Tak Ada yang Peduli kepada Yaman
Wartawan Jamal Khashoggi harus mati berkali-kali agar dunia internasional tergerak menghentikan perang di Yaman. Sebelum kematian Khashoggi pada Oktober 2018, Yaman sengaja dibiarkan hancur dan mengalami bencana kemanusiaan terbesar abad ini.
Melalui tulisan-tulisannya di surat kabar The Washington Post, Khashoggi kerap mengkritik pemerintah negerinya, terutama terhadap keterlibatan Arab Saudi dalam perang di Yaman. Khashoggi menyatakan bahwa keterlibatan Arab Saudi membuat penduduk Yaman semakin menderita, bahkan menyebabkan bencana kemanusiaan paling besar di abad ini.
Baca Juga: Jalan Sunyi Jamal Khashoggi
Lembaga PBB untuk hak asasi manusia, OCHRC, pada 10 Agustus 2018, menyebutkan bahwa selama Maret 2015-Agustus 2018, sejumlah 17.062 penduduk Yaman menjadi korban perang, 6.592 tewas dan 10.470 terluka. Sebagian besar penduduk terluka akibat serangan udara yang dilancarkan oleh koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Council on Foreign Relation (CFR) menambahkan bahwa perang di Yaman telah menyebabkan 22,2 juta penduduk Yaman, atau tiga perempat dari jumlah penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan, baik makanan maupun kesehatan. Selain itu, 2 juta penduduk di Yaman hidup dalam pengungsian.
Walaupun korban perang semakin membesar pasca-keterlibatan koalisi Arab Saudi pada Maret 2015, tindakan tegas dunia internasional untuk menghentikan perang di Yaman belum terlihat nyata.
Sikap beberapa negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, mendua. Di satu sisi mereka mendorong perdamaian di Yaman, di sisi lain mereka tetap memasok senjata bagi koalisi Arab Saudi. Oleh karena itu, tak ada tindakan konkret dari negara-negara Barat untuk segera menghentikan perang sehingga Yaman dibiarkan menuju punah.
Perang Yaman
Konflik di Yaman kembali memanas pada 2014 saat pemberontak Houthi yang berpusat di wilayah utara Yaman melancarkan serangan ke selatan hingga menguasai ibu kota Yaman, Sana’a. Mereka menduduki istana kepresidenan dan menempatkan Presiden Abdul Rabbu Mansour Hadi sebagai tahanan rumah.
Kelompok pemberontak Houthi berawal dari gerakan teologis yang mengajarkan toleransi dan damai pada 1990 dengan nama Ansar Allah. Gerakan ini berafiliasi dengan sekte Zaydi, beraliran Syiah yang berakar kuat di daerah Yaman bagian utara. Di Yaman yang 99 persen penduduknya beragama Islam, Muslim Syiah dianut oleh 35 persen penduduk, sisanya, 65 persen merupakan golongan Sunni.
Gerakan ini berubah menjadi gerakan militer pada 2004 saat presiden saat itu, Ali Abdullah Saleh, mengirimkan pasukan untuk menangkap pendiri Houthi, Hussein Bader Addian al-Houthi. Hussein akhirnya terbunuh dan perang terhenti sejenak pada 2010.
Pemberontakan Houthi pada 2014 dipicu protes keras terhadap kenaikan harga bahan bakar. Selain itu, mereka kecewa terhadap pemerintahan Presiden Hadi yang menunda pemilihan umum. Houthi menginginkan pembagian kekuasaan dan peran yang lebih penting dalam pemerintahan.
Di kemudian hari, Ali Abdullah Saleh sempat berkongsi dengan Houthi melawan koalisi pimpinan Arab Saudi. Namun, ia akhirnya dibunuh oleh Houthi setelah putus kongsi dan berupaya berkoalisi dengan Uni Emirat Arab pada 2017.
Intervensi Arab Saudi
Pasca-penguasaan Houthi atas ibu kota Yaman, atas permintaan Presiden Hadi, Arab Saudi membangun koalisi untuk memerangi pemberontakan Houthi. Arab Saudi merangkul Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Jordania, Mesir, Sudan, Maroko, dan Senegal melakukan intervensi ke Yaman.
