Meluruhkan Isu Radikalisme di Indonesia (2)
Kelahiran Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Ormas terkesan mendadak untuk menggantikan UU Ormas Tahun 2013 yang masih berlaku. Pemerintah mengakui bahwa negara memerlukan sebuah payung hukum untuk mengendalikan gerakan radikalisme yang kian meningkat tingkat ancamannya terhadap keutuhan NKRI.
Kelahiran Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Ormas terkesan mendadak untuk menggantikan UU Ormas Tahun 2013 yang masih berlaku. Pemerintah mengakui bahwa negara memerlukan sebuah payung hukum untuk mengendalikan gerakan radikalisme yang kian meningkat tingkat ancamannya terhadap keutuhan NKRI.
UU Ormas 2013 ternyata belum memadai sehingga perlu sebuah perppu yang secara tegas mengatur larangan dan sanksi bagi ormas. Penerbitan perppu akan memberikan keuntungan ganda kepada pemerintah, yaitu sebagai solusi untuk mengatasi terjadinya kekosongan hukum sekaligus mempersingkat prosedur pembuatan UU yang biasanya memerlukan waktu yang lama.
Secara umum, materi Perppu No 2 Tahun 2017 mengadaptasi bagian sensitif dari UU Ormas 2013 tentang larangan dan sanksi. Adaptasi yang dilakukan adalah dengan memangkas ayat-ayat yang berisi larangan dan sanksi dalam UU Ormas, dan di sisi lain menambahkan jenis larangan dan kegiatan ormas yang tidak tertulis dalam UU yang disahkan tahun 2013 tersebut.
Pasal 59 Ayat (1-3) UU Ormas Tahun 2013 mengatur tentang larangan bagi ormas yang terkait dengan atribut, seperti nama, lambang, dan bendera. Ormas dilarang untuk menggunakan atau mengadopsi atribut yang sama dengan atribut negara RI, atribut lembaga pemerintahan, atribut lembaga internasional, atribut organisasi separatis atau organisasi terlarang , dan atribut partai politik. Perppu No 2 Tahun 2017 hanya mengadopsi tiga hal yang dianggap relevan terkait larangan penggunaan atribut oleh ormas.
Ayat 2 UU Ormas mengatur kegiatan yang tidak boleh dilakukan ormas. Terdapat lima kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA, penodaan/penistaan agama, kegiatan separatisme, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, dan melakukan kegiatan yang menjadi wewenang penegak hukum. Perppu Ormas mengadopsi kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam UU Ormas, kecuali kegiatan separatis.
Perubahan yang cukup krusial pada aspek larangan ini terlihat pada Ayat (4) yang mengatur soal kegiatan yang membahayakan negara. Dalam UU Ormas, ormas hanya dilarang untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam Perppu, ketentuan ini diperluas menjadi penggunaan atribut yang memiliki kesamaan dengan atribut gerakan separatis atau organisasi terlarang, dan melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI.
Bentuk sanksi yang diberikan UU Ormas terhadap ormas yang melakukan pelanggaran terdiri dari sanksi administratif dan peringatan tertulis. Pasal 60 Ayat (1) dan (2) mengatur bahwa pemangku wewenang yang bisa menjatuhkan sanksi kepada ormas yang melakukan pelanggaran adalah pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan. Namun, sebelum menjatuhkan sanksi administratif, para pemangku wewenang ini terlebih dahulu mengupayakan tindakan persuasif kepada ormas yang bermasalah.
Sanksi administratif yang bisa dijatuhkan kepada ormas yang melakukan pelanggaran berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan dana/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Sementara peringatan tertulis diberikan sebanyak tiga kali secara berjenjang dan berlaku paling lama 30 hari jika ormas yang melanggar tidak mematuhi peringatan tertulis yang diberikan.
Pada bagian ini, Perppu No 2 Tahun 2017 terasa lebih keras dan tegas dalam menangani ormas yang bermasalah. Pemberian sanksi administratif masih menyerupai model yang diatur oleh UU Ormas. Dalam Perppu, ormas bisa dijatuhi pidana ketika melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu.
Selain itu, pemangku wewenang langsung diberikan kepada menteri tanpa menyebut pemerintah daerah sehingga ketika sanksi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum ormas bisa langsung dilakukan oleh menteri yang berwenang.
Dalam memberikan peringatan tertulis, ketentuan bahwa ormas akan mendapat peringatan tertulis dari pemerintah sebanyak tiga kali sebagaimana yang diatur dalam UU Ormas dihapus. Perppu membatasi toleransi pelanggaran ormas hanya dengan satu kali peringatan tertulis yang berlaku untuk tujuh hari lamanya.
