Gunung Es dari Perilaku Kejahatan Anak
Sepanjang lima tahun terakhir, KPAI mencatat rata-rata ada 658 kasus yang dihadapai anak setiap tahunnya. Kasus paling menonjol adalah kasus yang dikategorikan KPAI sebagai anak berhadapan dengan hukum.
Dua tahun berselang, seorang anak remaja asrama sebuah sekolah di Magelang, Jawa Tengah, dibunuh oleh temannya sendiri. Fenomena ini mewakili gambaran banyak kasus lain yang menunjukkan bahwa masih banyak kasus memprihatinkan pada anak yang dikategorikan berhadapan dengan hukum.
Kejadian remaja yang membunuh temannya sendiri tersebut lantaran pelaku marah perbuatannya mencuri buku tabungan temannya beberapa kali diketahui oleh korban. Pelaku juga sakit hati karena ponselnya terkena razia pihak sekolah. Nilai kepribadian tersangka juga rendah karena sering berbohong, mencuri, dan melanggar aturan sekolah.
Kasus anak yang membunuh temannya itu hanya satu contoh dari sekian banyak kasus hukum lain yang melibatkan anak di Indonesia. Potret tersebut ditunjukkan dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Institusi ini mencatat kasus pada anak dengan beragam kategorinya.
Sepanjang lima tahun terakhir, KPAI mencatat rata-rata ada 658 kasus yang dihadapai anak setiap tahunnya. Kasus paling menonjol adalah kasus yang dikategorikan KPAI sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Kasus anak berhadapan dengan hukum setiap tahun juga tak bisa dipandang sebelah mata. Jika dikaitkan dengan kasus ABH, KPAI mencatat dari laporan kasus pengaduan anak berdasarkan kluster perlindungan anak.
Dari 10 kluster, tercatat kasus ABH menempati peringkat teratas. Sejak tahun 2015 hingga 2018, tren kasus ABH selalu meningkat. Selama 2011-2018, ABH selalu berada di urutan teratas dibandingkan dengan kluster lainnya, dengan angka mencapai 11.116 kasus. Apa sinyal di balik angka ABH periode tersebut?
Jika dirata-rata, kasus ABH setiap tahun mencapai 1.390 kasus atau sekitar 116 kasus ABH setiap bulan. Dalam konversi waktu lebih pendek, artinya rata-rata ada empat anak harus berhadapan dengan hukum setiap harinya.
Kecenderungan perilaku
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak mungkin dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang. Salah satu yang mungkin adalah kecenderungan bahwa pelaku pembunuhan menunjukkan gangguan perilaku atau conduct disorder.
Memang, gangguan perilaku tak bisa serta-merta bisa disandingkan dengan data ABH dari KPAI. Namun, menarik dicermati bahwa catatan tentang gangguan perilaku ini menunjukkan pola yang mendukung keterkaitan antar-keduanya.
Gangguan mental perilaku ini lebih dominan dialami anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan laporan Global Health Data Exchange 2017, sebanyak 61,45 persen anak laki-laki usia 1-19 tahun menderita conduct disorder, sementara anak perempuan sebesar 38,55 persen. Dari data KPAI, selama lima tahun terakhir jumlah anak laki-laki yang berhadapan dengan hukum juga lebih banyak daripada anak perempuan, yakni mencapai 71,62 persen.
Laporan Global Health Data Exchange 2017 juga menunjukkan bahwa persentase orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia paling banyak adalah remaja usia 15-19 tahun, sebesar 10 persen dari 27,3 juta penderita. Diikuti remaja di rentang usia 10-14 tahun sebesar 9,25 persen.
Dari 10 jenis gangguan mental pada usia muda 1-19 tahun, jenis gangguan perilaku juga tercatat paling banyak, penderitanya hampir 30 persen. Singkatnya, gangguan mental perilaku banyak terjadi pada dua kelompok usia tersebut.
Sementara dari data KPAI, persentase terbanyak anak dengan gangguan perilaku ini berada pada rentang usia 10-14 tahun, baik pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Berikutnya baru di usia 15-19 tahun. Hal sangat memprihatinkan karena usia 10-14 tahun adalah usia anak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama.
Faktor pemicu
Gangguan perilaku bisa disebut sebagai gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang disebabkan lemahnya kontrol diri. Dalam versi umum, gangguan perilaku ini hampir sama dengan kenakalan anak-anak. Orangtua ataupun guru di sekolah terkadang kurang sensitif dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar terjadi dalam perkembangan anak.
