Mobil Nasional, dari Era Bensin Hingga Listrik
Mimpi produksi massal mobil nasional terus saja timbul dan tenggelam. Sejak kendaraan roda empat populer digerakkan oleh mesin berbahan bakar bensin dan kini mulai beralih ke mobil listrik, program mobil nasional masih dalam angan-angan.
Menilik ke belakang, upaya merintis produk otomotif dalam negeri utamanya terkait mobil nasional sudah dilakukan lebih dari 43 tahun lalu. Setidaknya 19 calon mobil nasional pernah lahir, baik mobil yang sejak rancang bangun hingga produksi dilakukan putra bangsa maupun produk yang diimpor lalu diberi nama yang sangat Indonesia. Berbagai pihak telah merintis dan melakukan uji coba berbagai mobil nasional. Namun, semuanya hanya berakhir di panggung pameran.
Cikal-Bakal Mobil Nasional
Awal keinginan memiliki mobil nasional sebenarnya sudah mulai diwujudkan sejak tahun 1971-1976. Meski masih sederhana dan beberapa komponen mesin utamanya bukan bikinan lokal. Tiga cikal bakal "mobnas" yaitu Morina, Sena, dan Kijang waktu itu sudah boleh dikatakan cukup tangguh untuk pekerjaan-pekerjaan berat dan diubah untuk berbagai keperluan.
Ketika itu, “tiga pendekar" mobil nasional berpenampilan sangat sederhana itu, atau boleh pula dikatakan sebagai basic vehicle, itu masih jauh dari kenyamanan berkendara. Pada perkembangannya, hadirnya ketiga pendekar mobnas itu ternyata tidak semulus yang diperkirakan. Sena dan Morina tidak populer dan mengalami nasib buruk. Hanya Kijang yang mampu bertahan, meskipun sempat terseok-seok.
Tahun 1974, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan impor kendaraan utuh (completely built up) dengan tujuan membangun industri otomotif dalam negeri. Hanya agen tunggal pemegang merek—waktu itu berfungsi sebagai pabrik perakitan—yang diizinkan mengimpor kendaraan dalam bentuk completely knocked down (CKD) atau rakitan.
Tahun 1975, Toyota Kijang sempat dianggap sebagai ikon otomotif nasional. Meskipun berasal dari Jepang, pembuatan dan perakitan mobil ini semuanya dilakukan di Indonesia. Produksi pertama dibuat dalam dua jenis, yaitu jenis kendaraan niaga dan jenis kendaraan keluarga. “Kijang” direncanakan menjadi mobil resmi pemerintahan di tingkat pusat hingga daerah.
Tahun 1976, Morina (Mobil Rakyat Indonesia) muncul dengan nilai kandungan lokal 60 persen. Sayang, Morina hanya bertahan sekitar lima tahun dan akhirnya berhenti berproduksi.
Tahun 1978, muncul Datsun Sena kendaraan komersiil yang hampir separuh komponennya dibuat di dalam negeri. Perkembangannya pun tidak sesuai yang diharapkan.
Berbagai pihak telah merintis dan melakukan uji coba berbagai mobil nasional. Namun, semuanya hanya berakhir di panggung pameran.
Jatuh-Bangun
Pasar mobil nasional yang awal tahun 1970-an mulai bertunas, kemudian gugur memasuki awal tahun 1980-an. Bahkan, dapat dikatakan perkembangan mobil nasional praktis tidak menunjukkan perkembangan berarti sejak dasawarsa 80-an.
Kebijakan industri otomotif Indonesia yang umumnya didominasi produsen Jepang hanya berorientasi pasar, tanpa sedikit pun komitmen konkret sang prinsipal membangun industri otomotif nasional.
Pada era 1990-an, tepatnya mulai tahun 1993, Pemerintah Indonesia kembali berkeinginan untuk memiliki Mobil Nasional. Keinginan itu kemudian dirumuskan oleh suatu tim, dan selanjutnya diwadahi dalam Proyek Maleo. Sebagai salah satu perusahaan yang memiliki sumber daya dalam bidang perancangan, saat itu, PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/DI) ikut terlibat dalam perancangan mobil Maleo.
Adalah BJ Habibie, negarawan yang belum lama berpulang, membuat desain pertama mobnas bernama Maleo tahun 1996. Proses perancangan maupun pembuatannya, termasuk uji coba dilakukan di Indonesia dan finishing di Australia. Sedan berkapasitas 1.200-1.300 cc tersebut direncanakan menggunakan komponen lokal di atas 80 persen sehingga memenuhi kriteria mobnas.
Namun, rencana produksi massal Maleo lantaran dananya dialihkan untuk membiayai proyek mobnas TIMOR. Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. Kebijakan itu membuat sejumlah perusahaan besar berlomba-lomba membuat proyek mobil nasional, seperti grup Bakrie, IPTN, PT Timor Putra Nasional (TPN), dan PT Bimantara.
Pada Juni 1996, pemerintah memperkuat posisi Timor sebagai cikal bakal mobnas melalui Keputusan Presiden Nomor 42 yang mengizinkan PT TPN mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea masuk.
Tahun 1997, PT Timor Putera Nusantara (TPN) mengakuisisi divisi produksi KIA (Sephia) untuk dijadikan sedan TIMOR. Mobil TIMOR merupakan sedan pertama berteknologi injeksi, diluncurkan dengan beberapa varian seperti kelas 1300 cc dan kelas 1500 cc.
Pabrikan mobil lain yang juga diproyeksikan menjadi mobil nasional pada tahun 1995-1996 selain Timor adalah Bimantara. Bimantara Cakra adalah salah satu mobil seri sedan yang diluncurkan pada tahun 1995-1997 dengan melakukan rebranding dari seri Hyundai Accent generasi pertama.
