Menjaga Lansia Tetap di Dalam Keluarga
Menikmati hidup lebih dari 60 tahun merupakan keistimewaan bagi manusia karena tidak semua orang bisa mencapai usia 60 tahun. Umur hingga di atas 60 tahun ini, selain karunia Tuhan, juga disokong pola hidup manusia dalam menjaga fisiknya.
Menikmati hidup lebih dari 60 tahun merupakan keistimewaan bagi manusia karena tidak semua orang bisa mencapai usia 60 tahun. Kekuatan umur manusia hingga di atas 60 tahun ini, selain karena karunia Tuhan, juga disokong oleh pola hidup manusia dalam menjaga kekuatan fisiknya.
Batasan seseorang telah mencapai usia lanjut masih bervariasi pada angka 60 atau 65 tahun. Namun, manusia yang hidupnya sudah mencapai 60 tahun biasanya sudah dikategorikan sebagai manusia usia lanjut atau manula. Ada juga yang menyebut kelompok manula ini dengan istilah lansia yang merupakan akronim dari lanjut usia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 menyatakan, manula adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Beberapa ahli menggolongkan usia manusia yang bisa dikategorikan sebagai lansia adalah 65 tahun. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), manula adalah laki-laki dan perempuan yang telah mencapai usia 60-74 tahun. Untuk penulisan ini, batas usia manula disesuaikan dengan ketentuan UU No 13/1998, yaitu 60 tahun.
Disebut usia lanjut karena manula sudah memasuki tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia yang ditandai dengan penurunan kemampuan dan kepekaan individual. Penurunan kemampuan itu bermuara pada kegagalan untuk mempertahankan keseimbangan, kesehatan, dan kondisi stres fisiologis maupun psikologis.
Karena itulah, memasuki usia lanjut seperti membawa pedang bermata dua. Yang satu sisi merupakan karunia Tuhan, sementara sisi lainnya merupakan kerentanan terhadap risiko kesehatan. Kondisi manula dekat terhadap sakit atau penyakit, yang secara langsung mengancam kesehatan tubuh atau berakibat kematian.
Menurut para ahli, manula atau lansia merupakan kumpulan orang yang masalah kesehatannya memiliki kemungkinan akan berkembang lebih buruk karena adanya faktor-faktor risiko yang memengaruhi. Lansia sebagai populasi berisiko ini memiliki tiga karakteristik risiko kesehatan, yaitu risiko biologi, termasuk risiko terkait usia; risiko sosial dan lingkungan; serta risiko perilaku atau gaya hidup.
Konsekuensi dari tingginya ancaman risiko tersebut membuat lansia memerlukan perhatian khusus dan perawatan yang intens. Litbang Kompas merekam fenomena ini dengan menyelenggarakan jajak pendapat tentang isu lansia. Dari hasil jajak pendapat yang dilangsungkan bulan Juli 2019 itu terekam betapa nuansa lansia masih ditanggapi dengan pendekatan komunalitas dan kekerabatan. Hanya sedikit pandangan lansia sebagai sebuah isu kelompok sosial yang memiliki beragam problem sosial tersendiri.
Dalam merawat orang berusia lanjut, misalnya, hampir seluruh publik responden (99 persen) masih menginginkan agar para lansia ini dirawat sendiri oleh keluarganya, terutama anak-anak para manula. Selain karena budaya dan agama, perawatan yang dilakukan langsung oleh keluarga ini dianggap akan lebih manusiawi dan bisa menambah kualitas hidup manula di masa tua.
Padahal, model perawatan manula oleh pihak lain, seperti panti jompo atau panti wreda, juga bisa menjadi alternatif keluarga para manula. Setidaknya ada beberapa manfaat positif yang bisa diterima dengan menitipkan lansia ke panti jompo, yaitu ada yang merawat, ada teman, ada aktivitas atau kegiatan, dan fasilitas lebih lengkap untuk kebutuhan mereka.
Dengan demikian, menitipkan lansia kepada panti jompo juga efektif dalam meningkatkan kualitas hidup melalui perawatan yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka.
Meskipun panti jompo menawarkan kenyamanan bagi kehidupan masa tua para manula, nyatanya publik di negeri ini masih memilih untuk merawat orangtua mereka sendiri. Jajak pendapat Kompas tentang lansia juga mengonfirmasi sikap publik terhadap kelompok manusia yang berada di usia emas ini.