Conduct disorder ini biasanya ditandai dengan simtom kegagalan anak dalam mematuhi aturan norma sosial, melanggar hukum, dan menunjukkan perilaku berulang melanggar aturan tersebut, seperti suka berbohong, suka mencuri, bolos sekolah, tidak menghormati hak milik orang lain, penggunaan obat terlarang, pemerkosaan, hingga menghilangkan nyawa seseorang, seperti kasus di atas.
Penderita conduct disorder juga menunjukkan perilaku agresif, konfrontatif, dan sering memulai ”pertempuran”, baik verbal maupun nonverbal. Tidak mempunyai empati atau rasa menyesal jika telah menyakiti orang lain. Bahkan, mereka cenderung menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi terhadap dirinya.
Kasus perundungan atau bullying sering kali dilakukan anak dengan gangguan perilaku ini. Anak yang masih dalam proses perkembangan akan sangat mudah terpengaruh hal-hal negatif.
Jika dirata-rata, kasus ABH setiap tahun mencapai 1.390 kasus atau sekitar 116 kasus ABH setiap bulan. Dalam konversi waktu lebih pendek, artinya rata-rata ada empat anak harus berhadapan dengan hukum setiap harinya.
Risiko hukum
Hampir semua gangguan jiwa, termasuk gangguan perilaku, dapat berhubungan dengan tindakan kriminalitas. Pasalnya, gangguan jiwa mengganggu kemampuan seseorang mempertimbangkan perbuatannya sehingga berujung pada pelanggaran normal sosial ataupun hukum. Tak terkecuali, hal tersebut terjadi dalam kasus gangguan mental pada anak.
Anak-anak conduct disorder, jika tidak ditangani sejak dini, berpotensi melakukan tindak kekerasan. Tindak kekerasan yang dilakukan anak-anak atau remaja biasanya bukan sebuah proses yang instan, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai sebab yang mereka alami selama ini.
Ditambah dengan faktor pemicu, antara lain dari lingkungan keseharian pergaulan anak, potensi anak mengalami conduct disorder menjadi semakin besar. Pengaruh teman dan kelompok pertemanan (peers group) ini begitu kuat, terutama untuk mereka yang sedang mencari jati dirinya.
Sebuah contoh adalah kasus pembacokan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus pada 2017 tersebut dilakukan oleh enam remaja dalam satu geng yang rata-rata masih duduk di sekolah menengah atas. Mereka beramai-ramai melakukan pembacokan atau aksi kekerasan lainnya tanpa alasan yang jelas dan pemilihan korban tanpa dasar. Tumbuh suburnya geng pelajar di sekolah satu fenomena yang perlu diwaspadai.
Mirisnya, KPAI memotret dalam lima tahun terakhir kasus anak sebagai pelaku kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan, adalah jenis kasus yang paling banyak terjadi. Meskipun jumlahnya berfluktuasi setiap tahun, fakta ini sangat memprihatinkan. Diikuti kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik, di antaranya penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian. Pembunuhan dan pencurian juga termasuk tinggi jumlah kasusnya.
Deteksi dini
Fenomena kasus pada anak, apalagi kasus ABH, sangat mungkin serupa ”gunung es” yang hanya menampakkan puncaknya, padahal menyimpan ”bongkahan” masalah sangat besar di dasarnya.
Di dasar bongkahan gunung es itu sangat mungkin sebagian besar kasus anak bersumber dari conduct disorder. Oleh karena itu, gangguan mental dalam perilaku ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik orangtua, sekolah, lingkungan sosial, maupun pemerintah.
Mengetahui lebih dulu kemungkinan conduct disorder dapat membantu orangtua mendampingi anak agar tumbuh secara lebih baik dan risiko gangguan perilaku tersebut bisa diminimalkan. Keluarga dan lingkungan memiliki peran sentral bagi anak.
Banyaknya jumlah anak yang mengalami gangguan perilaku perlu mendapat perhatian yang serius untuk segera mendapat bantuan yang tepat. Masalah yang dihadapi anak biasanya berkaitan dengan gangguan pada proses perkembangannya.
Apabila tidak segera diatasi, gangguan tersebut akan berkembang pada fase selanjutnya, yakni menghambat proses perkembangan anak dan berdampak pada timbulnya masalah sosial yang lebih serius. Karena itu, melihat perilaku bermasalah pada anak tidak bisa secara sederhana, seolah itu adalah hal yang biasa dalam keseharian mereka. (LITBANG KOMPAS)