Arab Saudi yang berbatasan langsung dengan Yaman waswas karena kebangkitan Houthi akan memperbesar pengaruh Syiah di Jazirah Arab yang didukung Iran.
Pada Maret 2015, pasukan koalisi mulai melakukan intervensi militer melawan Houthi yang terus menyapu daerah selatan. Pasukan koalisi melancarkan serangan udara ke kantong-kantong Houthi demi mengembalikan pemerintahan di Yaman.
Serangan koalisi Arab Saudi ke kantong-kantong pemberontak Houthi dilakukan dengan sangat gencar sehingga muncul korban penduduk sipil. Rata-rata, pasukan koalisi melakukan 20 kali serangan udara per hari dari Maret 2015-Maret 2018.
Houthi merespons serangan udara koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi dengan menembakkan rudal ke wilayah Arab Saudi. Pemberontak Houthi memiliki beragam rudal, dengan jarak tempuk rudal terjauh Burkan-2 yang dapat menyerang target sejauh 1.400 kilometer. Dengan rudal tersebut, Houthi dapat langsung menyerang Riyadh. Serangan tersebut ditangkis Arab Saudi dengan sistem antirudal buatan AS, Patriot.
Intervensi koalisi Arab Saudi semakin mendapat legitimasi dengan adanya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2216 pada April 2015 yang mengecam perebutan kekuasaan oleh Houthi dan mendukung aksi militer koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi atas permintaan Presiden Hadi.
Mendapat angin segar, koalisi pimpinan Arab Saudi makin leluasa mengadakan serangan udara. Pada September 2015, tercatat 925 serangan udara dilancarkan oleh pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi ke Yaman.
Selain itu, pasukan koalisi juga mencegat semua kapal yang keluar masuk Yaman untuk mencegah pasokan senjata kepada Houthi. Mereka mencurigai dukungan Iran terhadap pemberontak Houthi.
Pengaruh Iran selama ini dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas keamanan di Jazirah Arab. Untuk menjaga stabilitas kawasan, Arab Saudi mengeluarkan dana yang sangat besar, bahkan menjadi importir senjata terbesar di dunia. Gelontoran dana tersebut digunakan untuk menyokong kebijakan luar negeri Arab Saudi menyangkut stabilitas kawasan.
Arab Saudi terlibat secara tidak langsung dalam konflik di Suriah dan Lebanon, selain bersitegang dengan Qatar dan Turki. Di Suriah, pemberontak pro-Arab Saudi menentang pemerintahan Bashar al-Assad yang didukung Iran.
Sementara di Lebanon, Arab mendukung dominasi gerakan Sunni Future Movement yang berkonfrontasi dengan Hezbollah yang didukung Iran. Oleh karena itu, perang di Yaman disebut juga perang tidak langsung Arab Saudi melawan Iran.
Negara-negara Barat juga meyakini bahwa Houthi didukung oleh Iran. Pada Desember 2017, Dubes AS untuk PBB Nikki Haley menunjukkan bukti bahwa rudal yang diledakkan oleh Houthi dipasok oleh Iran. Pemerintah Iran menyangkal tuduhan tersebut. Di lain pihak, Pemerintah Yaman meyakini bahwa Houthi didukung oleh kelompok Hezbollah dari Lebanon.
Intervensi Barat
Konflik yang terjadi di Yaman tidak melulu melibatkan pemberontak Houthi dan Pemerintah Yaman. Keterlibatan negara luar juga dipicu oleh gerakan antiterorisme di Yaman.
Yaman telah lama menjadi cabang utama gerakan Al Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP). Selain itu, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) juga mengklaim pembentukan wilayah di Yaman. Hal itu memicu keterlibatan negara-negara Barat di Yaman atas nama gerakan kontraterorisme.
Pasca-serangan teror di AS, pemerintahan Barack Obama melakukan kerja sama operasi antiterorisme di Yaman terhadap kelompok AQAP dan milisi yang berafiliasi dengan NIIS. Kerja sama tersebut terus berlanjut.
Dalam praktiknya, AS terus melakukan serangan ke daerah-daerah yang diduga menjadi tempat persembunyian teroris, terutama AQAP. Pada 2015, AS melakukan 23 serangan udara ke Yaman, bertambah menjadi 44 serangan pada 2016, dan menjadi 125 serangan pada 2017.