Dua dari tiga responden menjawab, perawatan lansia—terutama orangtua—sudah menjadi tanggung jawab anak-anak atau kerabatnya. Pihak lain yang dirujuk untuk merawat lansia ini hampir tidak ada. Jika anak-anak/kerabat tidak ada, responden tampaknya setuju jika para lansia mengurus diri mereka sendiri ketimbang harus dirawat oleh orang lain, seperti suster atau penjaga orang tua. Boleh jadi ini didorong oleh biaya yang harus dikeluarkan.
Jaminan hari tua
Sampai saat ini, semua panti jompo mendesain rumah dan berbagai fasilitas sesuai syarat kelayakan hidup orang tua. Selain perawat yang profesional, panti jompo juga menyiapkan fasilitas kesehatan dan pengobatan sesuai kebutuhan lansia. Bahkan diberikan aktivitas rutin agar lansia tidak bosan menjalani hidup mereka. Terakhir, di panti jompo terdapat banyak teman sebaya untuk kehidupan sosial mereka.
Faktanya, tempat penitipan orang tua, seperti panti jompo, ini kurang diminati meskipun tempatnya nyaman dan menjamin bisa memberi hidup yang layak. Hampir semua responden (99,6 persen) memilih untuk merawat orang tua di rumah sendiri ketimbang menitipkan ke panti jompo. Pasalnya, merawat lansia—apalagi orangtua sendiri—sudah menjadi kultur orang Timur dan selain bagian dari perintah agama.
Pilihan tersebut boleh jadi sejalan dengan keinginan para lansia yang memiliki anak atau kerabat yang setia mendampingi mereka hingga memasuki masa tua. Bagi sebagian masyarakat, anak atau kerabat merupakan jaminan hari tua yang sebenarnya ketimbang jaminan materi, seperti harta dan uang, yang sewaktu-waktu bisa habis.
Kehadiran anak atau kerabat dalam kehidupan lansia akan menambah kualitas hidup dalam hal kesehatan fisik, kesehatan psikologis, serta hubungan sosial dan lingkungan.
Meskipun kualitas hidup lansia bisa meningkat berkat perawatan yang baik, produktivitas mereka justru turun drastis atau bahkan tidak produktif sama sekali. Aspek ekonomi pada lansia, terjadi penurunan pendapatan akibat pensiun bagi mereka yang bekerja secara formal. Para lansia yang bekerja di sektor informal pun akan mengalami hal yang sama sebagai konsekuensi bertambahnya usia.
Dari perspektif ini, keberadaan para lansia bisa saja menjadi beban ekonomi bagi kelompok usia produktif. Persoalan ini akan menjadi serius jika pertumbuhan lansia bergerak cepat sehingga mengancam produktivitas kerja kelompok usia yang lebih muda. Dalam tingkatan negara, populasi lansia perlu dikontrol sehingga tidak membebani ekonomi keluarga sekaligus tidak menghambat produktivitas negara.
Tahun 2020, jumlah penduduk lansia diprediksi sudah menyamai jumlah anak balita. Sebanyak 11 persen dari 6,9 miliar penduduk dunia adalah lansia (WHO), 2013). Populasi penduduk Indonesia merupakan populasi terbanyak keempat sesudah China, India, dan Amerika Serikat. Penduduk China, menurut data World Health Statistic (2013), berjumlah 1,35 miliar jiwa dan penduduk India sebanyak 1,24 miliar jiwa.
Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (2013) pada 2018, proporsi penduduk usia 60 tahun ke atas sebesar 24.754.500 jiwa (9,34 persen) dari total populasi. Meski belum tergolong rawan, pemerintah harus memberikan perhatian khusus kepada mereka. Salah satunya adalah pengelolaan jaminan hari tua yang lebih produktif sehingga para lansia yang pensiun bisa terus menghasilkan pendapatan meskipun usia produktif mereka telah habis.
Dari hasil jajak pendapat terungkap, mayoritas responden menyatakan, orangtua atau kerabat mereka yang lansia tidak memiliki sama sekali jaminan hari tua, entah berupa dana pensiun, usaha, atau simpanan. Hanya 24,7 persen responden yang menjawab orangtua atau kerabat mereka yang lansia memiliki simpanan. Sisanya 15 persen menjawab memiliki dana pensiun dan 8,5 persen memiliki usaha.
Jawaban responden ini menggambarkan realitas hidup para lansia di masa tua. Hanya segelintir dari mereka yang memiliki jaminan hidup di hari tua. Keberadaan lansia seperti ini tentu saja bukan problem bagi ekonomi anak-anak atau kerabat lansia. Meski dari usia sudah tidak produktif, pendapatan yang dihasilkan dari simpanan membuat para lansia ini masih memiliki nilai ekonomi untuk keluarga. (LITBANG KOMPAS)