Komplimen Presiden di Depan Sidang MPR
Dilandasi pengorbanan para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Presiden mengajak untuk berani menghadapi era keterbukaan tanpa kehilangan bintang penjuru.
Penghargaan disampaikan Presiden Joko Widodo kepada lembaga-lembaga pemerintahan dalam pidato di depan Sidang Tahunan MPR 2019. Pidato tahunan tersebut memberi warna optimisme penyelenggaraan negara.
Pesan yang disampaikan pidato Presiden Joko Widodo di depan Sidang Tahunan MPR tahun ini tampak meneruskan esensi dari pidato-pidato tahunan sebelumnya. Presiden mengingatkan pentingnya menjaga persatuan bangsa, yang kini berada di tengah berbagai perubahan besar di dunia. Dilandasi pengorbanan para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Presiden mengajak untuk berani menghadapi era keterbukaan tanpa kehilangan bintang penjuru.
Visi yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dibutuhkan pada masa kini. Secara gamblang, ego sektoral di kelembagaan negara diminta untuk dipinggirkan demi terbentuknya kesamaan visi menghadapi dunia yang berubah dan kebutuhan rakyat yang meningkat. Kolaborasi dan sinergi antarlembaga harus ditingkatkan. ”Ego lembaga harus diruntuhkan sehingga karya-karya baru dapat diciptakan bersama-sama,” kata Presiden Jokowi.
Apresiasi diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas kinerjanya melakukan sosialisasi empat konsensus kebangsaan (empat pilar kebangsaaan) ke pelosok Tanah Air. Hasil survei atas empat pilar tersebut (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) diharapkan menjadi referensi bagi MPR dalam melakukan terobosan serta memanfaatkan kemajuan teknologi untuk merangkul generasi muda.
Kebutuhan untuk terus mengaktualisasikan Pancasila juga diingatkan oleh Presiden yang menggunakan istilah ”lompatan-lompatan kreatif”. Ditempatkan di bagian akhir segmen pertama pidato, tampaknya Jokowi ingin memberikan penekanan atas kebutuhan khusus bagi pembinaan ideologi Pancasila. Hal ini bisa dimengerti karena meski sosialisasi empat pilar terus dilakukan, tantangan terhadap ideologi Pancasila tetap muncul.
Salah satu yang menonjol adalah munculnya isu ”NKRI bersyari’ah” yang diusung kelompok-kelompok garis keras agama selepas penetapan hasil Pemilu Presiden 2019. Geliat elemen pengusung gagasan ini selepas pertemuan Jokowi dan Prabowo (selaku calon Presiden 2019) mengindikasikan bahwa mereka menjadikan ajang Pemilu dan demokrasi sebagai sarana mengganti dasar negara.
Meski demikian, dalam pidato ini tampak kehati-hatian Jokowi dengan tidak menyinggung masuk ke dalam isu syariah tersebut, untuk menghindari komplikasi politik selanjutnya. Pidato berdurasi 24 menit 43 detik itu juga tidak secara khusus mengulas hasil capaian sosialisasi Pancasila terkait dengan masih munculnya isu syariah dalam dasar negara.
Terhadap DPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama setahun ini. Apresiasi diberikan karena DPR dinilai bersinergi dan berkolaborasi dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan koordinasi bersama pemerintah. Dalam catatan Presiden, sepanjang 2018 hingga Juli 2019 DPR telah menyelesaikan pembahasan 15 Rancangan Undang-Undang (RUU). DPR juga diapresiasi telah membentuk delapan tim pengawas, satu panitia angket, dan 35 panitia kerja di berbagai ranah pembangunan.
Meski DPR diapresiasi, kabar kinerja yang rendah justru sering kali dialamatkan publik ke lembaga ini. Misalnya, berdasarkan pantauan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dari tujuh kali rapat paripurna yang terdeteksi presensinya selama Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus-30 Oktober 2018), hanya rapat paripurna pembukaan masa sidang yang memenuhi kuorum anggota atau dihadiri 367 anggota DPR.
Memang, agak berbeda dengan pidato di depan Pidato Kenegaraan pada siang harinya (pukul 10.38), pidato pertama yang dilangsungkan pada 08.55 s/d 09.25 ini tidak mengandung kritikan tajam. Sementara pidato di depan Sidang DPR dan DPD, Presiden memberikan kritik lugas terhadap aparat birokrasi dan anggota DPR yang sering studi banding ke luar negeri meski sebetulnya tidak terlalu diperlukan. ”Semua informasi sudah ada di smartphone,” kata Presiden sambil mengangkat sebuah gawai.
