Kisah 15 Tahun Politik Sukarelawan
Menjelang tahun 2004, dunia politik Indonesia mulai mengenal istilah sukarelawan. Sukarelawan politik itu semakin banyak diberitakan berbagai media, mulai dari cetak, elektronik, hingga jagad dunia maya dalam beberapa waktu belakangan.
Istilah sukarelawan atau kesukarelawanan (volunteerism) umumnya identik dengan respons spontan untuk memberikan bantuan. Ada daya keterlibatan yang muncul dari inisiatif independen untuk melakukan sesuatu bagi kebaikan bersama tanpa keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa dikte pemerintah atau partai politik (Herry Priyono, Kompas, 16/5/16).
Gerakan untuk membantu ini biasanya muncul ketika orang mengetahui situasi darurat atau menimbulkan keprihatinan. Oleh karena itu, banyak sukarelawan muncul ketika terjadi bencana alam, yang sering disebut dengan sukarelawan kemanusiaan. Di samping itu, ada juga sukarelawan pemberdayaan masyarakat yang tergerak melihat keadaan kesehatan, pendidikan, atau lingkungan yang memprihatinkan.
Dalam ajang pemilu, sukarelawan politik sudah hadir 15 tahun lalu ketika kelompok sukarelawan SBY menjadi tim sukses duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) yang kemudian terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009. Setelah SBY-JK terpilih, sukarelawan SBY kembali di mendeklarasikan dukungan kepada SBY pada Pemilu 2009 dengan nama Sukarelawan Bangsa.
Pada waktu yang hampir sama, muncul kelompok sukarelawan bernama Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa). Gerakan yang dideklarasikan 12 September 2004 ini bertujuan menggalang dukungan masyarakat guna memperbaiki moral masyarakat dan bangsa secara sukarela. Deklarasi Gema Nusa ini dihadiri sejumlah tokoh nasional, antara lain Agum Gumelar yang pada Pemilu 2004 maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Hamzah Haz.
Sukarelawan di pilkada
Tiga tahun sesudah pemilu presiden, gerakan sukarelawan politik bangkit kembali mengawal kontestasi politik. Kali ini, sukarelawan muncul di ranah politik lokal, mendukung Jokowi-Ahok pada Pilkada Jakarta 2012.
Munculnya sukarelawan Jokowi-Ahok saat itu berangkat dari fenomena politik pemilih yang lebih berorientasi pada figur atau sosok alternatif baru. Muncul Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) dan Jokowi Advanced Social Media Volunteers (JASMEV) yang dibentuk untuk mendukung Jokowi sejak Pilkada DKI Jakarta 2012 dan menjadi wadah sukarelawan Jokowi di media sosial.
Tahun 2015, pergerakan sukarelawan muncul kembali lewat ”Teman Ahok” yang mendukung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) agar bisa maju secara independen dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Teman Ahok mengajak warga Jakarta mengumpulkan fotokopi kartu tanda penduduk. Untuk bisa mencalonkan Ahok secara independen, Teman Ahok harus menggalang 1 juta KTP sebelum akhir 2015. Teman Ahok memiliki 32 posko yang tersebar di 32 kelurahan.
Lima tahun kemudian, kelompok sukarelawan Perjuangan Anak Bangsa bersama kelompok-kelompok sukarelawan lainnya memberikan dukungan kepada pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Jawa Timur 2018.
Pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul yang memenangkan Pilkada Jawa Barat tahun 2018 juga didukung sekelompok masyarakat Jawa Barat yang membentuk wadah sukarelawan Baraya Ridwan Kamil. Adapun di Jawa Tengah, kelompok-kelompok sukarelawan seperti Dulur Ganjar juga terbentuk dan memberikan dukungan kepada pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin, pemenang Pilkada Jawa Tengah tahun lalu.
Sukarelawan di pilpres
Setelah sukses mengantar pasangan SBY-Kalla dalam Pemilihan Presiden 2004 dan 2009, eksistensi sukarelawan kian santer pada masa pemilihan presiden berikutnya.
Setiap kubu capres-cawapres, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-Kalla mempunyai barisan sukarelawan yang sangat solid. Tercatat sejumlah nama barisan sukarelawan yang terbentuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. Kelompok sukarelawan itu antara lain Komunitas Pendukung Prabowo (Koppra), Praja, Patriot Indonesia Raya (Patria), dan Sukarelawan Jaringan Mahasiswa Nusantara (Jaman).
Kelompok sukarelawan juga membentuk dukungan di kubu Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014. Kelompok sukarelawan itu antara lain Projo (Pro Jokowi), Barisan Sukarelawan Jokowi Presiden (Bara JP), Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Sukarelawan Buruh Sahabat Jokowi (RBSJ) dan Kawan Jokowi (Koalisi Anak Muda dan Sukarelawan Jokowi).
Kehadiran sukarelawan memberikan sumbangan nyata bagi kedua pasangan calon di Pilpres 2014. Kontestasi kedua paslon berjalan cukup ketat, berakhir dengan perolehan suara 70,8 juta (53,15 persen) untuk pasangan Jokowi-Kalla dan 62,58 juta (46,85 persen) untuk pasangan Prabowo-Hatta.
