Menuju Perikanan Laut 4.0
Lompatan teknologi memberikan harapan baru pada bangsa ini dalam mengelola perikanan laut. Bukan tidak mungkin, ke depan, para nelayan memperoleh hasil laut semudah memanen ikan di kolam. Mimpi ini akan terwujud manakala Indonesia mampu memadukan teknologi, alat produksi, dan peningkatan kecakapan para nelayan.
Perikanan laut Indonesia adalah salah satu sektor ekonomi yang sangat menjanjikan. Tengok saja besaran potensinya. Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang ketiga terbesar di dunia dan terpanjang di Asia.
Berdasarkan data Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA), luas wilayah perairan Indonesia berada di peringkat ke-10 dari total 154 negara yang memiliki wilayah perairan di seluruh dunia. Publikasi World Economic Forum tahun 2017 menunjukkan, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 83 negara di dunia yang lebih dari separuh negaranya adalah wilayah perairan.
Namun, luasnya lautan Indonesia berbanding terbalik dengan kontribusinya dalam pasokan ikan dunia. Publikasi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2018 menunjukkan ironi kondisi perikanan laut Indonesia dengan sejumlah negara.
Dengan luas wilayah laut mencapai 93.000 kilometer persegi, ekspor produk perikanan tangkap Indonesia hanya 8 persen dari total 79,3 juta ton produksi perikanan tangkap dunia. Sementara Vietnam, dengan luas perairan laut hanya seperlima Indonesia, mampu berkontribusi hingga 4 persen produksi perikanan tangkap dunia.
Ironi semakin tajam jika melihat nilai ekspor produk perikanan dua negara ini. Tahun 2017 tercatat perikanan tangkap Indonesia berada di urutan ke-11 dunia dengan nilai ekspor 4,2 juta dollar AS, sementara Vietnam berada di urutan keempat dunia dengan nilai ekspor 7,5 juta dollar AS.
Hal yang sama terjadi jika membandingkan Indonesia dengan China. Komposisi daratan dan wilayah perairan China hanya di urutan ke-143 dengan wilayah laut hanya 3 persen dari keseluruhan wilayah negara itu.
Ketimpangan
Rendahnya kapasitas produksi dan nilai ekspor perikanan tidak lepas dari beberapa faktor. Salah satunya adalah rendahnya kemampuan produksi perikanan tangkap antarwilayah laut di Indonesia.
Dalam skala nasional, produksi perikanan tangkap memang cenderung meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Langkah tegas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia menenggelamkan kapal ikan ilegal sejak 2014 terbukti ampuh mendongkrak angka produksi. Produksi ikan tangkap nasional meningkat dari 6,21 juta ton ikan tangkap diproduksi pada 2014 dan meningkat menjadi 6,42 juta ton pada 2017.
Kendati demikian, produksi ikan pada 2017 baru mencapai lebih kurang separuh (51,2 persen) dari seluruh potensi perikanan laut yang ada di Indonesia. KKP Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 50/KepMen/2017 memublikasikan bahwa estimasi potensi sumber daya ikan Indonesia pada 2017 mencapai 12,54 juta ton.
Potensi sumber daya ikan tersebut terbagi atas 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menurut zonanya. Dengan kata lain, setengah dari potensi perikanan nasional sebenarnya belum mampu dimanfaatkan.
Lantas, mengapa Indonesia belum mampu optimal memanfaatkan potensi perikanannya? Faktor lain yaitu ketimpangan kemampuan berproduksi agaknya turut berkontribusi terhadap persoalan tersebut.
Gambaran ketimpangan setidaknya bisa dilihat dari contoh perbandingan potensi dan kemampuan produksi perikanan tangkap antara wilayah Maluku dan Papua dengan Sumatera. Potensi sebesar 2,64 juta ton atau sekitar 21 persen dari seluruh potensi perikanan tercatat berada di WPPNRI 718. Wilayah ini mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur di Provinsi Maluku dan Papua.