Jika peringatan ini tidak dipatuhi oleh ormas, Perppu memberikan wewenang kepada menteri yang bersangkutan untuk langsung menghentikan kegiatan ormas. Jika sanksi ini masih tidak dipatuhi juga, menteri terkait bisa melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
HTI vs FPI
Perppu No 2 Tahun 2017 mendapat resistansi yang cukup kuat dari sejumlah pakar, aktivis, dan para pegiat ormas. Perppu ini dinilai mengekang kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat karena ketentuan yang terdapat dalam Perppu mengenai larangan untuk ormas sangat bias politik dan multitafsir.
Pemerintah (menteri) diberi wewenang yang sangat kuat untuk mengeksekusi ormas-ormas yang terindikasi melakukan pelanggaran tanpa melalui proses peradilan. Kewenangan menteri, mulai dari menghentikan kegiatan ormas, mencabut SKT, dan mencabut status badan hukum ormas, dinilai sangat rentan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Apalagi, dalam proses ”menghukum” ormas wewenang menteri seolah tak terbatas selain berkonsultasi dengan instansi terkait.
Kasus pembubaran HTI pada Juli 2017 menjadi bukti keseriusan pemerintah menerapkan Perppu Ormas untuk mengontrol ormas-ormas radikal. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap HTI yang terbukti melanggar ketentuan tentang ormas yang digariskan oleh Perppu. Tudingan pemerintah bahwa HTI berpotensi menguatkan gerakan separatisme dan anti-Pancasila lalu dikuatkan dengan putusan pengadilan.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta ketika menyidangkan gugatan HTI terhadap putusan pemerintah tersebut justru mengesahkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam sidang, majelis hakim mengungkap beberapa fakta terkait pengesahan pembubaran HTI. Majelis menganggap perjuangan HTI bertentangan dengan nilai demokrasi Pancasila karena ingin mendirikan negara khilafah. Perjuangan untuk mendirikan khilafah tanpa ikut pemilu tersebut bukan sekadar konsep atau pemikiran, tetapi sudah dalam bentuk aksi.
Majelis hakim menyatakan, perjuangan mendirikan negara khilafah tanpa adanya demokrasi dan pemilu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Aksi dan pemikiran seperti itu pun tidak sesuai dengan konsep nasionalisme yang menghendaki persatuan Indonesia.
Buku Struktur Negara Khilafah yang diterbitkan HTI pada tahun 2005 merupakan salah satu bukti yang memperkuat pandangan HTI demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan kewenangan ada di tangan manusia, bukan pada Allah. Karena bukti-bukti di persidangan sangat mendukung motif HTI mendirikan khilafah yang tidak sesuai asas demokrasi Pancasila, majelis menegaskan perjuangan HTI sebagai bentuk perlawanan terhadap Pancasila.
Bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, pencabutan status badan hukum HTI dilandasi tujuan untuk menjaga kepentingan negara terhadap upaya propaganda yang ditutupi jargon dakwah agama. HTI berusaha mengganti NKRI yang berdasarkan Pancasila dengan sistem khilafah, yang diikuti dengan sikap menyalahkan sistem demokrasi dan pemilu, menganggap nasionalisme sebagai pemecah-belah, serta memprovokasi gender dalam politik. Ajakan politik praktis untuk menegakkan khilafah juga diajukan kepada panglima dan para perwira militer agar melakukan kudeta.
Menghadapi tindakan pemerintah tersebut, HTI menggugat keputusan yang mencabut status badan hukum ormas ini. Pada 13 Oktober 2017, mereka resmi mendaftarkan gugatan hukum ke PTUN Jakarta atas keputusan pembubaran oleh pemerintah tersebut. Mereka mengajukan dua gugatan, yaitu penundaan dan pembatalan keputusan pencabutan status badan hukum HTI.
Selain mempermasalahkan pembubaran yang tidak melalui proses pengadilan, HTI juga menilai pembubaran tersebut menyalahi asas keterbukaan tanpa alasan yang jelas. Pengacara HTI, Yusril Ihza Mahendra, juga mengklaim bahwa doktrin khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila karena dianggap tidak masuk dalam paham yang dilarang dalam UU Ormas, yaitu ateisme, komunisme, dan marxisme.
Perlawanan HTI melalui PTUN Jakarta, Pengadilan Tinggi Jakarta, hingga Mahkamah Agung pupus lantaran tidak satu pun pengadilan tersebut mengabulkan gugatan HTI. HTI yang dibubarkan melalui pencabutan status badan hukumnya sejak 19 Juli 2017 ini akhirnya menemui ajalnya melalui putusan pengadilan. PTUN Jakarta menolak gugatan HTI pada 7 Mei 2018. Vonis penolakan ini diperkuat dengan putusan PT Jakarta pada September 2018. Sementara MA menolak kasasi yang diajukan oleh HTI pada 15 Februari 2019. Vonis MA memupuskan semua perjuangan HTI untuk menghidupkan kembali organisasinya. HTI pun dibubarkan sesuai Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. (Litbang Kompas) (Bersambung)