Membedah Keunggulan MRT, LRT dan KRL
Walaupun memiliki kesamaan sebagai angkutan massal berbasis rel, KRL jaringan lama dengan MRT dan LRT mempunyai peran masing-masing dengan sejumlah kekhasan yang saling melengkapi. Seperti apakah keunggulan masing-masing angkutan massal ini?
Angkutan umum massal dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai Mass Rapit Transit. Sistem Mass Rapid Transit contohnya adalah Bus Rapid Transit, heavy rail transit, dan Light Rail Transit.
Heavy Rail Transit merupakan sistem angkutan menggunakan kereta berkinerja tinggi yang beroperasi di jalur-jalur khusus eksklusif, tanpa persimpangan dengan bangunan stasiun besar. Di Jabodetabek, kereta berkinerja tinggi tersebut adalah KRL (Commuter Line atau CL) yang biasa dikenal sebagai Kereta Rel Listrik (KL).
Akhir Maret nanti, Jakarta akan mendapat tambahan anggota baru jaringan massal angkutan rel, yakni Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Keberadaan MRT bersama dengan KRL yang sudah ada sebelumnya serta satu lagi moda baru yakni LRT, saling mendukung penguatan jaringan angkutan umum massal Jabodetabek. Kehadiran angkutan massal berbasis rel ini akan terhubung bersama bus TransJakarta, angkutan massal lain berbasis jaringan jalan raya.
Angkutan massal tidak bisa disamakan dengan angkutan umum. Angkutan massal, menurut Modul ”Opsi Angkutan Massal: Transportasi Berkelanjutan”, beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah serta digunakan secara eksklusif.
Moda ini beroperasi sesuai jadwal yang ditetapkan dengan rute yang didesain dengan perhentian-perhentian tertentu. Angkutan massal ini juga mengangkut banyak orang sehingga mengurangi volume lalu lintas di jalan raya. Dengan ciri khas kepastian waktu dan daya angkut yang besar, dapat dikatakan angkutan massal merupakan bagian angkutan umum, tapi belum tentu angkutan umum merupakan angkutan massal.
Sebelum ini, warga Jabodetabek hanya mengenal KRL sebagai angkutan massal berbasis rel yang jaringannya dibangun sejak jaman Belanda (1925). Adapun di jalan raya, masyarakat mengenal bus TransJakarta sebagai angkutan massal berbasis jalan raya yang melayani sistem transportasi Jabodetabek.
Kapasitas Penumpang
Sekilas, MRT terlihat serupa dengan LRT atau KRL karena sama-sama mengandalkan jaringan rel. Tetapi, sebenarnya ketiga angkutan massal ini memiliki perbedaan dari sisi kapasitas penumpang, perlintasan dan teknologi yang digunakan, serta fungsi layanan transportasinya.
Daya angkut penumpang menjadi pembeda utama antara MRT dan Komuter dengan LRT. Kapasitas MRT dan KRL kurang lebih sama, meski jumlah kereta dalam rangkaiannya berbeda. MRT yang menarik enam kereta, bisa mengangkut sekitar 1.950 orang setiap rangkaiannya. Adapun KRL yang biasanya menarik 10-12 kereta, daya tampungnya sekitar 2.000 orang per rangkaian.
Kapasitas LRT sesuai dengan namanya Light Rail Transit lebih sedikit yakni sekitar 540 orang per rangkaian. Kapasitasnya yang kecil ini justru menjadi kelemahan bagi kereta ringan ini. LRT dibangun sebagai penghubung transportasi wilayah pinggiran Bekasi dan Cibubur dengan Jakarta. Idealnya, sebagai angkutan massal penghubung, digunakan angkutan massal berkapasitas besar seperti KRL ataupun MRT.
Jika penyediaan rangkaian kereta kurang memadai, tidak tertutup kemungkinan penumpukan penumpang di dalam LRT terjadi saat jam kerja pagi dan pulang kantor saat beroperasi nantinya. Penumpukan yang mengakibatkan ketidaknyamanan akan membuat orang yang sudah menggunakan LRT, kembali menggunakan kendaraan pribadi.
Namun, kemungkinan ini bisa teratasi jika merujuk rencana transportasi Jabodetabek. Peran LRT sebagai penghubung kawasan pinggiran Bekasi dan Bogor ke pusat kota akan terhubung dengan KRL juga sehingga tidak berdiri sendiri.
Perlintasan
Pembeda lainnya adalah soal perlintasan. Perlintasan MRT dan LRT mempunyai jalur sendiri baik melayang ataupun di bawah tanah sehingga tidak mengganggu lalu lintas jalan raya. Perlintasan MRT mulai dari Stasiun Lebak Bulus – Fatmawati – Cipete Raya – Haji Nawi – Blok A – Blok M – Sisingamangaraja, melayang di atas tanah.
Adapun setelah itu dari stasiun Senayan – Istora – Bendungan Hilir – Setiabudi – Dukuh Atas – Bundaran HI berada di bawah tanah. Perlintasan LRT jalur Cibubur – Cawang , Bekasi – Cawang dan Kelapa Gading – Velodrome semuanya menggunakan jalur layang di atas tanah.