Melihat potensi yang cukup besar, seharusnya Papua dan Maluku mampu memproduksi ikan dalam jumlah yang besar. Namun, data 10 besar produsen perikanan tangkap yang dipublikasikan oleh KKP tahun 2017 menunjukkan fakta berbeda.
Provinsi Maluku, mewakili produsen besar perikanan tangkap seluruh wilayah kepulauan Maluku, hanya mampu memproduksi sekitar 603.000 ton (9,4 persen) dari total produksi perikanan tangkap nasional. Bahkan, Papua tidak tercatat dalam daftar 10 besar produsen perikanan laut nasional.
Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara tercatat sebagai produsen perikanan laut di peringkat pertama tahun 2017. Sebanyak 715,4 ribu ton atau sekitar 11,1 persen dari total hasil perikanan tangkap nasional berada di perairan Sumatera Utara. Secara zona, Provinsi Sumatera Utara hanya masuk ke dalam dua WPP dengan potensi lebih kurang 1,67 juta ton (13,29 persen) bersama dengan beberapa provinsi lain.
Modal
Wilayah kepulauan Maluku dikelilingi oleh lima WPP dengan total potensi 6,32 juta ton atau sekitar 50,40 persen dari total potensi nasional bersama dengan provinsi lainnya. Seharusnya Maluku mampu menghasilkan lebih besar daripada Sumatera Utara.
Ketidakmampuan Maluku dan Papua mengelola potensi sumber daya ikan yang ada disebabkan kurangnya fasilitas modal produksi. Berbeda dengan Sumatera Utara yang memiliki fasilitas cukup memadai. Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang memiliki pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan kelas A. Pelabuhan ini mampu menampung 100 kapal dengan kapasitas lebih dari 60 gross ton (GT) setiap kapalnya dalam waktu bersamaan.
Rata-rata kapal motor yang berlabuh di pelabuhan ini sebanyak 9.981 kapal dengan kapasitas 6 GT hingga lebih dari 100 GT per hari pada 2017. Belum lagi pelabuhan kelas B (Nusantara) dan kelas D (Pendaratan Ikan) yang dimiliki Sumatera Utara.
Berbanding terbalik, Maluku dengan potensinya yang besar justru hanya memiliki dua jenis pelabuhan, yaitu kelas B dan kelas D. Sejumlah 583 kapal berlabuh di dua jenis pelabuhan milik Maluku. Hanya sekitar 5,84 persen dari perahu milik Sumatera Utara di PPS. Bahkan, Maluku tidak memiliki kapal dengan kapasitas lebih dari 100 GT.
Kendala modal tidak hanya bersifat fisik. Modal mutu sumber daya nelayan juga terbilang masih rendah. Para nelayan ini, merujuk statistik sumber daya laut dan pesisir Badan Pusat Statistik pada 2017, lebih dari separuhnya menjadikan hasil tangkapan laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan.
Tingkat pendidikan nelayan, berdasarkan data survei pertanian tahun 2013, sebagian besar hanya sampai tingkat SD (47,56 persen) serta masih banyak yang tidak bersekolah atau tamat SD (30,93 persen).
Laporan penelitian Khodijah Ismail, Firmansyah Kusasi, dan Ria Fitriana berjudul ”Perikanan Natuna dan Kesejahteraan Nelayan Pasca Penerapan Kebijakan IUU Fishing”, Desember 2018, menjelaskan perbandingan kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai berikut.
Jumlah orang miskin di pesisir di Indonesia mencapai 33,77 juta jiwa (13 persen), Vietnam mencapai 12,44 juta (5 persen), dan China sebanyak 11,75 juta (5 persen). Adapun di Filipina tercatat ada sekitar 11,25 juta orang miskin pesisir atau sekitar 4 persen dan Myanmar lebih kurang 2 persen atau setara 6,21 juta orang.
Sementara secara kuantitas, jumlah nelayan Indonesia terbilang tidak sebanyak negara lain yang wilayah lautnya justru lebih sempit. Jumlah nelayan di China, merujuk pada publikasi The State Of World Fisheries And Aquaculture 2018, sebanyak 9,48 juta orang. Sementara jumlah nelayan Indonesia hanya 2,6 juta orang merujuk pada publikasi yang sama.
