Di Balik Perbaikan Penyelenggaraan Mudik
Kelancaran penyelenggaraan mudik Lebaran 2019 tidak lepas dari perbaikan infrastruktur dan manajemen lalu lintas. Namun, ada faktor lain yang cukup berpengaruh adalah menurunnya jumlah pemudik seiring performa ekonomi yang lesu.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat angka kecelakaan selama arus mudik dan arus balik Lebaran 2019 mengalami penurunan signifikan dibandingkan data Lebaran 2018. Angka tersebut merujuk data pantauan lalu lintas pada 29 Mei 2019 (H-7) hingga 11 Juni 2019 (H+5).
Jumlah kejadian kecelakaan pada Lebaran tahun ini mencapai 529 kejadian, turun 65 persen dibandingkan tahun tahun (1.491 kejadian). Kondisi tersebut berimbas menurunnya kerugian finansial hingga Rp 3,08 miliar.
Menurunnya angka kecelakaan lalu lintas saat Lebaran diikuti juga jumlah penurunan jumlah korban, baik yang meninggal maupun luka-luka. Tahun lalu, jumlah korban meninggal 331 orang, lalu turun sekitar 60 persen atau 132 orang. Sementara korban luka berat yang sebelumnya berjumlah 391 orang, tahun ini turun hingga tiga perempatnya (97 orang).
Korban luka ringan yang memiliki porsi terbesar, mengalami penurunan signifikan, yaitu 69 persen. Pada Lebaran 2018, jumlah korban ringan 2.035 orang, sedangkan tahun ini hanya 641 orang.
Tingkat kecelakaan dan jumlah korban meninggal serta luka yang turun disebabkan oleh kesiapan infrastruktur yang lebih baik. Masa mudik dan balik Lebaran tahun ini merupakan pertama kalinya tol beroperasi penuh dari Merak, Banten hingga Probolinggo, Jawa Timur.
Tak hanya itu, rambu-rambu, marka jalan, serta kelengkapan sarana lain juga sudah lebih baik dan lengkap. Kondisi tersebut berimbas pada arus lalu lintas yang terpantau cukup lancar.
Adapun batas kecepatan maksimal kendaraan juga diberlakukan. Kecepatan maksimal kendaraan di jalan tol adalah 60-100 km per jam. Sementara di jalan antarkota dan provinsi, kecepatan maksimal kendaraan adalah 80 km per jam, di perkotaan maksimal 50 km per jam, dan di permukiman maksimal 30 km per jam.
Pemudik turun
Di balik prestasi penyelenggaraan Lebaran tahun ini, jumlah pemudik tahun ini mengalami penurunan yang berkorelasi dengan berkurangnya angka kecelakaan dan kemacetan.
Jumlah pengguna angkutan umum pada Lebaran tahun 2019 mengalami penurunan. Jenis angkutan umum yang turun paling besar terjadi di angkutan udara lalu angkutan jalan (bus) dan angkutan penyeberangan. Akan tetapi, penumpang kereta api dan angkutan laut bertambah meskipun tidak terlalu besar.
Kemenhub mencatat dari 29 Mei (H-7) hingga 11 Juni 2019 (H+5) terjadi penurunan jumlah penumpang angkutan umum untuk mudik sebesar 10,22 persen. Artinya, ada lebih dari 1,5 juta jiwa yang tidak mudik tahun ini.
Penurunan paling besar terjadi di angkutan udara, mencapai 37,63 persen dibandingkan tahun lalu. Pesawat terbang makin tidak populer karena mahalnya harga tiket. Selain tingginya harga tiket, calon penumpang moda transportasi pesawat terbang diharuskan membayar biaya bagasi.
Penurunan juga terjadi untuk angkutan jalan, yakni dari 3,59 juta penumpang menjadi 3,12 juta penumpang atau turun 15,03 persen. Sementara itu, penumpang angkutan penyeberangan turun 8,05 persen, yakni dari 3,59 juta penumpang menjadi 3,33 juta penumpang.
Sementara itu, peningkatan jumlah penumpang terjadi untuk moda angkutan kereta api yang naik 7,19 persen, yakni dari 4,15 juta penumpang menjadi 4,47 juta penumpang. Tingginya penumpang kereta api dapat terlihat juga dari angkutan Lebaran 2019 yang ditambah menjadi 406 KA atau meningkat 3 persen dibandingkan tahun lalu.
Kenaikan juga terjadi pada angkutan laut. Jumlah penumpang yang naik tahun 2018 tercatat 913.891 orang dan tahun 2019 sebanyak 955.851 orang atau naik 4,39 persen. Angkutan laut masih menjadi pilihan terakhir bagi pemudik Indonesia.
