Mengapa Orang Minang Merantau? (1)
Merantau, bagi masyarakat Minang menjadi sebuah tradisi yang telah berlangsung berabad-abad dan masih dilakukan hingga saat ini. Memiliki keterkaitan dengan sejarah dan akar budaya.
Setinggi-tingginya terbang bangau, akhirnya ke pelimbahan juga. Sejauh-jauh pergi merantau, kembalinya ke kampung halaman jua.
Pepatah lama ini agaknya tepat untuk menggambarkan tradisi merantau bagi etnis Minangkabau. Sebuah tradisi yang telah berlangsung berabad-abad dan masih dilakukan hingga saat ini.
Eksodus para perantau Minang akibat kerusuhan di Wamena akhir September 2019 lalu memberikan gambaran betapa jauhnya daya jangkau mereka. Meski Wamena berjarak sekitar 4.200 kilometer dari kota Padang, atau setara dengan jarak dari Padang ke Shanghai, China, daerah tersebut tetap menjadi tujuan untuk merantau.
Merantau merupakan tradisi meninggalkan kampung halaman dalam jangka waktu tertentu. Sosiolog Mochtar Naim, dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (2013) memberikan beberapa dimensi yang membatasi pengertian merantau.
Menurut Mochtar, merantau merupakan gerakan meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri untuk jangka waktu tertentu. Selain itu, merantau juga dilakukan dengan tujuan mencari penghidupan dan biasanya diiringi oleh maksud untuk kembali ke kampung halaman.
Seseorang telah disebut merantau meskipun hanya pindah ke nagari atau desa yang tak jauh dari tempat kelahirannya. Misal, pemuda dari Bukittinggi yang meninggalkan kampung halaman menuju kota Padang. Meskipun hanya berjarak kurang dari 100 kilometer dan masih berada dalam satu provinsi, gerakan ini sudah disebut sebagai merantau.
Tradisi merantau dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni latar belakang sejarah dan konsep budaya. Dari kacamata sejarah, tradisi merantau telah dilakukan oleh orang Minang sejak berabad-abad silam.
Pada abad ke-7 Masehi, perdagangan emas telah dilakukan oleh orang-orang dari pedalaman Minangkabau di sekitar Muaro Jambi. Migrasi secara besar-besaran juga pernah dilakukan pada abad ke-14, saat etnis Minang mendirikan koloni dagang di kawasan pantai timur Sumatera, hingga melintas ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. (Elfindri, dkk, 2010)
Hingga pertengahan abad ke-19, gerakan merantau tetap dilakukan, termasuk migrasi di dalam wilayahh Sumatera Barat. Ikatan sosial kala itu dibangun sangat erat antarsesama perantau dalam suatu desa atau kenagarian.
Seseorang telah disebut merantau meskipun hanya pindah ke nagari atau desa yang tak jauh dari tempat kelahirannya.
Bahkan, para perantau dari kenagarian yang sama turut membangun sebuah masjid atau surau dagang. Selain sebagai tempat ibadah, surau ini berfungsi sebagai tempat musyawarah antara sesama perantau yang berasal dari daerah yang sama.
Jelang akhir abad-19, merantau kian terarah ke Kota Padang seiring dibangunnya jalan kereta api dari Pelabuhan Teluk Bayur di Padang menuju area pertambangan di Sawahlunto. Sejak jalur kereta dibuka, Kota Padang kian ramai oleh perantau.
Sebagai perbandingan, jika pada tahun 1850 penduduk di Kota Padang mencapai 12.000 orang, pada akhir abad ke-19 jumlah penduduk ini meningkat menjadi 30.000 orang
Memasuki dua dekade awal abad ke-20, merantau dilakukan dengan daya jangkau yang lebih luas. Tanam paksa yang dilakukan hingga tahun 1915 pada sejumlah daerah Sumatera Barat berdampak pada penolakan dari masyarakat lokal.
Penduduk lokal yang menolak tanam paksa di sejumlah daerah seperti Alahan Panjang, Bonjol, dan Maninjau, memutuskan untuk merantau ke Sumatera Timur bahkan hingga ke Semenanjung Malaya.
Jelang dekade ketiga abad ke-20, atau setelah tanam paksa usai dilakukan, merantau kembali dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Hal ini merupakan dampak dari meningkatnya kebutuhan dunia terhadap komoditas akibat dibukanya Terusan Suez sebagai jalur dagang. Kondisi ini dimanfaatkan oleh orang Minang untuk merantau ke daerah-daerah perkebunan karet seperti Sumatera Timur dan Jambi.
Arus migrasi ini dibuktikan oleh volkstelling atau data sensus penduduk pada tahun 1930. Tampak perantau minang menyebar pada daerah-daerah perkebunan, terutama di Sumatera Timur (50.677 orang), Jambi (57.929 orang), dan Riau (51.086 orang).
Secara proporsi, etnis Minangkabau pada tahun 1930 merupakan satu dari lima suku bangsa perantau utama di Indonesia. Dari total 1,9 juta orang Minang kala itu, 11 persen di antaranya adalah perantau. Walakin, persentase orang Minang yang merantau saat itu masih lebih kecil dibandingkan dengan suku bangsa lainnya seperti Bawean (35,9 persen), Batak (15,3 persen), dan Banjar (14,2 persen).
Periode kemerdekaan
Saat perang dunia II, gerakan merantau sempat terhenti. Tradisi ini kembali berlanjut pada periode revolusi tahun 1945 hingga 1949. Namun, perpindahan penduduk lebih banyak dilakukan dalam bentuk migrasi lokal karena faktor keamanan akibat agresi militer Belanda.
Migrasi dalam skala besar kembali dilakukan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda pada tahun 1949. Jakarta menjadi salah satu tujuan utama bagi para perantau. Bahkan, kapal-kapal di Pelabuhan Teluk Bayur kala itu turut sesak karena mengangkut penumpang menuju Jakarta. Sementara bagi pelajar, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta menjadi tujuan untuk menuntut ilmu. (Naim, 2013)
Dibukanya akses transportasi seperti bus dan kapal laut ikut mempermudah gerakan merantau. Arus perantau minang pun semakin deras hingga dekade 1960-an. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1961, terlihat peningkatan arus migrasi orang Minang hingga lebih dari 400 persen jika dibandingkan tahun 1930.
Jumlah perantau Minang yang mencapai 937.626 orang pada tahun 1961 memang lebih rendah dibandingkan dengan perantau dari Jawa yang berjumlah 2,2 juta jiwa. Namun, persentase perantau Minang mencapai 31,6 persen dari seluruh penduduk di wilayah asal. Persentase ini jauh lebih besar dari perantau Jawa yang hanya sebesar 3,4 persen.
Secara persentase, perantau suku Minang menjadi nomor dua terbesar di Indonesia setelah suku Bawean. Data sensus ini membuktikan derasnya arus migrasi dalam dua dasa warsa awal pasca proklamasi kemerdekaan.
Seiring perubahan zaman, tradisi merantau tetap dilakukan. Tujuannya tetap sama, yakni untuk mencari penghidupan, menuntut ilmu, ataupun mencari pengalaman. Tak hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, perantau minang juga mendiami daerah-daerah lainnya di Indonesia bagian timur.
Dari latar belakang sejarah, merantau tak terlepas dari faktor sosial dan ekonomi. Namun, tradisi merantau juga didorong oleh konteks budaya. Budaya seperti apa yang melatarbelakangi orang Minang untuk merantau? Bersambung (Litbang Kompas)