Makna sukarelawan
Kiprah sukarelawan yang berkembang sedemikian dalam di ajang kontestasi politik lambat laun ikut memperkaya makna sukarelawan. Istilah sukarelawan tidak serta-merta identik dengan keprihatinan atas persoalan-persoalan kemanusiaan secara universal. Gerakan sukarelawan yang semula lebih bersifat reaksi spontan merespons situasi, kemudian menjadi gerakan yang terorganisasi sejak awal pembentukannya.
Gerakan sukarelawan yang terorganisasi sejak awal sedikit banyak juga dilatarbelakangi oleh ”desain peristiwa”. Mengutip Roger Calantone dan Warshaw dalam studi mereka yang berjudul Negating the Effects of Fear Appeals in Election Campaigns (1985), kandidat yang terlibat di arena kontestasi politik seperti pemilihan umum mungkin saja memberikan kesan bahwa lawan mereka adalah sosok berbahaya.
Salah satu atau semua kandidat berusaha memberikan kesan itu kepada lawan mereka agar menimbulkan rasa takut atau kecemasan para pemilih. Konteks ketakutan dalam dalam hal ini tidak hanya dilihat oleh pemilih sebatas ancaman secara fisik, tetapi masalah ketakutan yang lebih kompleks seperti ancaman bencana ekonomi atau disintegrasi sosial.
Studi lain oleh Edgar Howarth yang berjudul berjudul Personality Characters of Volunteers (1976) menyimpulkan, orang terdorong hati nuraninya menjadi sukarelawan untuk mengurangi kecemasan. Dalam konteks melihat satu atau beberapa kandidat politik yang berbahaya, pemilih menganggap hati nurani mereka sebagai bentuk kecemasan sehingga bekerja secara sukarela untuk mengurangi kecemasan
Fenomena sukarelawan politik yang semakin masif dalam Pemilu 2019 juga hadir sejalan dengan maraknya kebencian yang berujung kecemasan. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, laporan penanganan konten negatif, termasuk situs bermuatan SARA, terus meningkat dari 87 konten tahun 2016, 183 konten tahun 2017, dan 186 konten negatif tahun lalu. Sepanjang Agustus-Desember 2018, Kominfo menemukan ada 62 konten hoaks terkait Pilpres dan Pemilu Legislatif 2019.
Kontestasi sukarelawan
Dalam Pemilu 2019, sukarelawan hadir di wilayah-wilayah kantong suara setiap kandidat untuk memperebutkan suara pemilih. Data yang dihimpun Kompas hingga Desember 2018, sukarelawan Jokowi-Ma’ruf tercatat ada 1.827 kelompok, sedangkan Prabowo-Sandiaga memiliki 1.386 kelompok sukarelawan (Kompas, 11 Februari 2019).
Secara kuantitas, data jumlah kelompok sukarelawan yang dihimpun Kompas dari kubu Prabowo-Sandi mungkin tidak sebanyak kubu Jokowi-Amin. Kendati demikian, banyaknya sukarelawan secara kuantitas tidak serta-merta menjamin tercapainya kemenangan.
Data sebaran sukarelawan yang berhasil dihimpun Kompas menunjukkan kubu Prabowo-Sandi menempatkan 215 kelompok sukarelawan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan sukarelawan Jokowi-Amin berjumlah 70 kelompok.
Kedua provinsi tersebut bisa dikatakan tempat yang strategis untuk menempatkan kelompok sukarelawan. Sebanyak 30,91 juta orang atau sekitar 16,20 persen pemilih berada di Jawa Timur dan 27,89 juta pemilih atau sekitar 14,62 persen berada di Jawa Tengah. Dengan hampir 50 persen suara parpol pendukung Jokowi-Amin di setiap daerah tersebut, menjadi pilihan tepat bagi kubu Prabowo-Sandi melakukan penguatan pada kedua provinsi ini.
Sejalan dengan itu, data pemilih oleh KPU juga menunjukkan bahwa Sumatera menjadi salah satu wilayah yang jumlah pemilihnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebanyak 21,73 juta orang atau sekitar 11,39 persen dari total pemilih berada di Sumatera dan Partai PDI-P menguasai perolehan suara parpol di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Melihat bahwa wilayah ini merupakan kantong kemenangan lawan, kubu Prabowo-Sandi menempatkan hampir 40 persen kelompok sukarelawan pada wilayah ini.
Sebaliknya, sukarelawan kubu Jokowi-Amin lebih banyak di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Ada 1.643 kelompok sukarelawan Jokowi-Amin di tiga provinsi tersebut, sedangkan sukarelawan Prabowo-Sandi hanya 432 kelompok. Partai Gerindra yang mengusung Prabowo-Sandi memperoleh suara tertinggi di Jawa Barat dan Banten pada Pemilu Legislatif 2014.
Pada akhirnya, Pemilu 2019 tidak hanya menjadi kontestasi dua kandidat presiden, tetapi juga kontestasi dua kubu sukarelawan. (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)