Ekonomi lesu
Dari sisi infrastruktur dan transportasi selama momen Lebaran tahun ini terlihat banyak perkembangan yang signifikan. Namun, tren positif tersebut tidak diikuti oleh performa ekonomi masyarakat yang menunjukkan kondisi lesu beberapa tahun belakangan.
Setidaknya ada dua parameter yang menunjukkan lesunya ekonomi saat Lebaran, yaitu angka inflasi yang terus stagnan lima tahun terakhir dan besaran net outflow yang terus turun.
Dalam konteks ekonomi makro, keberadaan inflasi dapat dipandang sebagai kondisi positif. Inflasi mampu menggambarkan dorongan ekonomi yang terus tumbuh. Kondisi tersebut menggambarkan hubungan erat antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sepanjang tahun 2014-2018, laju pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk Indonesia terlihat stagnan sekitar 8 persen. Kondisi tersebut berimbas pada tingkat konsumsi masyarakat yang tumbuh stagnan.
Hal tersebut tak jauh beda dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung stagnan di angka 5 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Demikian pula inflasi nasional yang terjebak di angka 3 persen.
Kondisi serupa juga digambarkan pada tren inflasi pada periode Lebaran. Inflasi Lebaran tahun 2014-2015 tercatat berhenti di angka 0,93 persen. Sementara tahun 2016-2018, inflasi turun dan stagnan di angka 0,69 persen.
Lesunya ekonomi saat Lebaran terlihat juga dari besaran uang yang ditarik masyarakat untuk konsumsi. Fenomena ini dapat dilihat dari aliran uang keluar (outflow) di masyarakat, khususnya wilayah-wilayah padat penduduk dan pusat ekonomi, yaitu Pulau Jawa.
Nilai outflow mencerminkan aliran uang yang keluar dari Bank Indonesia ke sektor perbankan dan masyarakat. Sementara nilai inflow menunjukkan kondisi uang dari masyarakat masuk ke perbankan dan akhirnya mengalir kembali ke Bank Indonesia.
Saat aliran uang yang keluar pada masa Lebaran bertambah atau net outflow (nilai outflow lebih besar dari inflow), hal tersebut menunjukkan uang beredar dan aktivitas ekonomi masyarakat meningkat.
Pada triwulan II tahun 2016, nilai net outflow DKI Jakarta Rp 43,65 triliun. Angka tersebut naik 4 persen pada tahun 2017 atau Rp 45,39 triliun. Artinya, konsumsi masyarakat meningkat dan menunjukkan tren positif kondisi ekonomi.
Performa positif tersebut tak berlaku pada Lebaran tahun 2018. Nilai net outflow turun drastis 35 persen ke angka Rp 29,53 persen. Lesunya ekonomi terlihat pula pada triwulan III tahun 2018, di mana nilai net outflow hanya Rp 1,38 triliun.
Hal serupa dialami Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Jawa Tengah mengalami penurunan nilai net outflow yang signifikan. Periode triwulan II tahun 2016 nilainya Rp 10,61 triliun, kemudian turun sekitar 2 persen pada tahun berikutnya. Lebaran tahun 2018 nilai net outflow anjlok hampir separuhnya, yaitu Rp 5,47 triliun.
Sementara Jawa Timur sempat naik sekitar 21 persen pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2016. Akan tetapi, nilai net outflow turun drastis 30 persen pada Lebaran 2018 atau tersisa Rp 7,43 persen.
Dua parameter yang menunjukkan lesunya ekonomi saat Lebaran adalah angka inflasi yang terus stagnan dan besaran net outflow yang terus turun.
Untuk wilayah lain, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, mengalami kondisi serupa. Nilai net outflow Lebaran tahun 2017 turun lebih dari 90 persen dibandingkan tahun sebelumnya di Sumatera Utara. Sementara nilai net outflow Sumatera Selatan pada Lebaran 2018 juga turun sekitar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan nilai inflasi dan net outflow pada momen Lebaran, ekonomi Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi yang lesu. Peforma yang tidak maksimal tersebut juga tak lepas dari momen Lebaran yang berdekatan dengan masa tahun ajaran baru.
Masyarakat cenderung menahan pengeluaran atau kegiatan konsumsi saat Lebaran. Selain berdekatan dengan tahun ajaran baru, tingginya harga bahan pokok dan harga tiket penerbangan juga turut memengaruhi perilaku belanja masyarakat. (LITBANG KOMPAS)