Di Balik Kinerja Pertanian yang Menggembirakan
Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Nasional terus menunjukkan kenaikan. Sektor pertanian juga masih menjadi andalan dalam pembentukan PDB nasional. Benarkah kenyataan ini menunjukkan kondisi pertanian nasional yang semakin menggembirakan?
Ilustrasi data sektor pertanian beserta neraca perdagangan yang melibatkan empat kelompok subsektor, mengindikasikan bahwa pertanian berperan sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, nilai kontribusinya masih belum terlampaui oleh sektor andalan nasional lainnya seperti pertambangan dan penggalian serta sektor konstruksi yang tengah marak membangun berbagai proyek infrastruktur di seluruh pelosok negeri.
Sektor pertanian mencakup subsektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan. Berdasarkan data PDB tahun 2015-2018, terlihat kontribusi sektor pertanian yang terdiri dari keempat subsektor itu rata-rata terus naik sekitar 3 persen atau hampir Rp 350 miliar per tahun.
Pada tahun 2018, total sumbangan keempat subsektor tersebut mencapai Rp 1.417 triliun atau sekitar 9,5 persen dari total PDB nasional. Apabila nominal sumbangan ini diakumulasikan dengan kontribusi subsektor pertanian lainnya seperti kehutanan dan perikanan maka terkumpul PDB sektor agraris sebanyak Rp 1.900 triliun atau sebesar 12,81 persen dari PDB.
Besaran kontribusi tersebut menduduki peringkat tiga besar dalam penyusun pertumbuhan ekonomi Indonesia. Posisinya berada setelah sektor industri pengolahan yang memiliki besaran kontribusi hampir 20 persen dan sektor perdagangan besar, eceran, serta reparasi kendaraan yang sumbangannya sekitar 13 persen per tahun.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, jumlah lapangan pekerjaan yang disediakan sektor agraris ini bahkan mencatat angka tertinggi dibandingkan sektor lain meskipun pertanian berada diurutan ketiga kontributor PDB nasional. Berdasarakan statistik keadaan pekerjaan di Indonesia tahun 2018 menunjukkan jumlah pekerja sektor pertanian mencapai 8,54 juta jiwa atau hampir 14 persen dari seluruh tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 61,41 juta jiwa.
Hal ini menandakan pertanian merupakan lapangan pekerjaan utama penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk yang terlibat dalam lapangan pekerjaan ini menyebabkan pertanian relatif stabil dalam mengawal kemajuan bangsa. Dengan tersedianya tenaga petani dalam jumlah banyak maka komoditas agraris akan terus berproduksi sepanjang waktu.
Pertumbuhan dan Impor
Jika melihat data pertanian secara keseluruhan memang tampak memuaskan. Nilai kontribusinya terhadap PDB terus naik, menjadi salah satu sektor penting di Indonesia, serta menjadi penampung jumlah tenaga kerja terbanyak di antara seluruh lapangan pekerjaan yang tersedia.
Sejumlah sisi positif ini seakan-akan memproyeksikan pertanian akan terus berkembang menjadi pendorong kemajuan bangsa serta akan meningkatkan taraf hidup para petani yang terlibat di dalamnya. Namun, gambaran demikian dalam terbilang relatif semu.
Pertanian secara riil tidak seindah seperti yang digambarkan secara makro keseluruhan. Secara makro ekonomi , sektor pertanian nasional tampak sangat menggembirakan, tetapi sejatinya semakin tidak produktif dan tidak mampu memenuhi permintaan dalam negeri.
Bila data pertanian dipilah-pilah lagi, kemudian hanya diambil sejumlah subsektor saja maka akan tampak betapa rapuhnya pertanian Indonesia. Keempat subsektor pertanian ini menjadi sorotan mengingat andilnya yang sangat vital, baik bagi perekonomian maupun sumber konsumsi utama masyarakat Indonesia.
Keempat subsektor itu secara keseluruhan berkembang relatif sangat menggembirakan. Satu indikasinya terlihat dari neraca perdagangan internasional seluruh komoditas tersebut menunjukkan notasi positif. Artinya, lebih banyak ekspor daripada impor yang mencerminkan produksi dalam negeri berlimpah dan melebihi permintaan domestik sehingga kelebihannya dipasarkan ke luar negeri.
Hal ini merupakan keuntungan bagi pertanian nasional karena mampu menghasilkan devisa negara dari pengiriman ekspor. Pada tahun 2015-2018, rata-rata neraca perdagangan pertanian keempat sektor tersebut surplus sekitar 10,38 juta ton atau sekitar 12,5 miliar dollar AS per tahun.
Hanya saja, bila ditelisik lebih jauh lagi besaran surplus tersebut sejatinya hanyalah prestasi semu belaka. Suplus neraca perdagangan tidak tersebar secara merata di keempat subsektor pertanian itu. Surplus hanya terjadi di kelompok perkebunan saja. Untuk tiga subsektor lainnya seperti tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru mengalami defisit setiap tahunnya.