Hanya KRL yang selama ini menggunakan jaringan rel jaman Belanda yang masih berada di atas tanah dan banyak sekali bersinggungan dengan jalan raya. Tercatat di Dinas Perhubungan DKI Jakarta, terdapat 481 pintu perlintasan sebidang di kawasan Jabodetabek. Sebanyak 337 perlintasan resmi milik PT KAI, sedangkan 144 tidak resmi. Selama rangkaian kereta lewat, selama beberapa menit, lalu lintas harus ditutup dengan pintu perlintasan kereta.
Keberadaan perlintasan sebidang ini sering menimbulkan sejumlah masalah, mulai dari urusan kecelakaan karena kendaraan yang menerobos palang pintu kereta api hingga korban jiwa akibat kecerobohan orang yang menyeberang rel. Perlintasan sebidang kereta ini juga menyebabkan headway KRL tidak bisa lebih cepat dibandingkan MRT ataupun LRT yang mempunyai perlintasan sendiri. Waktu tunggu KRL sekitar 10 menit pada jam sibuk dan 20 menit di luar jam sibuk.
KRL menggunakan perlintasan layang pada jalur Jakarta Kota-Bogor, Jakarta Kota-Bekasi yang menggunakan perlintasan layang. Jalur melayang dimulai setelah Stasiun Manggarai, melewati Stasiun Cikini, Gondangdia, Juanda, Sawah Besar, Mangga Besar, dan Jayakarta. Perlintasan lainnya masih ada di atas tanah sehingga terkadang masih terganggu oleh lalu lintas jalan raya.
Fungsi Layanan
Sesuai namanya, KRL menghubungkan wilayah pinggiran Bodetabek dengan Jakarta dengan sembilan rute. Fungsinya mengangkut penumpang komuter yang bertempat tinggal di Bodetabek dan beraktivitas sehari-hari di Jakarta. Dilansir dari laman Krl.co.id, hingga Juni 2018 jumlah penggunanya mencapai satu juta orang pada hari kerja. Rekor jumlah pengguna terbanyak yang dilayani dalam satu hari adalah 1,15 juta orang.
Meskipun sejumlah jalur melewati pusat kota Jakarta tapi belum bisa menjangkau seluruh wilayah Jakarta. Peran penghubung diambil alih oleh bus TransJakarta yang rutenya sampai Januari 2019 telah mencapai 155 rute.
Adapun LRT, fungsinya juga sama dengan KRL, hanya saja memilih jalur yang selama ini tidak dilewati angkutan massal serta menopang KRL. LRT jurusan Cibubur – Cawang, misalnya yang jalur layangnya dibuat di samping tol Jagorawi. Selama ini warga Cibubur lebih mengandalkan kendaraan pribadi yang setiap harinya melewati sejumlah titik macet. Baru empat rute TransJakarta menjangkau kawasan tersebut sehingga mengurangi volume lalu lintas kendaraan pribadi.
Kemudian LRT jalur Bekasi-Cawang dengan perlintasan di samping tol Bekasi, membantu peran KRL Bekasi yang selama ini cukup overload. Belum semua warga Bekasi memanfaatkan KRL karena jalur ke timur hanya berhenti sampai Stasiun Bekasi saja. Padahal berkembang kawasan permukiman ke Bekasi Timur hingga Cikarang. Selama ini, warga Bekasi Timur-Cikarang lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi.
Ada pula LRT yang melayani jalur di dalam kota yakni Velodrome – Kelapa Gading. Awalnya jalur tersebut dibangun sebagai persiapan Asian Games 2018 lalu sebagai penghubung kawasan olahraga Velodrome dengan kawasan komersial Kelapa Gading. Namun karena belum mendapat kelaikan jalan dari Kementerian Perhubungan, sampai sekarang jalur tersebut belum digunakan. Rencananya LRT akan dioperasikan bersamaan dengan MRT pada akhir Maret nanti. LRT Velodrome-Kelapa Gading fungsinya menghubungkan simpul-simpul pusat kegiatan di timur hingga utara Jakarta.
Terakhir, kereta MRT yang dibangun sebagai jalur rel backbone di tengah kota, menghubungkan kawasan selatan hingga pusat Jakarta. Jalur MRT melewati beberapa simpul kegiatan kota seperti kawasan Blok A, Blok M, Istora Senayan, Dukuh Atas, hingga Bundaran HI. Meskipun belum beroperasi penuh sampai ke utara Jakarta, MRT cukup membantu masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan Pondok Cabe, Ciputat, Pamulang, dan Cinere untuk menuju pusat Jakarta.
Ketiga jaringan angkutan rel yang sudah dan akan hadir, ditunjang dengan transportasi publik Jabodetabek bersama Bus TransJakarta. Bagi masyarakat, khususnya warga Jabodetabek, moda-moda angkutan massal ini dapat menjadi alternatif sarana transportasi untuk menghindari kemacetan lalu lintas. (M. Puteri Rosalina/Litbang Kompas)