Dengan semangat antiteorisme, serangan AS tersebut tidak ditujukan kepada Houthi sehingga Houthi juga tidak menyerang AS, tetapi mengarahkan serangan kepada sekutu AS, Arab Saudi.
Selain isu terorisme, keterlibatan Barat di Yaman lebih bersifat tak langsung dengan menjadi pemasok utama persenjataan bagi pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi, terutama oleh AS, Inggris, dan Perancis.
Pemasok utama adalah AS. Sebagai eksportir senjata nomor satu dunia, AS menjadi penyokong senjata terbesar bagi Arab Saudi. Perancis dan Inggris, sebagai top 10 eksportir senjata pun, mendapatkan peran yang tidak kecil.
Khusus untuk Arab Saudi, AS mengekspor senjata senilai 8.391 juta dollar AS selama 2014-2017. Dalam kurun waktu yang sama, nilai ekspor senjata Inggris ke Arab Saudi sebesar 2.644 juta dollar AS, sedangkan nilai ekspor Perancis ke Arab Saudi sebesar 475 juta dollar AS. Total nilai impor senjata Arab Saudi dari tiga negara tersebut sejumlah 11.510 juta dollar AS atau hampir 90 persen dari total belanja senjata Arab Saudi yang bernilai 13.190 juta dollar AS dalam kurun waktu tersebut.
Dengan impor senjata Arab Saudi yang begitu dahsyat, setiap hari Yaman menjadi palagan muntahan senjata-senjata pasokan AS, Inggris, dan Perancis. Bukan hanya dari Arab Saudi, Yaman juga menjadi ajang perlombaan senjata dari negara-negara koalisi pimpinan Arab Saudi yang juga termasuk negara top 10 pengimpor senjata dunia 2017, misalnya Uni Emirat Arab.
Hubungan dagang yang besar tersebut membuat AS, Inggris, dan Perancis terkesan menutup mata terhadap besarnya korban perang di Yaman. Inggris, AS, dan Prancis menekan kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi, tetapi bersamaan itu juga mereka menjadi pemasok senjata utama pasukan koalisi.
Dalam kapasitas ketiga negara sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mereka mendukung intervensi Arab Saudi di Yaman melalui resolusi PBB Nomor 2216 tahun 2015. Akibatnya, bencana kemanusiaan terbesar abad ini di Yaman semakin parah.
Blokade kemanusiaan
Salah satu penyebab munculnya bencana kemanusiaan terbesar abad ini di Yaman adalah pemberlakuan blokade, baik oleh pasukan koalisi maupun oleh Houthi. Menurut UNOCHA, tragedi kemanusiaan di Yaman merupakan tragedi terbesar di dunia yang saat ini sedang terjadi. Sejumlah 22 juta orang, atau tiga perempat dari populasi, membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Pasca-serangan rudal pemberontak Houthi ke Riyadh yang berhasil digagalkan, pasukan koalisi memberlakukan blokade menyeluruh di Yaman, dari udara, laut, dan darat. Lembaga kemanusiaan dilarang masuk ke daerah yang dikuasai Houthi atas alasan keamanan.
Blokade tersebut memperbesar dampak perang terhadap warga sipil karena Yaman sangat tergantung dari bantuan luar. Bahkan, sebelum krisis, ekonomi Yaman sangat tergantung dari impor. Yaman mengimpor hampir 90 persen bahan makanan pokok, bahan bakar, dan obat-obatan. Ketika suplai dari luar diputus, Yaman sekarat.
Untuk mengurangi dampak perang, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pun menggelontorkan dana jutaan dollar AS. Namun, tetap saja masih dibutuhkan sejumlah 2 miliar dollar AS untuk menolong warga Yaman. Yaman masih membutuhkan bantuan dari luar.
Perundingan damai
Bantuan dari luar dapat masuk apabila jalur-jalur masuk Yaman dibuka oleh kedua belah pihak yang bertikai. Hal tersebut dapat dimulai di meja perundingan oleh Houthi dan pasukan pemerintah yang didukung oleh koalisi pimpinan Arab Saudi.
