Setengah Abad Pariwisata, Indonesia Tak Beranjak dari Bali
Upaya mendatangkan wisatawan mancanegara itu agaknya tidak cukup kuat mendorong pertumbuhan ke depan jika kita masih tak pernah beranjak dari Bali.
Kunjungan wisatawan, khususnya dari mancanegara, sudah lama menyimpan potensi terpendam yang layak dijadikan andalan untuk pembangunan ekonomi Indonesia.
Daerah tujuan wisata, di manapun dia berada, idealnya mampu memenuhi standar umum yang diterima secara luas. Syarat itu menjadi tuntutan tak terhindarkan, terlebih jika Indonesia akan bersaing pada skala global. Standar umum yang diterima secara luas itu mengacu pada antara lain Indeks Daya Saing Perjalanan dan Pariwisata yang dipublikasikan Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Indonesia agaknya masih harus menjawab tantangan di sejumlah pilar merujuk pada Indeks Daya Saing Perjalanan dan Pariwisata tersebut. Sepintas, indeks ini menunjukkan gambaran menggembirakan dalam beberapa kali publikasinya.
Betapa tidak, peringkat kita yang diukur dari indeks daya saing perjalanan dan pariwisata Indonesia terus meningkat dibandingkan negara lain. Pada 2015, kita masih berada di peringkat 50 besar dunia, empat tahun kemudian Indonesia berhasil naik 10 peringkat menjadi ke-40.
Hasil publikasi WEF menunjukkan bahwa peringkat Indonesia dalam aspek ketahanan lingkungan berada di peringkat ke-135 dari total 140 negara. Peringkat Indonesia pada pilar kesehatan dan kebersihan juga masih berada di peringkat ke-102 dari total 140 negara.
Sementara itu, peringkat Indonesia pada pilar infrastruktur layanan pariwisata masih berada di peringkat ke-98. Pilar pariwisata lain yang juga penting mendapatkan perhatian adalah keselamatan dan keamanan, yang masih berada di peringkat ke-80 dari 140 negara.
Secara Makro, publikasi WEC yang menempatkan dimensi ketahanan lingkungan Indonesia di peringkat ke-135 menunjukkan pentingnya Indonesia mempertimbangkan lebih serius isu lingkungan.
Profil devisa
Isu lingkungan ini sedikit banyak tergambarkan pula dari data penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Sejak program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dicanangkan pertama kali pada 1969, Indonesia tak beranjak dari fokus di sektor ekonomi alam yang bersifat ekstraktif sebagai sumber andalan pemasukan negara dari luar negeri. Pada 1970-1980, perekonomian kita ditopang oleh sektor migas semasa periode oil boom, khususnya sepanjang Pelita I, II, dan III.
Kendati tidak lagi menjadi andalan, sektor ekonomi ekstraktif faktanya masih menjadi andalan, selalu termasuk dalam lima besar penyumbang devisa nasional. Selain minyak dan gas, komoditas lain yang juga termasuk dalam lima besar penyumbang devisa adalah minyak kelapa sawit dan belakangan muncul juga batubara.
Sepanjang tahun 2015-2017, tercatat sektor pariwisata masuk dalam peringkat tiga besar penghasil dollar bagi Indonesia. Namun, serapan devisa dari sektor pariwisata masih kalah dibandingkan dengan sektor perkebunan sawit dan batubara. Pada peringkat 10 besar, masih ada komoditas alam lain yang juga menjadi andalan devisa, yakni karet dan kayu.
Sumber alam, apalagi yang bersifat ekstraktif, ditambah dengan sektor perkebunan, sering kali dikaitkan dengan isu lingkungan yang justru berdampak negatif bagi citra pariwisata. Ada semacam trade-off antara sektor pariwisata dengan sektor migas, batubara, dan minyak kelapa sawit.
Bali sejak Pelita I
Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dalam upaya mengembangkan pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan negeri ini. Upaya-upaya yang ada tecermin dari berbagai regulasi dan kebijakan yang sudah muncul sejak era pemerintahan Presiden Soeharto melalui rancangan pembangunan lima tahunan. Upaya membangun pariwisata nasional terus berlanjut hingga pemerintahan saat ini.
Pembangunan pariwisata nasional pada Pelita I telah menerapkan kebijakan pembangunan kepariwisataan berbasis pada pengembangan wilayah. Pada periode Pelita yang berlangsung tahun 1969-1974 ini, pembangunan pariwisata difokuskan pada wilayah Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali.
Kebijakan Pembangunan pariwisata dimulai dari Bali, berlanjut pada Pelita II (1974-1979). Titik berat pembangunan kepariwisataan pada waktu itu antara lain mengembangkan sarana dan prasarana obyek pariwisata, khususnya di Bali terutama di Nusa Dua, Kuta, Sanur.
Memasuki periode Pelita V (1989-1994), persisnya tahun 1991, untuk pertama kalinya pemerintah menggaungkan pariwisata nasional ke kancah dunia lewat program Visit Indonesia Year 1991. Tahun kunjungan Indonesia yang dimulai tahun 1991 juga tak lepas dari andil Bali sebagai magnet pariwisata. Saat itu, Bali berperan dalam Konferensi ke-40 Pacific Asia Travel Association (PATA) tanggal 10 April 1991 di Nusa Indah Hotel & Convention Centre, Bali.