Mobil Bimantara direncanakan memiliki komponen lokal di atas 80 persen. Melalui pabrikan PT Citramobil Nasional, Bimantara sukses meluncurkan beberapa seri mobil sedan juga truk angkutan.
Terbunuh Krisis Moneter
Namun, seiring dengan pergantian kepemimpinan Soeharto dan terjadinya krisis moneter, hilang pula seluruh rencana besar pembangunan mobnas di tanah air. Seluruh impian mobnas kandas sebelum memasuki tahun 2000. Matinya kebijakan mobil nasional saat itu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 tahun 1998 untuk mengakhiri mobnas.
Memasuki era 2000-an, upaya memproduksi kendaraan secara mandiri muncul kembali. Inisiatif rintisan mobil nasional lebih banyak dilakukan kalangan swasta dan masyarakat. Beberapa rintisan mobil nasional ini mengklaim diri mengadopsi setidaknya 60 persen komponen yang diproduksi di dalam negeri.
Sejak tahun 2002, beberapa mobil karya anak bangsa bermunculan, baik yang masih berupa prototype maupun yang sudah diuji coba. Seperti Gea, Arina, Tawon, Komodo, sejumlah mobil listrik.
Karya Anak Bangsa
Dalam perkembangannya, wacana produksi mobil karya anak bangsa juga muncul dari merek Esemka. Selama 2007-2010 telah dihasilkan lima unit kendaraan dengan dua jenis prototype rakitan mobil Esemka generasi pertama. Mobil ini dikerjakan siswa SMKN 2, SMKN 5, dan SMK Warga Surakarta di bawah bimbingan Sukiyat, pemilik Bengkel Kiat Motor, yang menjadi mentor.
Keinginan mewujudkan mobil Esemka menjadi produk massal di pasar dalam negeri mendapat dukungan Pemerintah Kota Solo. Hal itu ditandai dengan pembentukan PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) oleh sejumlah pengusaha dan gabungan koperasi SMK di Solo dan sekitarnya. Selain itu, PT SMK juga bermitra dengan 30 usaha kecil dan menengah (UKM) di beberapa kota untuk memproduksi komponen dan suku cadang.
Karena tidak terpusat di satu titik, perakitan Mobil Esemka bagaikan tak terlihat. Mobil ini pun belum bisa mengaspal lantaran belum lolos uji emisi. Setelah pada 2012 mobil Esemka Rajawali lulus uji dan sertifikasi, mobil ini kembali diproduksi.
Rentang 2012-2015, PT SMK berhasil memproduksi sekitar 200 unit mobil Esemka dan tersebar di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain SUV Rajawali, juga dihasilkan beberapa prototipe dengan berbagai varian.
Pada 2016, titik terang untuk masa depan mobil Esemka kembali muncul ketika PT Solo Manufaktur Kreasi menjalin kerja sama dengan PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL). Kedua perusahaan itu melebur menjadi PT Adiperkasa Cipta Esemka Hero (ACEH), dan sepakat membangun pabrik perakitan di Boyolali, Jawa Tengah. Selanjutnya PT ACEH menggandeng PT Geely Mobil Indonesia, produsen mobil asal Cina, untuk menambah fasilitas perakitan.
Dan bersamaan dengan peresmian pabrik, diluncurkan pula model pertama hasil produksi massal Esemka, yakni pickup bernama Bima untuk kendaraan niaga ringan dengan dua pilihan yakni mesin 1.200 dan 1.300 CC.
Bagaimanapun, penting untuk menjadi catatan bahwa mobil Esemka bukanlah mobil nasional karena dimiliki perusahaan swasta nasional yang 100 persen sahamnya dimiliki swasta. Mobil Esemka lebih tepat jika disebut mobil karya anak bangsa.
Komitmen dan Konsisten
Melihat berbagai upaya rintisan sebelumnya, termasuk esemka yang belum bisa disebut mobil nasional, setidaknya menunjukkan bahwa memproduksi mobil buatan dalam negeri bukanlah mimpi. Kini, infrastruktur jalan semakin mendukung pertumbuhan pasar mobil. Indonesia juga memiliki banyak penduduk layak menjadi pasar strategis.
Data penjualan mobil di Indonesia dalam lima tahun terakhir menurut Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor) dan Laporan Domestic Market Trend Astra menunjukkan tren yang meningkat. Penjualan tahun 2018 bahkan meningkat 7 persen dibanding tahun sebelumnya.
Meskipun dalam semester I tahun 2019 penjualan mobil domestik terjadi penurunan sebesar 13,75 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya ( 570.331 unit dibanding 661.247 unit), namun tetap optimis penjualan di tahun 2019 bisa mencapai target 1,1 juta unit. Penjualan mobil di Indonesia juga tercatat merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Selain itu, rasio kepemilikan mobil dibanding populasi yang masih rendah, mencerminkan celah pasar yang masih lebar. Indonesia dengan populasi 261 juta penduduk memiliki rasio kepemilikan mobil 87 unit per 1.000 penduduk. Jauh tertinggal dibawah Brunei, Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Selama 43 tahun, cita-cita memproduksi massal mobil nasional barangkali sudah tertinggal dengan industri otomotif negara tetangga. Sejumlah negara sudah memiliki mobil nasional sendiri seperti Malaysia dengan Protonnya, Thailand dengan mobil Thai Rung, Myanmar punya MADEI dan Shan Star. Baru-baru pun produsen otomotif Vietnam, Vinfast juga sudah mengaspalkan mobil karya mereka.
Jadi, apa yang perlu dilakukan agar mobnas laku di pasaran dan jadi tuan di negeri sendiri? Komitmen dan konsistensi boleh jadi merupakan kunci utama dalam kesuksesan menghasilkan produksi massal mobil nasional. (Litbang Kompas)