Sejak 2011, PBB menginisiasi berbagai perundingan untuk mempertemukan berbagai pihak yang sedang bertikai di Yaman.
Secara konkret, PBB mendirikan kantor khusus PBB untuk urusan Yaman dan melantik utusan khusus untuk Yaman pada 2012. Salah satu perundingan yang diprakarsai kantor khusus tersebut adalah Konferensi Dialog Nasional Yaman pada Januari 2014 yang melibatkan 565 delegasi dari semua kelompok politik di Yaman.
Hasil konferensi tersebut malah memicu konflik yang lebih besar dari kelompok Houthi. Mereka tidak puas dengan hasil koferensi dan memberontak pada pertengahan 2014 hingga dapat menguasai ibu kota Yaman pada September 2014.
Negosiasi damai yang diprakarsai PBB semakin dianggap sepi karena Presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi meminta intervensi koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi pada Maret 2015.
Konfrontasi Pemerintah Yaman dengan kelompok utara semakin memanas ditambah dengan berkembangnya pemberontakan di daerah selatan. Konflik di Yaman semakin memanas dengan berbagai serangan yang diklaim oleh AQAP dan NIIS.
Pada 2015, negosiasi yang difasilitasi PBB mulai mendapatkan titik terang dengan diadakannya beberapa pembicaraan langsung.
Terjadi tiga rangkaian pembicaraan langsung kedua belah pihak yang bertikai. Pertama, di Swiss pada Juni 2015 yang dilanjutkan pada Desember 2015. Negosiasi berlanjut selama April-Agustus 2016 di Kuwait. Pembicaraan damai ini gagal karena pemberontak Houthi menolak usulan PBB untuk menyudahi perang.
Selama 2018, langkah PBB semakin intensif pasca-pergantian utusan khusus PBB untuk Yaman dari Ismael Ould Cheikh Ahmed kepada Martin Griffiths pada Februari 2018. Griffith mendapat mandat untuk menyokong proses damai di Yaman dan menjadi penengah berbagai pihak yang bertikai untuk mengakhiri konflik di Yaman.
Gencatan senjata
Salah satu pencapaian Griffiths adalah mensponsori pertemuan pada awal Desember 2018 di Swedia antara Houthi dan pasukan pemerintah. Langkahnya diuntungkan karena bencana kemanusiaan di Yaman kembali menjadi sorotan dunia internasional pasca-kematian Jamal Khashoggi pada Oktober 2018.
Arab Saudi, sebagai pendukung pasukan Pemerintah Yaman, sedang disorot karena keterlibatannya terhadap pembunuhan Khashoggi. Sejumlah negara menginginkan penyelidikan yang menyeluruh atas kematian sang jurnalis. Mereka berjanji memberikan sanksi tegas terhadap pihak yang terlibat.
Kematian Khashoggi juga menjadi tamparan bagi negara-negara pengekspor senjata yang menikmati keuntungan finansial yang berlimpah dari perang di Yaman.
Pemerintah Inggris mendorong Arab Saudi untuk menghentikan perang di Yaman dan mendukung perundingan yang diprakarsai PBB. Sikap itu juga didukung oleh Perancis yang secara tegas akan memberikan sanksi penghentian pembelian senjata kepada Arab Saudi terkait kasus Khashoggi.
Langkah paling konkret ditampakkan oleh AS yang bersama PBB mencoba menggulirkan kembali perundingan damai antara kubu Pemerintah Yaman dan kelompok Houthi. (Kompas, 23/11/2018)
Pertemuan tersebut menghasilkan gencatan senjata dan penarikan pasukan pada Desember 2018. Gencatan senjata meliputi kota dan pelabuhan Hodeida, Ras Isa, dan Saleef yang berlaku efektif sejak Senin, 17 Desember 2018 pukul 21.00 waktu setempat.
Selain gencatan senjata, pertemuan tersebut juga menyetujui penarikan pasukan Houthi dari pelabuhan yang telah mereka kuasai sejak 2014 dalam waktu 14 hari dan menarik seluruh pasukan dari Hodeida dalam waktu 21 hari. Penarikan pasukan akan diawasi oleh PBB dan wakil dari kedua belah pihak.
