China membalas dan mengumumkan akan mengenakan tarif tambahan terhadap 5.207 kategori produk AS dengan besaran tarif yang berbeda, 10 persen dan 5 persen pada 18 September 2018.
Tarif tersebut dijadwalkan akan berlaku efektif pada 24 September 2018, bersamaan dengan mulai berlakunya tarif 10 persen di AS terhadap barang impor China senilai 200 miliar dollar AS yang akan meningkat menjadi 25 persen pada 1 Januari 2019. (Kompas, 23/9/2018)
Perang tarif menjadi bola panas ketika mulai melibatkan pihak lain. Kenaikan pajak impor baja dan aluminium yang diberlakukan AS bersifat global, yang artinya berlaku juga bagi setiap negara yang mengekspor produk tersebut ke AS. Tak ayal, negara eksportir baja dan aluminium lain, seperti Kanada, India, dan Uni Eropa, pun terkena imbasnya.
India dan UE tidak menganggap enteng masalah kenaikan pajak ini. Untuk membalas langkah Trump, UE memberlakukan tambahan pajak 25 persen untuk beberapa produk, seperti sepeda motor Harley Davidson, celana Levi’s, hingga minuman Whiskey pada pertengahan Juni 2018. Nominal yang harus dibayar AS akibat kebijakan ini pun tidak sedikit, yaitu sekitar 3,4 miliar dollar AS.
Parahnya, kebijakan UE ini menyasar produk yang berasal dari negara-negara bagian AS yang menjadi basis pendukung partai Trump. Sebagai contoh, minuman Whiskey yang dikenai pajak tambahan oleh UE merupakan produk unggulan dari Kentucky, salah satu basis massa Partai Republik.
Per tahunnya, rata-rata industri Whiskey berkontribusi 8,5 miliar dollar AS ke pendapatan daerah dan menciptakan sekitar 17.500 lapangan pekerjaan di Kentucky. Nilai dari ekspor Whiskey AS ke UE pun tidak main-main. Dari tahun 2016 hingga 2017, nilai ekspornya naik dari 128 juta dollar menjadi 154 juta dollar AS.
Seirama dengan UE, India pun gerah dengan kesemena-menaan Trump. Awal Agustus 2018, India mengumumkan rencana untuk menaikkan pajak impor terhadap 29 produk AS, yang meliputi almon, apel, hingga stainless steel.
Dengan kenaikan berkisar 10-80 persen, nilai yang harus dibayar AS membengkak menjadi 235 juta dollar AS. Namun, setelah rangkaian negosiasi kedua negara, India setuju untuk menunda kenaikan pajak impor hingga akhir Januari 2019.
Selain India dan UE, Kanada sebagai salah satu mitra dagang terbesar AS juga berang terhadap kebijakan pajak impor Trump. Sebagai balasan, Kanada menaikkan pajak impor terhadap ratusan produk buatan AS sebesar 10-25 persen dengan nominal 16,6 miliar dollar AS.
Dampak perang dagang tidak bisa dianggap enteng. Forum tahunan IMF dan Bank Dunia Oktober 2018 memperingatkan negara-negara dunia untuk tidak terlibat dalam perang dagang dan mata uang. Praktik tersebut dinilai bisa melukai pertumbuhan global dan membahayakan negara-negara yang tidak terlibat langsung di dalamnya.
Perang dagang juga membuat kerapuhan sektor finansial meningkat serta tensi perdagangan dan geopolitik memanas, dan goyahnya pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara-negara maju. (Kompas, 4/12/2018)
Defisit perdagangan dan HKI
Sebelum memulai perang, Trump sebenarnya pernah mengangkat isu defisit neraca perdagangan. Dalam sebuah kesempatan, Trump mengatakan bahwa dia ingin memperkecil defisit perdagangan AS senilai 336 miliar dollar AS dengan Beijing—kesenjangan antara berapa banyak yang dibeli Amerika dari China dan berapa banyak yang dijualnya.
Mengurangi defisit perdagangan AS adalah tujuan utama perang dagang Trump. Pernyataan Trump bukan tanpa alasan. Salah satu persoalan besar bagi Trump adalah defisit belanja AS yang dinilai ”mencederai” kedaulatan ekonomi AS.