Demi stabilitas
Deretan apresiasi yang diberikan Jokowi kepada lembaga-lembaga pemerintahan memberikan kesan bahwa Presiden Jokowi melanjutkan ”tradisi” gaya kepemimpinan yang mengedepankan stabilitas demi pertumbuhan (ekonomi). Pesan persatuan ini begitu dominan dalam pidato yang tersusun dari 42 paragraf (di luar sapaan) dan berjumlah 20 halaman. Sulit dielakkan bahwa di balik berbagai capaian, tersimpan masalah yang mesti diurai dalam konteks kenegaraan.
Salah satu contohnya, melihat isu saat ini publik diusik munculnya wacana amendemen UUD 1945 terkait fungsi MPR. Meski masih sebatas wacana, sejumlah pihak sudah merasa khawatir bahwa amendemen UUD 1945 akan membawa nuansa demokrasi perwakilan ala Orde Baru akan muncul kembali. Selain itu, ada kekhawatiran akan ada ”penumpang gelap” yang akan menunggangi proses amendemen ini sehingga justru menimbulkan kerugian bagi tingkat demokrasi langsung dan era kebebasan yang saat ini dicapai.
Beralih ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebutan ”ujung tombak” diberikan Jokowi kepada lembaga ini karena menjadi representasi daerah dalam menjaga persatuan. Produk-produk legislasi DPD turut disebutkan dan dihargai oleh Jokowi. Meski begitu, Jokowi tetap mengingatkan bahwa DPD masih perlu memangkas perda-perda yang formalitas, berbelit, dan menghambat masyarakat.
Berikutnya, Jokowi membahas pentingnya peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertanggung jawab dalam tata kelola keuangan negara. BPK turut memeriksa kinerja dan kepatuhan pemerintah dan badan lainnya, serta berhasil mengembalikan kas dan aset negara sebesar Rp 4,38 triliun. Jokowi turut memberikan penghargaan atas keterlibatan aktif BPK di tingkat internasional dalam membangun reputasi bangsa.
Mahkamah Agung menjadi lembaga berikutnya yang diapresiasi Jokowi terkait inovasi yang dilakukan lembaga hukum ini. Sistem peradilan berbasis elektronik yang sudah berjalan, dianggap sebagai sebuah upaya dalam mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, jumlah terendah tunggakkan perkara (906 perkara) telah dicapai MA pada 2018.
Dilanjutkan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Jokowi memuji kontribusi lembaga ini pada penguatan demokrasi konstitusional. Buktinya, MK telah menyelesaikan sengketa perselisihan Pilkada 2018, pemilu legislatif, dan Pemilu Presiden 2019. MK diakui telah berhasil menghadirkan proses peradilan terbuka dan tetap mampu memegang prinsip independensi dan imparsialitas.
Komisi Yudisial (KY) menjadi lembaga terakhir yang dibahas dan diapresiasi Jokowi. Di mata Jokowi, KY telah menjalankan fungsi pre-emtif (upaya awal mencegah terjadinya pelanggaran), preventif, dan represif seturut kewenangannya. Misalnya, KY telah menyelenggarakan pelatihan pemantapan kode etik penyempurnaan pedoman perilaku bagi 412 hakim dan pemantauan 93 perkara persidangan.
Seusai membahas satu per satu lembaga tersebut, Jokowi kemudian kembali menyampaikan pesan persatuan bangsa yang harus dijaga. Ia mengingatkan perlunya perlunya sinergi dalam kehidupan berbangsa meskipun terdapat perbedaan yang dapat memicu konflik (intoleransi, radikalisme, dan terorisme). Pesan ini penting mengingat panasnya suhu politik pada pemilu kemarin, sedangkan masih banyak tantangan ke depan untuk bangsa
Menjelang penutupan pidatonya, Jokowi mengutip pepatah Melayu, ”Kiambang-kiambang yang bertaut kembali, setelah biduk pembelah berlalu”. Artinya, sesuatu yang barangkali terpisah, dapat disatukan kembali. Kembali lagi, bagi Kepala Negara persatuan bangsa Indonesia menjadi jawaban dari semua proses demokrasi dan tantangannya dalam kehidupan bernegara.
Mudah-mudahan publik, terutama elit politik dan birokrasi mampu menangkap perspektif dan paradigma Kepala Negara itu sehingga tujuan pencapaian menjadi negara maju benar-benar menjadi kenyataan. (Litbang Kompas)