Kisah di Balik Defisit Dana Operasional PBB (1)
Dunia dikejutkan dengan kabar bahwa keuangan operasional organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berada dalam kondisi yang mengarah pada defisit.
Pemulihan perekonomian global boleh jadi akan semakin sulit manakala melihat organisasi sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai mengalami kesulitan dana operasional.
Dunia dikejutkan dengan kabar bahwa keuangan operasional organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berada dalam kondisi yang mengarah pada defisit. Bagaimana tidak, PBB memutuskan untuk tidak melakukan perekrutan karyawan baru, tidak melakukan pembelian peralatan baru jika tidak benar-benar dibutuhkan.
Tidak hanya itu, pembatasan dalam operasional sehari-hari pun dilakukan. Penggunaan pemanas dan pendingin ruangan hanya pada jam kerja, beberapa eskalator tidak dijalankan, air mancur sebagai hiasan di depan Markas PBB pun dimatikan, serta sejumlah penghematan lainnya.
Mengutip pemberitaan New York Times (11 Oktober 2019), krisis yang melanda PBB bukanlah krisis anggaran, melainkan krisis arus kas. Selama ini operasional PBB dibiayai oleh iuran negara-negara anggota. Meski demikian, data komite kontribusi yang dirilis PBB menunjukkan bahwa hingga 23 Oktober 2019 hampir 30 persen negara anggota (60 dari 193 negara anggota) belum membayar iuran tersebut.
Lebih parah lagi, negara-negara yang belum membayar iuran masuk dalam 20 besar penyumbang terbesar dana operasional PBB. Adapun beberapa negara yang disoroti adalah Amerika Serikat (AS), Brasil, Argentina, Meksiko, Iran, Israel, dan Venezuela. Ketujuh negara tersebut bertanggung jawab atas 97 persen dana iuran yang tertunggak. Keterlambatan pembayaran iuran ini dikarenakan adanya permasalahan internal yang dialami setiap negara.
Di antara negara-negara tersebut, AS merupakan negara penyumbang terbesar atas iuran reguler PBB, yaitu 674 juta dollar AS pada tahun 2019 atau 23,6 persen dari iuran bersih (net assessment) semua anggota. Ditambah lagi dengan kewajiban untuk membayar iuran pemeliharaan perdamaian. Tidak hanya itu, AS juga masih memiliki tunggakan iuran tahun-tahun sebelumnya sebesar 381 juta dollar AS.
Krisis di Amerika
Fakta-fakta ini membawa kejutan baru bagi dunia. Mengapa demikian? Tampil sebagai negara maju yang dikenal seluruh dunia, tidak sedikit yang menganggap AS sebagai penguasa dunia. Namun, kenyataannya, AS justru kesulitan dalam membayar iuran PBB.
Hal ini terjadi tidak lepas dari kondisi AS yang terguncang, baik ekonomi maupun politik. Masalah besar mulai terjadi saat krisis ekonomi melanda AS pada 2007, yang dikenal dengan istilah subprime mortgage. Krisis ini bermula dari adanya kredit perumahan yang berujung pada krisis keuangan di AS.
Persoalan ini bermula dari mortgage atau hipotek, yakni instrumen utang yang dikucurkan oleh perbankan dengan agunan/jaminan rumah. Kredit perumahan ini memiliki skema pinjaman yang telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah untuk masyarakat miskin. Kredit ini diberikan tanpa mempertimbangkan besaran uang muka karena adanya subsidi dari pemerintah. Para nasabah miskin tersebut merupakan kelompok nasabah subprime yang berisiko tinggi dalam melunasi pinjamannya.
Dalam perkembangannya, muncul ide bahwa perbankan bisa memperjualbelikan risiko default dari nasabah subprime dengan credit default swap (CDS). Sebuah CDS adalah kontrak yang mentransfer risiko keuangan dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks ini, pihak perbankan di AS akan membayar premi untuk penjualan risiko kredit nasabah subprime tersebut selama masa kontrak. Jika nasabah subprime berhasil melunasi pinjaman, kontrak tersebut berakhir. Namun, jika nasabah subprime mengalami gagal bayar, pembeli risiko kredit harus melunasi utang nasabah subprime tersebut ke perbankan.