Pada Oktober 2018, defisit perdagangan AS mencapai 55,5 miliar dollar AS pada Oktober. Nilai ini menjadi yang tertinggi sejak 10 tahun yang lalu. Dalam membaca permasalahan ini, Trump menuding China sebagai biang kerok. Pasalnya, nilai impor produk dari China menyumbang hampir 50 persen total defisit neraca AS. Defisit perdagangan dengan China tahun ini pun telah mencapai level rekor tertinggi. (Kompas, 14/12/2018)
Permasalahan defisit neraca perdagangan berlanjut ke permasalahan lain bagi AS. Semakin besarnya jurang defisit menggerus dominasi ekonomi AS dan memberikan dorongan terhadap ekspansi pengaruh China dalam panggung perdagangan dunia.
Ekonomi China menujukkan pertumbuhan positif di tengah tekanan ekonomi yang melanda dunia. Pada triwulan kedua 2018, produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 6,7 persen melebihi angka ekspektasi resmi pemerintah yang memasang target di angka 6,5 persen sepanjang periode 2018.
Selain alasan neraca, Trump juga menganggap bahwa perang dagang diperlukan untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) AS. Trump menuding bahwa China melakukan pencurian atau pemaksaan penyerahan teknologi dan kekayaan intelektual milik AS.
Setelah melakukan investigasi selama hampir setahun, Duta Besar Perdagangan AS Robert E Lighthizer mengeluarkan laporan yang mendukung pernyataan Trump. Investigasi Lighthizer pun memberi justifikasi lain bagi Trump dengan berpedoman pada aturan dagang AS Trade Act of 1974 Pasal 301.
Aturan tersebut mengizinkan presiden untuk mengambil langkah apa pun yang dibutuhkan untuk membela negara dari tindak kecurangan dalam hal perdagangan internasional.
Harapan dari gencatan senjata dan denuklirisasi
Beruntungnya, di akhir 2018 ketegangan yang menyelimuti perdagangan global mulai sirna. Beberapa negara yang memerangi AS mulai melunak.
Perang dagang mulai melunak ketika UE setuju untuk berdamai dengan AS dan mengangkat tarif 25 persen yang sebelumnya dikenakan. Tidak hanya UE, China sebagai pihak yang paling sengit bertempur juga melunakkan sikapnya terhadap langkah tarif Trump.
Dalam pertemuan G-20 tahun ini, Presiden China Xi Jinping bertemu dengan Trump dan melakukan dialog. Pertemuan ini pun berujung manis saat Trump menyatakan akan menunda penerapan pajak impor 25 persen terhadap komoditas dari China senilai 200 miliar dollar AS.
Penundaan diberikan dalam waktu 90 hari terhitung dari 1 Januari 2019. Komoditas impor dari China senilai 50 miliar dollar AS tetap dikenai pajak masuk 25 persen dan tidak termasuk dalam kesepakatan.
Sinyal baik Trump disambut hangat Presiden Xi. Tak lama berselang, Kementerian Keuangan China mengumumkan penundaan penambahan tarif impor kendaraan dan suku cadang asal AS menjadi 40 persen yang awalnya dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2019.
Tidak hanya itu, China juga berkomitmen untuk meningkatkan belanja dari AS di sektor industri, energi, dan produk agrikultur. Hal ini dilakukan China untuk mengimbangi neraca ekspor baja dan produk elektronik ke AS. (Kompas, 4 /12/2018)
Berita gencatan senjata dirayakan oleh para pengusaha otomotif AS. Tesla Inc, misalnya, menyatakan telah memangkas harga kendaraan Model S dan Model X di China.
Adapun Presiden Operasional Global Ford Motor Co Joe Hinrichs ikut menyambut pengumuman Beijing, dengan mengingatkan angka ekspor perusahaan itu ke China pada 2017 yang mencapai 50.000 kendaraan.
Tidak ketinggalan, ia memuji Pemerintah AS dan China yang sama-sama sedang berupaya mengurangi hambatan perdagangan serta mewujudkan pasar yang terbuka.
Walaupun senjata sudah mulai diletakkan oleh pihak berperang, perdamaian belumlah tuntas. Masih ada pihak lain, seperti Kanada, yang enggan untuk berkompromi. Hubungan Washington dengan Beijing pun dapat sewaktu-waktu berbalik. Selain itu, terompet perang yang ditiupkan Trump tidak akan cepat hilang gemanya.
Menurut perkiraan, perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 mungkin akan lebih tajam dibandingkan pada 2019. IMF telah merevisi prediksi pertumbuhan eknomi tahun 2019 bagi AS: dari 2,8 persen menjadi 2,5 persen. Pengaruh langkah AS itu juga terasa pada ekonomi Asia dan Eropa yang melambat. Perlambatan-perlambatan itu pun akan kembali dan juga memengaruhi AS hingga bertahun-tahun ke depan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)