Pada kurun 2015-2018, defisit ketiga subsektor itu rata-rata mencapai 20 juta ton atau senilai hampir 10 miliar dollar AS. Artinya, setiap tahun Indonesia harus mendatangkan sejumlah produk pangan mulai dari beras, sayuran, buah, hingga daging-dagingan hingga lebih dari 20 juta ton. Hal ini mengindikasikan jika produksi dalam negeri sejumlah komoditas tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaaan domestik sehingga harus mengimpor.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan subsektor perkebunan yang selalu dalam kondisi suplus neraca perdagangannya. Rata-rata setiap tahun, subsektor perkebunan ini suplus sekitar 33 juta ton atau senilai Rp 23,52 miliar dollar AS. Besarnya konstribusi neraca devisa perkebunan ini salah satunya karena produksi perkebunan yang berlimpah.
Lebih spesifik lagi mengerucut pada melimpahnya produksi dua komoditas unggulan perkebunan yakni kelapa sawit dan karet. Produksi yang tinggi mendorong ekspor ke luar negeri juga tinggi sehingga menghasilkan devisa relatif banyak. Setiap tahun komoditas kelapa sawit mengalami surplus neraca rata-rata sekitar 31 juta ton atau senilai 18 miliar dollar AS. Untuk karet rata-rata surplus neraca sebanyak 2,6 juta ton atau kisaran 4 miliar dollar AS setahun.
Besarnya suplus kedua komoditas tersebut mendorong kemajuan subsektor perkebunan secara khusus dan juga menutup segala defisit ketiga subsektor pertanian lainnya. Hasilnya, pertanian secara umum terlihat terus maju dan berkembang. Padahal, sejatinya subsektor yang tumbuh pesat dan sangat menguntungkan hanya perkebunan saja.
Lebih spesifik lagi mayoritas hanya terakumulasi di kelapa sawit dan karet saja. Hal inilah yang menunjukkan bayang-bayang semu kemajuan pertanian Indonesia. Pasalnya, kemajuan pertanian ini mayoritas hanya terpusat pada komoditas kelapa sawit dan karet yang notabene dimiliki oleh pengusaha-pengusaha besar. Dengan kata lain kemajuan pertanian lebih banyak dinikmati oleh para investor kaya bukan petani rakyat yang relatif subsisten.
Defisit Pangan
Dari tiga subsektor pertanian yang berkaitan dengan konsumsi sehari-hari, tanaman pangan adalah komoditas yang paling banyak mengalami defisit neraca perdagangan. Rinciannya, tanaman pangan rata-rata defisit per tahun sekitar 20 juta ton, hortikultura kisaran 1,1 juta ton, dan peternakan 1,4 juta ton.
Timpangannya hasil produksi dalam negeri terhadap kebutuhan domestik menyebabkan impor produk pangan sangat besar di Indonesia. Hampir semua kebutuhan pangan pokok Indonesia harus ditutupi dengan impor agar suplai barang di pasaran selalu tersedia.
Berdasarkan data makro Kementerian Pertanian terlihat dari 8 komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, dan ubi kayu semuanya menunjukkan notasi negatif atau defisit. Artinya, setiap tahun Indonesia selalu mengimpor komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bila dipilah-pilah lagi, dari 8 komoditas tersebut ada 4 komoditas pangan yang nilai impornya besar sehingga menyebabkan neraca perdagangan selalu defisit. Pertama, komoditas beras dengan berbagai bentuk seperti gabah, beras konsumsi, beras ketan, dan beras pecah yang kuantitas impornya mencapai kisaran 1 juta ton setahun. Selanjutnya, adalah gandum yang merupakan komoditas impor terbesar dengan besaran hingga sekitar 10 juta ton.
Ketiga adalah jagung baik olahan atau segar dengan jumlah impor sekitar 1,6 juta ton. Terakhir, adalah komoditas kedelai yang merupakan komoditas impor terbesar kedua setelah jagung dengan jumlah permintaan dari luar negeri sekitar 6,8 juta ton setiap tahunnya. Besarnya impor keempat produk ini menyebabkan neraca perdagangan komoditas pangan selalu terpuruk terendah di antara subsektor pertanian lainnya.
Satu hal yang mengindikasikan rentannya petani untuk meninggalkan sektor ini adalah besaran nilai tukar petani (NTP) yang relatif belum memberi banyak kesejahteraan pada petani. Pada tahun 2015-2018, NTP pertanian secara umum maupun khusus subsektor tanaman pangan tidak berbeda jauh, yakni fluktuatif di kisaran NTP 100.
Nilai NTP di bawah 100 mencerminkan kondisi kesejahteraan petani yang rendah dan sebaliknya jika nilai NTP di atas 100. Sayangnya, NTP Indonesia masih berada dikisaran 100 yang dapat dimaknai jika kondisi petani masih rentan untuk tergelincir di bawah NTP 100.
Ke depan, kegiatan pertanian yang penuh risiko ketidakpastian membuat para petani terutama yang subsisten untuk beralih ke profesi lain atau memilih menjadi buruh tani saja. Apalagi, menjadi buruh tani tingkat pendapatannya lebih pasti dibandingkan menjadi petani pemilik sekaligus penggarapnya. Alih fungsi lahan menjadi peruntukan lain seperti industri, pemukiman, dan pembangunan perkotaan terus menggerus minat generasi muda untuk bertani.
Tanpa peran serta pemerintah dan segenap pihak lainnya yang peduli pada pertanian niscaya sektor agraris ini akan kian ditinggalkan. Negeri ini akan mewariskan kekurangan pangan untuk generasi mendatang jika terus mengabaikan gambaran semu subsektor pertanian. (Litbang Kompas)