Bahkan, risiko kredit dikemas menjadi obligasi. Namun, karena risiko gagal bayarnya besar akibat nasabah kredit adalah kelompok subprime, maka obligasi tersebut termasuk dalam kategori obligasi sampah (junk bond) atau tidak layak investasi.
Obligasi ini kemudian dikemas dalam bentuk kewajiban utang kolateral (collateralized debt obligation/CDO) manrik untuk diperjualbelikan, dana pensiun dan lembaga keuangan berani berinvestasi. Ide tersebut mampu meningkatkan indeks saham di AS dan memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian AS.
Namun, nilai obligasi CDO menjadi terlalu tinggi (overvalued) jika dibandingkan dengan nilai obligasi sebenarnya. Harapan kontrak CDS sukses terlunasi pun justru mengecewakan karena kontrak CDS dapat diperjualbelikan terus-menerus dari tangan ke tangan, bahkan bisa kembali dibeli oleh lembaga keuangan dengan nasabah subprime. Sementara dalam perkembangannya, nasabah subprime mengalami default alias gagal bayar sehingga terjadi banyak kasus penyitaan rumah oleh perbankan. Banyaknya properti yang disita membuat kelebihan pasokan rumah, harga rumah semakin menurun dan semakin sulit dijual.
Masalah lain di balik kegagalan nasabah subprime memenuhi kewajibannya juga terjadi lantaran kebutuhan mereka untuk mengisi rumah dengan membeli berbagai perabotan. Gagal bayar terjadi di mana-mana. Lembaga keuangan besar yang terlibat dalam memperjualbelikan risiko dalam bentuk CDS dan CDO mengalami kesulitan. Masalah semakin serius karena lebih dari 70 persen lembaga keuangan besar mengalami kegagalan keuangan, perekonomian pun kian memburuk.
Permasalahan meluas hingga ke kancah global karena pengaruh subprime mortgage ini diikuti oleh melemahnya saham perbankan di seluruh dunia. Terjadi penurunan rata-rata 2 persen pada bursa saham di London (Inggris), Frankfurt (Jerman), dan Paris (Perancis) kala itu. Bursa saham di Jepang rata-rata jatuh lebih dari 2 persen, bahkan turun 3,81 persen di bursa saham China (Kompas, 2 Agustus 2007). Kondisi ini berujung pada krisis global.
Perang dagang
Tidak hanya berhenti di situ, gejolak ekonomi AS berlanjut akibat adanya perang dagang dengan China yang belum berujung hingga saat ini. Perang dagang yang melanda saat ini sebagai akibat dari upaya AS terbebas dari defisit neraca perdagangan dengan China. Kerja sama dalam hal perdagangan antara AS dan China dimulai sejak 1985. Defisit neraca perdagangan sudah dialami AS sejak saat itu.
Alih-alih menjadi surplus, defisit justru semakin besar dari tahun ke tahun. Data World Integrated Trade Solution (WITS) menunjukkan bahwa pada 2017, AS mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 396 miliar dollar AS. Defisit semakin besar, menjadi 419 miliar dollar AS tahun lalu.
Strategi bertahan pun diupayakan oleh AS dengan cara memberlakukan tarif terhadap produk impor dari China. Hal ini dilakukan karena AS beranggapan bahwa China telah menyalahi kaidah perdagangan internasional dengan menerapkan dumping ataupun subsidi. Bahkan, AS semakin menekan China dengan menuntut agar China meningkatkan impor produk-produk dari AS disertai dengan penghapusan hambatan tarif dan nontarif untuk barang-barang impor dari AS. Lalu, apa yang terjadi di balik perseteruan dagang dan dampak lanjutannya? BERSAMBUNG…. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)