Program Visit Indonesia Yearterus dilanjutkan beberapa periode selanjutnya di tahun 2008, 2009, 2010. Sesudahnya, tagline tersebut berganti menjadi Wonderful Indonesia. Dalam laman promosi wisata Indonesia Wonderful Indonesia itu, Bali juga menjadi bagian penting yang digaungkan kepada wisatawan mancanegara. Tahun lalu, program Visit Wonderful Indonesia(ViWI) juga menawarkan pesta kesenian Bali sebagai salah dari paket wisata unggulan.
Program pembentukan kawasan pariwisata juga dimulai pada Pelita V. Kawasan pariwisata yang dibentuk ada di sejumlah kawasan. Salah satunya adalah kawasan yang dinamakan Bali Tourism Development Corporation (Bali TDC).
Dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1992/1993, pemerintah melaporkan pesatnya kegiatan wisata konvensi di Indonesia. Pemerintah juga telah membangun sejumlah pusat konvensi, dan Bali International Convention Center adalah salah satu yang disebutkan telah memiliki syarat untuk mengadakan model wisata semacam ini.
Sampai dengan tahun kemarin, Bali masih diandalkan sebagai pusat wisata konvensi. Tanggal 8-14 Oktober 2018, Bali menjadi tempat berkumpulnya pemimpin dunia dalam ajang tahunan yang diselenggarakan IMF dan Bank Dunia, berlokasi di Nusa Dua.
Bali sekali lagi
Kembali, fakta data kunjungan wisatawan khususnya dari luar negeri tak lepas dari pembicaraan mengenai Pulau Dewata. Bali pun masih menjadi daerah tujuan wisata yang atraktif di mata wisatawan asing. Sebanyak empat dari 10 turis asing yang datang ke Indonesia mendarat langsung di Bandara Ngurah Rai, Bali, merujuk publikasi Badan Pusat Statistik tiga tahun terakhir. Sisanya datang melalui pintu masuk lain, seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Pada kurun yang sama, tercatat rata-rata ada 5 juta wisatawan asing yang mendarat di Bandara Ngurah Rai setiap tahunnya. Angka itu mencapai dua kali lipat dari rata-rata kedatangan wisatawan asing melalui Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, bandara internasional yang identik dengan Ibu Kota Indonesia.
Baca juga: Pariwisata Bali dan Keistimewaannya
Apalagi, di sisi lain pariwisata Bali juga memiliki keterbatasan daya dukung lingkungan. Kehadiran akomodasi dan berbagai infrastruktur wisata tentu saja menggerus mutu lingkungan.
Wisata massal di sejumlah destinasi di Bali pada satu sisi membawa manfaat positif sekaligus negatif di sisi lainnya. Pencemaran sampah di wilayah pesisir dan laut di Pulau Dewata menjadi keluhan tersendiri bagi pemangku wisata dan para pelancong di Bali beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Di Balik Kekuatan Pariwisata Bali
Sungguh sayang, berbagai kebijakan pariwisata sejak setengah abad lalu masih berujung pada kenyataan bahwa Indonesia tidak pernah beranjak dari Bali. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk mendorong perekonomian dari kunjungan wisatawan, terlebih wisatawan asing.
Data Badan Pusat Statistik sepanjang tahun 2012-2018 menunjukkan perbandingan antara pengeluaran wisatawan domestik dan devisa dari wisatawan asing. Kecenderungan yang terjadi, pengeluaran secara nominal di antara dua kelompok wisatawan ini menunjukkan kesenjangan yang relatif kecil. Walaupun angka pengeluaran wisatawan domestik masih lebih tinggi, sebenarnya secara rata-rata selisih pengeluaran wisatawan domestik dan turis asing hanya sekitar Rp 54 triliun per tahun sepanjang 2002-2018.
Dari sisi pertumbuhan pengeluarannya, data dari kelompok wisatawan asing bahkan menunjukkan catatatan lebih mengesankan ketimbang wisatawan domestik. Sejak tahun 2002 hingga tahun lalu, tercatat pengeluaran wisatawan asing rata-rata tumbuh 15 persen per tahun. Sementara pengeluaran wisatawan domestik hanya tumbuh rata-rata kurang dari 10 persen sepanjang kurun yang sama.
Angka pertumbuhan tertinggi pengeluaran wisatawan domestik pernah tercapai sepanjang tahun 2006-2007, yakni tumbuh sekitar 25 persen. Sebaliknya, pertumbuhan tertinggi dari pengeluaran wisatawan asing pernah mencapai hampir 60 persen di tahun 2007-2008. Pertumbuhan tertinggi pengeluaran wisatawan asing ke Indonesia ini justru terjadi di tengah situasi dunia yang tengah dilanda krisis keuangan global.
Memang, sejauh ini pengeluaran yang dilakukan wisatawan domestik selalu berada di atas pengeluaran wisatawan asing yang tecermin dari penerimaan devisa. Namun, ada dua sisi yang patut dicermati dalam kaitan pengeluaran wisatawan ini terhadap dampak pertumbuhan ekonomi.
Penting untuk dicatat bahwa mendatangkan wisatawan asing berarti Indonesia mendatangkan sumber pertumbuhan dari luar negeri. Sebaliknya, peningkatan pengeluaran wisatawa domestik menciptakan pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi dalam negeri.
Potensi pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung masih akan melambat ke depan, bahkan masih berada pada ”jebakan” pertumbuhan 5 persen hingga sekarang, tak cukup jika hanya didorong dari sumber daya dalam negeri. Dalam konteks inilah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak wisatawan asing menjadi semakin krusial. Upaya mendatangkan wisatawan mancanegara itu agaknya tidak cukup kuat mendorong pertumbuhan ke depan jika kita masih tak pernah beranjak dari Bali. (LITBANG KOMPAS)