Selanjutnya, ”penguasa lokal” akan menjadi penguasa pelabuhan. Mereka akan mengelola keuntungan pelabuhan dan mengirimkannya ke Bank Sentral Yaman. Dengan demikian, sejumlah 1,2 juta PNS yang telah dua tahun belum mengerima gaji akan dibayar oleh bank sentral.
Tanggapan media
Gencatan senjata tersebut menjadi sebuah pencapaian upaya perdamaian di Yaman pada akhir 2018. Media-media di Timur Tengah memberikan berbagai komentar yang kebanyakan berdiri di belakang pendapat Griffiths. Sang utusan khusus PBB menekankan perlunya lembaga monitor yang kuat untuk memastikan kedua belah pihak menjalankan hasil persetujuan.
Harian The Daily Star di Lebanon mengutip pernyataan Griffiths tentang perlunya tim pemantau yang kuat di Hoeida, Yaman, dengan menurunkan berita ”UN Yemen envoy: Robust monitoring regime needed”. Kedua belah pihak yang berkonflik harus dipastikan untuk patuh karena pertempuran masih pecah di daerah pinggiran Hodeida.
Surat kabar Arab News terbitan Arab Saudi menekankan peran putra mahkota Mohammed bin Salman yang mendesak Houthi agar mendukung terwujudnya solusi politik terhadap konflik di Yaman dengan berita ”Saudi King, MBS urge Houthis to back political solution in Yemen”.
Media tersebut juga menegaskan pernyataan raja dan putra mahkota Arab Saudi tentang peran Arab Saudi untuk selalu terlibat dalam mencari solusi politik di Yaman. Arab Saudi ingin menjamin keamanan dan stabilitas negara. Oleh karena itu, disebutkan bahwa putra mahkota telah mengerahkan upaya yang besar untuk memastikan keberhasilan pembicaraan di Swedia.
Koran Gulf News di Uni Emirat Arab menggarisbawahi pernyataan Griffiths untuk memperkuat lembaga pemantau bagi pelaksanaan gencatan senjata dengan menurunkan berita ”Griffiths pushes for monitors in Yemen”.
Masa depan Yaman
Berbagai pihak menyatakan bahwa bencana kemanusiaan di Yaman dapat diatasi apabila konflik dapat diselesaikan. Negosiasi semua pihak yang bertikai diperlukan agar solusi politik dapat segera dicapai.
Gencatan senjata yang disepakati dapat membuka jalur bantuan melalui pelabuhan Hodeida menuju daerah konflik. Selain itu, gencatan senjata dapat menjadi pijakan positif dalam melakukan perundingan selanjutnya pada Januari 2019 untuk membentuk pemerintahan transisi.
Mengutip pernyataan Tawakkol Karman, jurnalis perempuan peraih Nobel Perdamaian 2011, menghentikan perang di Yaman sangat mudah. Hentikan intervensi langsung ataupun tidak langsung ke Yaman!
Hal itu melibatkan penghentian pengiriman senjata AS dan negara-negara lain ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Selain itu, Dewan Keamanan PBB harus mengeluarkan resolusi untuk menghentikan perang serta meminta Arab Saudi dan UEA menarik pasukannya dari Yaman. Di pihak lain, Houthi juga harus mengurangi tindakan mereka yang merusak.
Dalam praktiknya, seruan Tawakkol Karman tak akan berjalan semudah itu.
Motif keuntungan ekonomi selama ini telah membungkam negara-negara yang berada di garda depan penegakan hak asasi manusia. Fakta bencana kemanusiaan di Yaman tak menggerakkan negara-negara tersebut untuk segera menghentikan perang karena mereka diuntungkan oleh perang Yaman. Mereka baru tertampar saat Khashoggi tewas ketika menyuarakan perang di Yaman seorang diri.
Khashoggi hanya dapat mati sekali demi menghentikan intervensi Arab Saudi di Yaman. Komitmen kedua belah pihak yang bertikai dalam gencatan senjata dinantikan. Namun, lebih dinantikan lagi kemauan para pihak yang mengambil keuntungan dari perang Yaman untuk menghentikan pasokan senjata mereka. Cukup sudah mengambil keuntungan dari perang di Yaman! (LITBANG KOMPAS)