Teknologi
Di tengah keterbatasan modal fisik dan sumber daya nelayan, lompatan teknologi sudah hadir. Informasi dari citra satelit dengan kombinasi peta WPP memungkinkan Indonesia mengatur mana saja wilayah laut yang bisa dimanfaatkan dan tidak.
Hasil pemetaan citra satelit pada 2017 menunjukkan potensi ikan di tiga WPP sebenarnya sudah berstatus Fully-exploited dan Over-exploited. Dua status itu bermakna, upaya penangkapan ikan harus dipertahankan dengan monitor ketat (Fully-exploited) atau harus dikurangi (Over-exploited).
Sebanyak tujuh WPP lainnya berada pada status moderate. Di wilayah-wilayah perairan itu masih mungkin ditingkatkan penangkapan kelompok ikan karang, seperti kerapu, ikan ekor kuning dan baronang, rajungan, kepiting, serta cumi-cumi.
Selain itu, tujuh WPP tersebut juga potensial untuk peningkatan tangkapan ikan demersal, seperti kakap merah dan bawal, serta kelompok udang penaeid, seperti udang jerbung dan udang rebon. Kelompok ikan pelagis kecil, seperti ikan selar, kembung atau ikan lemuru, serta pelagis besar di luar tuna dan cakalang, seperti tongkol, tenggiri, dan marlin, juga masih bisa ditingkatkan penangkapannya.
Sementara di WPP 712, hanya ada kelompok ikan pelagis kecil yang terpetakan berstatus moderate. Penangkapan ikan jenis itu masih bisa ditingkatkan di WPP 712, sedangkan untuk jenis ikan lain sudah perlu dimonitor ketat atau dikurangi.
Adapun kriteria status potensi itu merujuk pada Keputusan Menteri Pertanian No 995/Kpts/lK210/9/99 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan. Maksimal hasil laut yang bisa diambil para nelayan menurut aturan ini adalah 80 persen dari potensi sumber daya ikan lestarinya.
Melalui teknologi citra satelit saja dapat dibayangkan bahwa mengelola perikanan laut bisa semudah pembudidayaan perikanan darat. Bahkan, kini kapal-kapal yang melaut juga wajib mengaktifkan sistem pemantau kapal perikanan atau Vessel Monitoring System (VMS). Teknologi ini kemudian dicermati oleh para pemantau atau observer kapal lokal yang dapat mengawasi aktivitas melaut kapal ikan bersangkutan sehingga mudah diketahui siapa yang memanen ikan di sebuah WPP.
Lebih jauh lagi KKP juga mengembangkan teknologi untuk menentukan koordinat lokasi operasional kapal pengangkut dan hanya diperbolehkan mengangkut ikan jenis tertentu yang telah ditentukan KKP.
Para nelayan pun kini dimudahkan dalam melaut lewat dukungan aplikasi melaut yang tersedia di Google Playstore. Aplikasi Nelayan Pintar yang dikenalkan KKP merupakan salah satu contohnya. Aplikasi ini menyajikan informasi kondisi laut dengan menggabungkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Balai Penelitian dan Observasi Laut, serta data dari Direktorat Jenderal Perikanan.
Pertanyaan yang tersisa dari ketersediaan teknologi adalah sejauh mana para nelayan yang taraf pendidikannya rendah, terjerat kemiskinan, mampu membeli alat komunikasi yang memenuhi syarat untuk instalasi aplikasi dan memahami cara kerjanya?
Bagaimana jika para nelayan mampu memanfaatkan optimal aplikasi, tetapi terkendala modal kapal, peralatan tangkap, dan keterbatasan pelabuhan? Pada titik ini, teknologi saja agaknya belum mampu menjawab mimpi pemanfaatan sumber daya laut untuk kemakmuran, khususnya bagi nelayan. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)