Gebrakan politik telah ditunjukkan Partai Demokrat yang kala itu terhitung sebagai partai baru, tetapi sukses mengantar duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada Pemilu 2004. Peristiwa itu dapat menjadi angin segar bagi partai-partai baru sekarang yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019. Masalahnya, hingga pekan ke-10 masa kampanye, belum terasa dobrakan yang dilakukan partai-partai ”hijau” untuk menghadapi partai-partai lama.
Di samping menghadapi partai-partai lama yang sudah populer, partai baru juga akan menghadapi metode baru dalam penentuan kursi, yang diperkirakan akan mereduksi peluang mereka. Metode penentuan kursi per daerah pemilihan (dapil) pemilu kali ini akan menggunakan teknik sainte lague, berbeda dari metode bilangan pembagi pemilih (BPP) pada pemilu sebelumnya.
Dengan sistem ini, peluang partai yang tergolong baru kian sedikit jika disandingkan dengan partai-partai besar di dapil unggulannya masing-masing. Diperlukan usaha ekstra bagi partai beserta calegnya untuk meraih simpati masyarakat.
Sayangnya, sejauh ini pergerakan partai politik dan calegnya hanya sebatas promosi bungkusan luar saja. Terbukti, dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 28-29 November 2018, sebanyak 29,2 persen responden hingga saat ini melihat kampanye caleg ataupun parpol hanya dalam bentuk pemasangan baliho atau spanduk di daerah mereka. Bahkan, sebanyak 33,1 persen sama sekali belum melihat di daerah mereka adanya pergerakan kampanye parpol.
Mungkin saja, kurangnya intensitas kehadiran parpol di tengah masyarakat dipengaruhi oleh alasan utama para pemilih dalam menentukan pilihannya. Nyatanya, sebanyak 41,9 persen responden memilih parpol dengan alasan visi misi ataupun ideologi yang diusung parpol. Jumlah ini terpaut jauh dari 5,5 persen responden yang memilih parpol karena kegiatan yang diadakan oleh parpol di daerah mereka.
Temuan di atas menggambarkan bahwa kegiatan sosial ataupun kampanye di daerah pemilihan tidak menjadi penentu utama bagi pemilih untuk memilih parpol. Substansi visi misi beserta ideologi yang diusung parpol menjadi hal yang justru lebih diberi porsi besar bagi calon pemilih. Rumusan ini tentu menguntungkan partai-partai lama yang ideologi dan arah partainya sudah diketahui khalayak. Lantas, bagaimana dengan partai-partai baru?
Gaya komunikasi
Keempat partai politik yang tergolong baru pada pemilu nanti memiliki gaya komunikasi yang khas. Perbedaan ini tentu tergambar dari sikap ataupun pernyataan-pernyataan yang disampaikan perwakilan partai kepada publik. Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) menjadi partai penyandang status pendatang baru dalam pemilu nanti.
Boleh jadi, di antara keempat partai politik baru yang berpartisipasi pada Pemilu 2019, PSI menjadi partai yang paling sering muncul di media massa. Mulai dari sikapnya yang langsung merapat ke calon presiden nomor urut 01, sikap mengenai peraturan daerah tentang agama yang mengundang kontroversi, hingga tersebarnya foto palsu sang pemimpin partai nomor 11 ini. Di tambah lagi, kehadiran para kadernya yang menampilkan ”wajah” perempuan dan anak-anak muda sering kali mengisi media massa ataupun media sosial.
Walaupun cukup agresif, kiprah PSI masih kalah start jika dibandingkan Perindo yang sudah memulai sepak terjangnya selepas Pemilu 2014. Perindo melalui media massa milik pendiri dan ketua umumnya, Hary Tanoesoedibjo, telah menggaungkan mars dan jargon-jargonnya kepada publik. Ditambah lagi, pelatihan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kepada masyarakat masih terus digencarkan di daerah-daerah.
Jika ada partai baru yang secara gamblang menampilkan ideologinya, maka perhatian langsung ditujukan kepada Partai Berkarya. Dalam tampilan situs resmi partai dan siaran persnya, partai yang berdiri pada 2016 ini menampilkan sosok mantan presiden RI Soeharto.
Hal ini semakin ditegaskan oleh Priyo Budi Santoso, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, dengan berpesan kepada para caleg partai untuk mengampanyekan jargon ”Lebih Enak Zamanku Tho” kepada masyarakat.
Berbeda dari ketiga partai baru di atas, Partai Garuda lebih memilih gerakan kampanye yang berbeda. Pola kerja yang sunyi, tenang, dan tidak jemawa adalah gaya yang dipilih seperti yang dikatakan Sekjen Partai Garuda, pada 28 September 2019. Partai yang dideklarasikan pada 16 April 2015 ini cenderung memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah mikro yang terdapat di daerah-daerah.
Jika melihat laporan awal dana kampanye (LADK), PSI tercatat sebagai satu-satunya partai baru yang memiliki dana hingga miliaran rupiah. Sementara itu, Partai Garuda dan Perindo berada di urutan terbawah dengan laporan dana awal sebesar Rp 1 juta. Belakangan diklarifikasi oleh kedua partai bahwa dana sebesar Rp 1 juta tersebut merupakan dana yang digunakan untuk membuka rekening awal partai.
Padahal, besaran LADK dapat menjadi parameter masyarakat untuk menilai partai politik yang menunjukkan keseriusannya dalam kontestasi ke depan. Harus diakui, tahap awal tersebut kurang dimaksimalkan dengan baik oleh Partai Garuda dan Perindo. Setidaknya, PSI dan Partai Berkarya terlihat ”cukup” bersaing dengan partai-partai lama dalam daftar dana awal yang dihimpun KPU.
Dua Arah
Nicholas O’Shaughnessy, profesor komunikasi asal Inggris, dalam bukunya, Towards an Ethical Framework for Political Marketing (2002), menuliskan bahwa partai politik seharusnya juga menjalankan pemasaran (marketing) politik. Hal ini berguna untuk memelihara hubungan dua arah dengan publik. Jika kampanye politik lebih cenderung pada kegiatan tiap menjelang pemilihan, pemasaran politik lebih menunjukkan suatu keberlanjutan dan kedekatan relasi partai kepada masyarakat.
Sayangnya, pesan yang dicanangkan O’Shaughnessy belum terlihat nyata dalam pergerakan partai-partai baru. Jangankan melihat program yang terus berlanjut, kegiatan-kegiatan parpol pada masa kampanye hingga saat ini tergolong sepi. Program nyata partai seperti kegiatan sosial sesungguhnya dapat mendatangkan citra yang baik bagi publik dan menghadirkan peluang keterpilihan.
Masih dalam survei yang sama, sebanyak 71,2 persen responden setuju bahwa kegiatan sosial yang diadakan parpol merupakan bentuk kontribusi nyata bagi masyarakat. Hanya 24,1 persen responden yang tidak setuju. Temuan ini seharusnya dapat menjadi sinyal positif bagi parpol, terutama bagi para pendatang baru untuk terjun ke masyarakat secara langsung dengan berbagai kegiatannya.
Bagaimanapun, komunikasi ataupun pemasaran politik dua arah menjadi hal yang dinantikan pada masa kampanye ini. Kehadiran parpol-parpol baru, terutama dalam memeriahkan pesta demokrasi tahun depan, selayaknya disertai kehadiran nyata di tengah masyarakat. Dengan begitu, parpol dapat menyampaikan visi misi dan ideologinya dan masyarakat dapat mengenal lebih dekat. (Yohanes Mega Hendarto/LITBANG KOMPAS)