Kesetaraan Disabilitas untuk SDM Berkualitas
Penting bagi negara merealisasikan pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas sehingga mereka dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan dan turut berkontribusi dalam mencapai sumber daya manusia bermutu.
Perubahan peraturan pemerintah yang membawa semangat persamaan hak asasi sebagai warga negara menjadi angin segar bagi para penyandang disabilitas. Sayang, penerapannya dinilai masih lamban sehingga perbedaan perlakuan terhadap para disabilitas masih dirasakan.
Kasus dokter gigi Romi Syofpa Ismael yang dicoret kelulusannya sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, medio 2019, adalah satu dari sekian kasus diskriminasi yang masih dialami para penyandang disabilitas. Keterbatasan drg Romi yang harus beraktivitas di atas kursi roda mengesampingkan prestasinya sebagai lulusan terbaik dalam tes CPNS tersebut.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan dan fasilitas lainnya sering kali terjadi karena pemahaman tentang disabilitas, baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintah, masih kurang sehingga stigma sebagai orang sakit, tidak berdaya, dan tidak mampu terus melekat pada kelompok minoritas ini. Padahal, sudah ada regulasi yang mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas.
Cara pandang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah mengubah paradigma terhadap penyandang disabilitas yang mempunyai keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik. Regulasi ini lahir setelah Indonesia menjadi salah satu dari 166 negara yang menandatangani resolusi kesamaan hak yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2006.
Terminologi cacat yang melekat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 itu ”menggiring” masyarakat dalam melihat penyandang disabilitas ini sebagai manusia yang lemah atau ”sakit” sehingga perlu belas kasihan. Paradigma yang muncul akhirnya adalah menjadikan penyandang disabilitas ini hanya sebagai obyek dalam pembangunan sehingga pendekatan yang dilakukan adalah charity based, melihat hanya sebagai persoalan medis. Dampaknya kebijakan pemenuhan hak yang diambil pemerintah pun mengarah pada masalah bantuan sosial, jaminan sosial, dan rehabilitasi sosial, bukan pemberdayaan.
Pandangan yang lama ini bergeser setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 disahkan. Cara pandang berubah menjadi rights based dan mendudukkan penyandang disabilitas sebagai subyek (diakui keberadaannya), yaitu manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Cara pandang rights based ini melihat penyandang disabilitas dalam perspektif sosial sebagai keberagaman kehidupan manusia ciptaan Tuhan.
Perubahan pandangan terhadap penyandang disabilitas dapat dilihat dari definisi penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu ”setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
Kesamaan hak menjadi poin penting yang diangkat dalam regulasi yang baru, termasuk di dalamnya adalah hak hidup dan hak memiliki identitas. Sebelum terpenuhi hak-hak lainnya, hak hidup dan hak memiliki identitas ini penting karena masih ada pemahaman masyarakat yang keliru yang memandang anggota masyarakat yang disabilitas dianggap suatu aib atau kutukan sehingga tidak diakui dan dikucilkan. Stigma negatif yang masih ditancapkan pada penyandang disabilitas membuat kelompok minoritas ini semakin termarjinalkan.
Hak asasi
Sebagai salah satu kelompok minoritas terbesar di dunia, berjumlah sekitar 15 persen atau lebih dari satu miliar penduduk dunia, para penyandang disabilitas ini telah diabaikan selama tiga dekade awal keberadaan PBB. Para perancang International Bill of Human Rights tidak memasukkan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Bahkan, tak satu pun klausul kesetaraan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) yang secara eksplisit menyebutkan disabilitas sebagai kategori yang dilindungi.
Pendekatan HAM bagi penyandang disabilitas mendapat pengakuan PBB dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities/CRPD) pada Desember 2006. Keberadaan penyandang disabilitas dianggap sebagai bagian dari keberagaman dan masing-masing individu yang beragam itu memiliki hak asasi yang sama. Penyandang disabilitas, mampu memperjuangkan hak-haknya dan mampu membuat keputusan atas hidupnya sebagai anggota masyarakat aktif.
Setelah konvensi PBB tersebut, negara-negara di dunia berlomba memperbaiki rancangan pembangunan dan melakukan perubahan terhadap regulasi dan kebijakan dengan pendekatan yang baru yang ramah penyandang disabilitas untuk mewujudkan pembangunan inklusif disabilitas, termasuk Indonesia.
Komitmen diuji
Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani konvensi PBB tentang hak-hak penyandang disabilitas pada tahun 2007 mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah menjamin pelaksanaan konvensi tersebut.
Sebagai tindak lanjut, empat tahun berselang, Indonesia baru meratifikasi CRPD tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Dan baru lima tahun kemudian, pada tahun 2016, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pemerintah dan DPR menindaklanjuti komitmennya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Di Indonesia, bisa dibilang isu disabilitas tidak banyak atau lambat berkembang meskipun masalah HAM sudah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sejak adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang diundangkan pada jaman Orde Baru, 19 tahun kemudian regulasi yang menempatkan hak penyandang disabilitas sama dan setara dengan warga negara lainnya baru disahkan.
Hal ini menjadi bukti adanya komitmen pemerintah Indonesia dalam menghormati hak asasi manusia dan dalam memenuhi hak-hak disabilitas. Bahwa dari masa ke masa pemerintahan semakin antusias dalam memberikan jaminan hak bagi disabilitas, pasca meratifikasi CRPD.
Lalu bagaimana implementasinya?. Undang-Undang membutuhkan perangkat hukum dibawahnya agar apa yang diamanatkan dalam UU tersebut dapat dilaksanakan. Ketika peraturan pelaksanaan dalam tingkat kebijakan yang lebih rendah tidak pernah ada maka amanat UU pun menjadi tidak bermakna.
Undang-Undang Disabilitas menyerukan pembentukan peraturan pelaksana pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Ada 8 substansi peraturan pemerintah terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam hal mengakses perumahan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, termasuk aksesibilitas pada fasilitas publik dan pemenuhan hak lainnya.
Baca juga: Persaingan Bermodal Pendidikan Vokasi
Namun, sudah tiga tahun berjalan baru dua peraturan pemerintah yang disahkan di tahun 2019 ini, yaitu PP Nomor 52 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Meskipun upaya untuk menyetarakan hak penyandang disabilitas sudah ada, lambannya peraturan pelaksana UU ini membuat para penyandang disabilitas memandang UU Nomor 8 Tahun 2016 ini hanya kamuflase saja, terkesan sekadar membesarkan hati. Paling tidak hal ini terungkap dalam hasil jajak pendapat yang diadakan Kompas minggu lalu. Terekam separuh dari responden berpendapat bahwa pemerintah belum optimal dalam memenuhi hak penyandang disabilitas.
Lambannya pengesahan peraturan pelaksana secara nasional akan berimbas pula pada daerah-daerah dalam membuat peraturan daerah turunannya. Tujuan untuk menciptakan lingkungan Indonesia yang ramah disabilitas, termasuk menciptakan lingkungan yang inklusif di mana penyandang disabilitas dapat leluasa berinteraksi dengan masyarakat dan berpartisipasi dalam pembangunan tanpa hambatan, masih sulit dicapai.
Oleh karena itu, penting bagi negara melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas dapat terealisasi sehingga penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan dan turut berkontribusi dalam mencapai sasaran membangun SDM Unggul. (Litbang Kompas)